Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Lembaran baru (mudah-mudahan)

Departemen penerangan menetapkan quota impor film thn 1976 sebanyak 300 judul. sejalan dgn itu dibentuk konsorsium-konsorsium pengimpor film. para importir mengeluh soal film yang numpuk di halim. (fl)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR Maret yang lalu Menteri Penerangan Mashuri mengeluarkan surat keputusan tentang quota film impor 1976 sebanyak 300 judul. Dari jumlah itu 75 di antaranya untuk film Mandarin yang diambil dari Hongkong dan Taiwan. Untuk Amerika dan Eropa kebagian jatah 14 judul, India 30 judul. Kemudian Asia "nonmandarin", ditambah dengan negara-negara lain, 49 judul. Ditambah lagi dengan 20 judul untuk film anak-anak. Bersamaan dengan itu Mashuri juga mengeluarkan SK, membentuk konsorsium-konsorsium impor film. Konsorsium itu dibagi atas Konsorsium Film Mandarin yang diketuai Sudwikatmono dari Suptan Film, Amerika dan Eropa yang diketuai oleh Widodo Sukarno dari Archipelago Film, Amerika Eropa II diketuai oleh Herman Samadikun dari Jati Film dan Asia "non-Mandarin" dan negara-negara di hal Eropa dan Amerika yang diketuai drs Hood Idris dari Adhiyasa Film. Sementara itu di pelabuhan udara Halim sejumlah 400 film impor masih menumpuk di gudang. Dengan adanya pengurangan quota dan peraturan baru tentang konsorsium itu, nasib film yang 400 lebih itu menjadi tanda-tanya yang empunya. "Itu tergantung masing-masing konsorsium", ujar Direktur Pembinaan Film Haii Djohardin. Memang dengan dibentuknya konsorsium, para importir sudah tidak berhak lagi untuk mengimpor. Tugas membeli film impor ada di tangan ketua konsorsium atau badan pelaksananya. Dari sinilah titik tolak kegelisahan para importir. "Dikembalikan tidak mungkin, dijual pada negara tetangga, mereka malah sudah memu- tarnya. Jadi mau diapakan", keluh seorang importir. Mendengar itu Djohardin hanya diam saja. "Saya tidak akan ikut campur, itu urusan konsorsium dengan anggotanya", katanya. Ramai Karena menyangkut periuk nasi, maka para importir tidak mau tinggal diam. Merubah kebijaksanaan Menteri sudah tidak mungkin. Jalan yang paling baik mendekati pengurus konsorsium. Dan itulah sebahnya gedung Menteng Raya di mana para importir berkumpul, selalu ramai. Importir-importir mendesak pada para ketua konsorsium untuk memperhatikan film yang di Halim itu. "Inilah susahnya jadi Ketua", kata Hood Idris. "Tapi kami akan tetap berpegang pada kebijaksanaan Menteri selain juga akan memper- hatikan kepentingan anggota", kata Hood lagi. Ditambahkan oleh Herman Samadikun, "kami akan menampung saran-saran dari anggota". Saran-saran para importir itu antara lain, film yang sudah ada di Halim dibeli oleh konsorsium. "Ya kalaupun kami membeli, hanya sejumlah jatah tahun ini saja. Itupun tentunya akan kami seleksi dulu. Karena dengan konsorsium uni, film yang beredar harus betul-betul film baik dan harganya murah", kata Herman Samadikun. Cara itulah yang paling mungkin. Jadi konsorsium memilih apakah film-film yang ada di Halim itu bisa dibeli atau tidak. "Pokoknya kami jangan terlalu dirugikan", ujar seorang importir lagi. "Sebab kalau 400 Mm yang ada di Halim ini tidak diperhatikan, saya kira saat kebangkrutan kami telah tiba". katanya lagi. "Itu kan salah mereka kenapa berani impor. Padahal quota belum keluar", ucap Djohardin. "Mereka 'kan orang dagang, harus berani spekulasi, dong", kata Hood Idris. Dan Djohardin mengatakan lagi, "kalau mau berspekulasi silakan. Tapi harus ingat bahwa setiap tahun quota dikurangi". Ini dijawab importir lagi "kami ini bekerja seperti kebiasaan. Kalau tahun 1975 jatah habis dalam waktu 2 bulan, kenapa kami tidak berani berspekulasi". Bukan Spekulasi Tapi rupanya tahun ini bukan untuk berspekulasi. Mereka yang sudah terlanjur mengimpor sejak bulan Oktober tahun 1975 berarti sudah mengalami kerugian yang cukup lumayan. Konon Isa Film yang mempunyai 40 film yang nongkrong di Halim, setiap bulannya harus membayar pajak Rp 8 juta. Belum lagi membayar sewa gudang yang setiap harinya naik. Tapi di balik itu masih ada seorang importir yang berani membeli film di Halim, dengan perhitungan ia mempunyai deking. Bagi perfilman nasional SK Menteri no.51 itu akan membuka lem- baran baru. Karena setiap impor 5 film, konsorsium harus mem- produksi 1 film nasional. Berarti tahun 1976 ini, produksi nasional akan bertambah dengan 6 film. Di samping itu juga setiap impor 10 film, konsorsium harus mengekspor 1 film. Sehingga tahun 1976 akan ada 32 film Indonesia yang diekspor. "Dengan demikian akan ada keseimbangan antara film impor dan film nasional", kata Djohardin. Mudah-mudan tidak terlalu optimis. Mudah-mudahan di antara jumlah yang banyak itu ada juga yang bukan sekedar barang ekspor-impor, tapi barang seni milik sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus