AKHIR Maret yang lalu Menteri Penerangan Mashuri mengeluarkan
surat keputusan tentang quota film impor 1976 sebanyak 300
judul. Dari jumlah itu 75 di antaranya untuk film Mandarin yang
diambil dari Hongkong dan Taiwan. Untuk Amerika dan Eropa
kebagian jatah 14 judul, India 30 judul. Kemudian Asia
"nonmandarin", ditambah dengan negara-negara lain, 49 judul.
Ditambah lagi dengan 20 judul untuk film anak-anak. Bersamaan
dengan itu Mashuri juga mengeluarkan SK, membentuk
konsorsium-konsorsium impor film. Konsorsium itu dibagi atas
Konsorsium Film Mandarin yang diketuai Sudwikatmono dari Suptan
Film, Amerika dan Eropa yang diketuai oleh Widodo Sukarno dari
Archipelago Film, Amerika Eropa II diketuai oleh Herman
Samadikun dari Jati Film dan Asia "non-Mandarin" dan
negara-negara di hal Eropa dan Amerika yang diketuai drs Hood
Idris dari Adhiyasa Film.
Sementara itu di pelabuhan udara Halim sejumlah 400 film impor
masih menumpuk di gudang. Dengan adanya pengurangan quota dan
peraturan baru tentang konsorsium itu, nasib film yang 400 lebih
itu menjadi tanda-tanya yang empunya. "Itu tergantung
masing-masing konsorsium", ujar Direktur Pembinaan Film Haii
Djohardin. Memang dengan dibentuknya konsorsium, para importir
sudah tidak berhak lagi untuk mengimpor. Tugas membeli film
impor ada di tangan ketua konsorsium atau badan pelaksananya.
Dari sinilah titik tolak kegelisahan para importir.
"Dikembalikan tidak mungkin, dijual pada negara tetangga, mereka
malah sudah memu- tarnya. Jadi mau diapakan", keluh seorang
importir. Mendengar itu Djohardin hanya diam saja. "Saya tidak
akan ikut campur, itu urusan konsorsium dengan anggotanya",
katanya.
Ramai
Karena menyangkut periuk nasi, maka para importir tidak mau
tinggal diam. Merubah kebijaksanaan Menteri sudah tidak mungkin.
Jalan yang paling baik mendekati pengurus konsorsium. Dan itulah
sebahnya gedung Menteng Raya di mana para importir berkumpul,
selalu ramai. Importir-importir mendesak pada para ketua
konsorsium untuk memperhatikan film yang di Halim itu. "Inilah
susahnya jadi Ketua", kata Hood Idris. "Tapi kami akan tetap
berpegang pada kebijaksanaan Menteri selain juga akan memper-
hatikan kepentingan anggota", kata Hood lagi. Ditambahkan oleh
Herman Samadikun, "kami akan menampung saran-saran dari
anggota".
Saran-saran para importir itu antara lain, film yang sudah ada
di Halim dibeli oleh konsorsium. "Ya kalaupun kami membeli,
hanya sejumlah jatah tahun ini saja. Itupun tentunya akan kami
seleksi dulu. Karena dengan konsorsium uni, film yang beredar
harus betul-betul film baik dan harganya murah", kata Herman
Samadikun.
Cara itulah yang paling mungkin. Jadi konsorsium memilih apakah
film-film yang ada di Halim itu bisa dibeli atau tidak.
"Pokoknya kami jangan terlalu dirugikan", ujar seorang importir
lagi. "Sebab kalau 400 Mm yang ada di Halim ini tidak
diperhatikan, saya kira saat kebangkrutan kami telah tiba".
katanya lagi.
"Itu kan salah mereka kenapa berani impor. Padahal quota belum
keluar", ucap Djohardin. "Mereka 'kan orang dagang, harus berani
spekulasi, dong", kata Hood Idris. Dan Djohardin mengatakan
lagi, "kalau mau berspekulasi silakan. Tapi harus ingat bahwa
setiap tahun quota dikurangi". Ini dijawab importir lagi "kami
ini bekerja seperti kebiasaan. Kalau tahun 1975 jatah habis
dalam waktu 2 bulan, kenapa kami tidak berani berspekulasi".
Bukan Spekulasi
Tapi rupanya tahun ini bukan untuk berspekulasi. Mereka yang
sudah terlanjur mengimpor sejak bulan Oktober tahun 1975 berarti
sudah mengalami kerugian yang cukup lumayan. Konon Isa Film yang
mempunyai 40 film yang nongkrong di Halim, setiap bulannya harus
membayar pajak Rp 8 juta. Belum lagi membayar sewa gudang yang
setiap harinya naik. Tapi di balik itu masih ada seorang
importir yang berani membeli film di Halim, dengan perhitungan
ia mempunyai deking.
Bagi perfilman nasional SK Menteri no.51 itu akan membuka lem-
baran baru. Karena setiap impor 5 film, konsorsium harus mem-
produksi 1 film nasional. Berarti tahun 1976 ini, produksi
nasional akan bertambah dengan 6 film. Di samping itu juga
setiap impor 10 film, konsorsium harus mengekspor 1 film.
Sehingga tahun 1976 akan ada 32 film Indonesia yang diekspor.
"Dengan demikian akan ada keseimbangan antara film impor dan
film nasional", kata Djohardin.
Mudah-mudan tidak terlalu optimis. Mudah-mudahan di antara
jumlah yang banyak itu ada juga yang bukan sekedar barang
ekspor-impor, tapi barang seni milik sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini