Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bebas dan bebas

Terdakwa peter oei, 42, dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan menyelundupkan cengkih dan menadah barang hasil kejahatan. jaksa naik banding, tak puas dengan vonis bebas hakim. (hk)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI sebuah sidang pengadilan perkara penyelundupan -- tapi belum subversi. Terdakwanya, Peter Oei, 42 tahun, alias Oei Pek Thay, Direktur CV Kretek Jakarta, dihadapkan dengan dua tuduhan jaksa: kejahatan ekonomi dan kejahatan sebagai tukang tadah. Kejahatan ekonomi, seperti tuduhan jaksa, karena Oei dianggap telah terlibat dalam sebuah penyelundupan 72 ton cengkeh awal tahun lalu. Ia adalah alamat si penerima cengkeh kiriman Ho Yin Nam, Singapura, yang dimasukkan ke Jakarta melalui Pelabuhan Tanjung Priok dengan kedok "alat tulis-menulis untuk perpustakaan USIS". Karena menyangkut nama baik Kedutaan Amerika di sini, maka petugas pabean meloloskan begitu saja kiriman Yin Nam ini. Begitu lancarnya penyelundupan bertonan cengkeh itu, sehingga dengan beberapa truk barang itu sempat digudangkan di Jalan Gunung Sahari XII/4 Jakarta. Namun ketika Peter Oei hendak mengeluarkan cengkeh itu dari gudang milik Saksi Zaldi Gunawan, keburu yang berwajib turun tangan. Untuk perkara ini ia dituntut oleh Jaksa Ramelan Baginda, dari Kejaksaan Agung dengan hukuman penjara dua setengah tahun dan denda Rp 5 juta. Pada hari-hari sidang yang sama, secara berturutan, Hakim TM Abdullah SH (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) langsung memeriksa perkara Oei yang kedua: kejahatan menadah barang-barang yang berasal dari hasil kejahatan. Ini memang cara yang lazim. Lain dengan model Hakim Bismar Siregar, yang memeriksa secara seka- ligus dua perkara (pidana ekonomi & korupsi Abu Kiswo -- (TEMPO, 1 April). Hakim Abdullah memisahkannya dengan tegas antara tugasnya sebagai hakim pidana ekonomi dengan hakim pidana biasa. Setelah menutup perkara yang pertama, kejahatan ekonomi, barulah ia membuka perkara penadahan. Untuk perkara pidana biasa ini, jaksa telah menuntut agar Oei dihukum penjara dua tahun -- segera masuk. Kurang Lebih Sungguh nasib baik, mula-mula, yang menaungi Peter Oei. Sebagai tukang tadah ia memang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan. Untuk itu ia diganjar hukuman setahun dan dua bulan penjara. Namun karena ia telah menjalani masa penahanan sementara setahun dan dua bulan tambah dua puluh hari -- dan itu harus diperhitungkan dengan masa hukumannya maka ia boleh langsung bebas. Apalagi kejahatan ekonomi seperti yang dituduhkan oleh jaksa, ternyata, menurut hakim tidak terbukti selama dalam pemeriksaan. Tapi apa boleh buat. Agaknya jaksa dari Kejaksaan Agung ini tak hendak melepaskan pesakitannya begitu saja. Begitu Hakim Abdullah selesai mengetuk palu vonis, Jaksa Baginda Ramelan menyatakan tidak menerima keputusan itu dan menyatakan hendak naik banding. Seperti sudah menyangka akan sikap jaksa ini, sebelum hakim menanyakan kepada jaksa akan sikapnya itu, Pembela Kho Gin Tjan SH mengajukan sebuah pertanyaan kepada hakim. Kurang lebih ia bertanya begini: "Apakah dalam keputusan hakim yang membebaskan tertuduh dari segala tuduhan (vrijspraak) dapat dimintakan banding oleh jaksa?" Hakim, yang telah selesai tugasnya, tentu tidak harus bersikap seperti yang diminta oleh pembela. Kepada TEMPO, Advokat Kho Gin Tjan menyatakan: "Menurut undang-undang seharusnya jaksa tidak boleh naik banding, karena tertuduh telah dibebaskan secara mutlak oleh hakim". Ketentuan itu ada dalam UU Pokok mengenai Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: "Atas semua putusan Pengadaan tingkat pertama, yang tidak merupakan pem- bebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh fihak-fihak yang bersangkutan......". Dengan membaca ketentuan ini Kho mengatakan: "Sebenarnya jaksa telah melanggar hukum yang berlaku". Dikutip Kembali Betulkah demikian? Ini soal lama dan bukan sekali dua kali ini jaksa tetap memintakan banding untuk pembebasan tertuduh oleh sebuah keputusan hakim. Ini pernah diakui oleh Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi Jakarta sendiri Singgih SH (TEMPO, 22 Pebruari 1975). Dan alasannya, katanya pula, "jaksa masih menganggap pembebasan tertuduh itu bukan pembebasan murni". Siapa yang harus menyatakan pembebasan itu murni atau tidak? "Lho itu 'kan sudah diucapkan oleh hakim", kata Kho Gin Tjan. "Kalau hakim sudah menyatakan tertuduh dibebaskan dari tuduhan, itu artinya pembebasan murni dan itu tegas menurut undang-undang tidak boleh dimintakan banding", lanjutnya. Kepala Humas Kejaksaan Agung sendiri hingga berita ini diturunkan masih ragu-ragu untuk memastikan sikap Jaksa Baginda Ramelan. "Saya harus mendapat kepastian lebih dulu dari jaksa yang bersangkutan, apakah ia betul-betul akan naik banding atau tidak" kata Kepala Humas Tomasouw SH. Dan pada dasarnya ia berpendapat, "kalau pembebasan murni, tidak seharusnya jaksa naik banding". Tidak hanya dari segi tidak menerima keputusan hakim saja keinginan jaksa untuk tetap membuat perkara pada diri Oei. Begitu Oei keluar dari tahanan atas pembebasan dari hakim, ia sudah disodori surat penahanan baru dan harus segera disekap kembali. Hal itu dibenarkan oleh jubir Kejaksaan Agung sendiri. Hanya, apakah itu masih dalam soal penyelundupan cengkeh atau perkara lain lagi, Tomasouw sendiri belum dapat menjelaskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus