DARI sebuah sidang pengadilan perkara penyelundupan -- tapi
belum subversi. Terdakwanya, Peter Oei, 42 tahun, alias Oei Pek
Thay, Direktur CV Kretek Jakarta, dihadapkan dengan dua tuduhan
jaksa: kejahatan ekonomi dan kejahatan sebagai tukang tadah.
Kejahatan ekonomi, seperti tuduhan jaksa, karena Oei dianggap
telah terlibat dalam sebuah penyelundupan 72 ton cengkeh awal
tahun lalu. Ia adalah alamat si penerima cengkeh kiriman Ho Yin
Nam, Singapura, yang dimasukkan ke Jakarta melalui Pelabuhan
Tanjung Priok dengan kedok "alat tulis-menulis untuk
perpustakaan USIS". Karena menyangkut nama baik Kedutaan Amerika
di sini, maka petugas pabean meloloskan begitu saja kiriman Yin
Nam ini. Begitu lancarnya penyelundupan bertonan cengkeh itu,
sehingga dengan beberapa truk barang itu sempat digudangkan di
Jalan Gunung Sahari XII/4 Jakarta. Namun ketika Peter Oei hendak
mengeluarkan cengkeh itu dari gudang milik Saksi Zaldi Gunawan,
keburu yang berwajib turun tangan. Untuk perkara ini ia dituntut
oleh Jaksa Ramelan Baginda, dari Kejaksaan Agung dengan hukuman
penjara dua setengah tahun dan denda Rp 5 juta.
Pada hari-hari sidang yang sama, secara berturutan, Hakim TM
Abdullah SH (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) langsung memeriksa
perkara Oei yang kedua: kejahatan menadah barang-barang yang
berasal dari hasil kejahatan. Ini memang cara yang lazim. Lain
dengan model Hakim Bismar Siregar, yang memeriksa secara seka-
ligus dua perkara (pidana ekonomi & korupsi Abu Kiswo --
(TEMPO, 1 April). Hakim Abdullah memisahkannya dengan tegas
antara tugasnya sebagai hakim pidana ekonomi dengan hakim pidana
biasa. Setelah menutup perkara yang pertama, kejahatan ekonomi,
barulah ia membuka perkara penadahan. Untuk perkara pidana biasa
ini, jaksa telah menuntut agar Oei dihukum penjara dua tahun --
segera masuk.
Kurang Lebih
Sungguh nasib baik, mula-mula, yang menaungi Peter Oei. Sebagai
tukang tadah ia memang telah dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan. Untuk itu ia diganjar hukuman setahun dan dua bulan
penjara. Namun karena ia telah menjalani masa penahanan
sementara setahun dan dua bulan tambah dua puluh hari -- dan itu
harus diperhitungkan dengan masa hukumannya maka ia boleh
langsung bebas. Apalagi kejahatan ekonomi seperti yang
dituduhkan oleh jaksa, ternyata, menurut hakim tidak terbukti
selama dalam pemeriksaan.
Tapi apa boleh buat. Agaknya jaksa dari Kejaksaan Agung ini tak
hendak melepaskan pesakitannya begitu saja. Begitu Hakim
Abdullah selesai mengetuk palu vonis, Jaksa Baginda Ramelan
menyatakan tidak menerima keputusan itu dan menyatakan hendak
naik banding. Seperti sudah menyangka akan sikap jaksa ini,
sebelum hakim menanyakan kepada jaksa akan sikapnya itu, Pembela
Kho Gin Tjan SH mengajukan sebuah pertanyaan kepada hakim.
Kurang lebih ia bertanya begini: "Apakah dalam keputusan hakim
yang membebaskan tertuduh dari segala tuduhan (vrijspraak)
dapat dimintakan banding oleh jaksa?" Hakim, yang telah selesai
tugasnya, tentu tidak harus bersikap seperti yang diminta oleh
pembela. Kepada TEMPO, Advokat Kho Gin Tjan menyatakan: "Menurut
undang-undang seharusnya jaksa tidak boleh naik banding, karena
tertuduh telah dibebaskan secara mutlak oleh hakim". Ketentuan
itu ada dalam UU Pokok mengenai Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi: "Atas semua putusan Pengadaan tingkat pertama, yang
tidak merupakan pem- bebasan dari tuduhan, dapat dimintakan
banding oleh fihak-fihak yang bersangkutan......". Dengan
membaca ketentuan ini Kho mengatakan: "Sebenarnya jaksa telah
melanggar hukum yang berlaku".
Dikutip Kembali
Betulkah demikian? Ini soal lama dan bukan sekali dua kali ini
jaksa tetap memintakan banding untuk pembebasan tertuduh oleh
sebuah keputusan hakim. Ini pernah diakui oleh Asisten Operasi
Kejaksaan Tinggi Jakarta sendiri Singgih SH (TEMPO, 22 Pebruari
1975). Dan alasannya, katanya pula, "jaksa masih menganggap
pembebasan tertuduh itu bukan pembebasan murni". Siapa yang
harus menyatakan pembebasan itu murni atau tidak? "Lho itu 'kan
sudah diucapkan oleh hakim", kata Kho Gin Tjan. "Kalau hakim
sudah menyatakan tertuduh dibebaskan dari tuduhan, itu artinya
pembebasan murni dan itu tegas menurut undang-undang tidak boleh
dimintakan banding", lanjutnya. Kepala Humas Kejaksaan Agung
sendiri hingga berita ini diturunkan masih ragu-ragu untuk
memastikan sikap Jaksa Baginda Ramelan. "Saya harus mendapat
kepastian lebih dulu dari jaksa yang bersangkutan, apakah ia
betul-betul akan naik banding atau tidak" kata Kepala Humas
Tomasouw SH. Dan pada dasarnya ia berpendapat, "kalau pembebasan
murni, tidak seharusnya jaksa naik banding".
Tidak hanya dari segi tidak menerima keputusan hakim saja
keinginan jaksa untuk tetap membuat perkara pada diri Oei.
Begitu Oei keluar dari tahanan atas pembebasan dari hakim, ia
sudah disodori surat penahanan baru dan harus segera disekap
kembali. Hal itu dibenarkan oleh jubir Kejaksaan Agung sendiri.
Hanya, apakah itu masih dalam soal penyelundupan cengkeh atau
perkara lain lagi, Tomasouw sendiri belum dapat menjelaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini