KETIKA terjadi peristiwa pemalsuan beslit pengangkatan guru
agama Islam, Departemen Agama (Depag) sejak 1967 telah
mengeluarkan larangan mengangkat guru-guru baru. Larangan itu
ternyata tidak hanya berlaku buat guru agama Islam itu. Selain
mengakibatkan hampir semua lulusan PGA (Pendidikan Guru Agama)
baik yang Islam maupun Hindu (barangkali juga PGA Kristen)
bertumpuk tidak bisa diangkat sebagai guru tetap, juga
menyebabkan jumlah murid PGA semakin ciut. "Untuk apa
payah-payah menyekolahkan anak selama enam tahun bila setelah
itu menjadi penganggur", komentar beberapa orang tua murid di
PGA Hindu negeri Singaraja, Bali. Jelas, bagi masyarakat
penganut agama ini, yang menjadi penghuni hampir seluruh pulau
itu, peraturan Depag yang lahir akibat ricuh pemalsuan beslit
guru agama Islam, sangat merugikan. "Orang yang makan nangkanya,
orang lain yang kena getahnya". ujar I Gde Puja MA, Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu-Buddha, Depag.
Tentu saja pada akhirnya, peraturan yang sampai kini belum
dicabut itu, merugikan semua calon guru agama. Karena itu usaha
untuk menjebol peraturan yang mengakibatkan kebutuhan guru agama
jauh dari cukup itu, telah dilakukan dengan berbagai cara. DPR
sudah dimintakan agar SK pelarangan pengangkatan pegawai baru
itu segera ditinjau kembali. Sementara itu, "saya sudah berusaha
bahkan mendesak Menteri Agama", ujar Gde Puja (TEMPO, 3 Januari
1976). Dan keinginan Gde Puja itu disokong oleh bukti adanya
1127 tamatan PGA Hindu yang sampai kini masih berstatus guru
tidak tetap. Dari jumlah itu baru 36 saja yang diangkat sebagai
pegawai negeri. Sedangkan dari jumlah SD di Bali yang berstatus
negeri ada 1400 buah. Sehingga bila semua jumlah lulusan PGA
Hindu itu diangkat menjadi pegawai negeri, masih belum mencukupi
juga. Bicara kepada wartawan akhir Maret kemarin, Gde Puja juga
bilang, permohonan pengangkatan guru agama di Bali pernah
diusulkan oleh seorang anggota DPR dalam kesempatan rapat kerja
dengan Menteri Agama. Katanya, pada waktu itu pun Mukti Ali
tidak dapat menjanjikan apa-apa. Repot juga.
Dari Jawa
Nampaknya kekurangan guru agama (Hindu atau Islam) di mana-mana
untuk sementara masih sulit dipenuhi. Tentu saja gejala serupa
itu akan tidak sedap bila dibiarkan terus. Kalimantan Barat
misalnya yang memiliki 197 guru agama, berarti hanya 11,3 prosen
saja dari kebutuhan yan seharusnya. Di daerah itu kini terdapat
tak kurang dari 1.466 buah SD Negeri. Belum terhitung SD Inpres
dan yang swasta. Di Pontianak untuk melayani 66 SD Negeri plus 4
SD Inpres, hanya tersedia 32 orang guru agama. Masih mending
sebenarnya bila dibandingkan dengan jumlah guru agama di luar
ibukota propinsi itu. Di Kapuas Hulu dan Sintang, misalnya
masing-masing cuma tersedia lima orang guru agama. Sehingga
barangkali bisa diduga, di kabupaten-kabupaten yang telah lama
diganggu gerombolan komunis itu, banyak sekolah yang tidak
pernah mengecap pelajaran agama.
Menteri Agama bukan tidak mafhum keadaan kurangnya guru-guru
agama selama ini. Apalagi, Kepala PGA Negeri (6 tahun)
Pontianak, M. Choesnan BA, katanya sudah melaporkan keadaan itu
kepada Mukti Ali ketika Menteri datang ke sana. Tidak
tanggung-tanggung Choesnan menyebutkan angka 1000 untuk jumlah
guru agama yang dibutuhkan daerah itu. Sebab sekolah yang
dipimpinnya sendiri, sejak 1966 baru menghasilkan 368 lulusan.
Tapi karena sudah tidak diperkenankan mengangkat guru baru lagi,
"sejak dulu jumlah guru agama tetap sebegitu saja", ujar
Choesnan. Nah, karena sudah ada larangan pengangkatan guru
tetap, seperti kejadian terhadap lulusan PGA Hindu Negeri di
Bali yang akhirnya melamar sebagai guru umum, di Kalbar,
guru-guru gama lulusan PGA itu juga banyak yang memilih menjadi
guru umum. Dan gejala seperti itu menye- babkan jumlah calon
guru agama lulusan P&A di Kalbar semakin mengecil. Sehingga bila
memang nanti guru agama perlu ditambah, "mesti ada droping dari
Jawa", ucap Choesnan lagi.
Jaminan Hidup
Belum ada catatan bahwa pulau Jawa memiliki kelebihan guru agama
yang bisa diekspor ke pulau lain. Yang jelas keadaan seperti
Kalbar atau Bali terjadi juga di Kepulauan Riau. Di sini dengan
200 buah SD baru tersedia guru agama sebanyak 160 orang. Melihat
angka yang tentu saja tidak sebanding itu, menyebabkan dra.
Roswita Suadi dari Komisi IV DPRD Kepulauan Riau melongok ke P&A
Negeri Tanjung Pinang, akhir Januari kemarin. Dengan cepat wakil
rakyat itu bisa menarik kesimpulan: sekolah agama itu kekurangan
animo. PGA yang memiliki perlengkapan gedung yang permanen dan
luas itu, memang terlalu besar untuk murid yang seluruhnya cuma
12 orang. "Banyak orang bila tidak melihat adanya jaminan hidup
bagi anak-anaknya yang tamat dari-sekolah ini", ujar Firdaus OR,
Kepala PGA, "bahkan sampai kini masih ada 200 orang lulusan PGA
yang belum diangkat". Kini memang masalahnya terutama bagaimana
agar yang 200 lulusan PGA itu bisa dimanfaatkan. Misalnya bisa
saja ditugaskan mengajar di SD atau madrasah-madrasah yang
jumlahnya ada 33 buah di Kepulauan Riau itu. Tapi siapa yang
akan memikul honornya? Karena itu fihak Pemdalah yang
diharapkan bisa meng-"honda"kan (honor daerah) calon-calon guru
ayama itu. Sebab seperti kata seorang anggota wakil rakyat di
komisi itu: "Tak mungkin pendidikan agama tidak diajarkan
sama-sekali di SD".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini