Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya memanjang ke atas. Kakikakinya yang panjang seperti labalaba dan semuanya bertekuk. Di atas air, ketiga sosok binatang buatan itu tampak asyik bergoyanggoyang. Gerakannya itu bukan karena angin, melainkan berkat bandul atau pemberat yang bergerak memutar tanpa henti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di alam liar, kita bisa melihat sosok asli satwa itu bagaikan nyamuk besar. Menyukai air jernih, ia juga menjadi salah satu penanda lingkungan yang asri. Orang Sunda mengenalnya dengan sebutan engkangengkang. Serangga air itu juga dinamakan angganganggang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Septian Hariyoga membuat serangga itu dengan pembesaran bentuk. Berdimensi 45 sentimeter dan tinggi 70 sentimeter, bahannya campuran aluminium, kuningan, dan baja. Pematung lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB berusia 41 tahun itu menempatkan karyanya di sebuah kolam air dangkal di dalam area Wot Batu, Bandung.
Sejak 7 September hingga 7 Oktober 2018, ia menggelar delapan karya yang hampir semuanya berjenis kinetik. Bertajuk "Circle", pameran tunggalnya ini dikurasi oleh Asmudjo Jono Irianto. Menyebar di taman berbatu bentukan perupa Sunaryo, beberapa karyanya yang merespons tempat itu sebagian agak tersembunyi.
Menurut Asmudjo dalam pengantar pameran, untuk pertama kalinya ini Septian menggarap site specific atau lokasi tertentu. Pilihannya di Wot Batu itu kemudian menjadi rangkaian acara menuju perayaan 20 tahun Selasar Sunaryo Art Space pada bulan ini.
"Circle" bisa diduga berasal dari pergerakan roda gigi ataupun beberapa karyanya yang berjalan melingkar. Pada karya berjudul Padalarang, misalnya, terdapat beberapa lingkaran tak utuh yang saling bergerak ke segala arah. Di tengahnya terdapat sebuah batu kuarsa kecil yang dipungut dari daerah Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.
Pada sebagian wilayah itu gerak roda ekonomi dan truk pengangkut berjalan terus sejak dulu. Pengusaha tambang mengeksplorasi alam untuk mendapatkan batu gamping alias kapur untuk olahan semen. Selain lewat cara mengeruk dengan peralatan berat, mereka meledakkan perbukitan kapur itu.
Karya berjudul Circle juga bergerak memutar. Berbentuk lingkaran bergaris tengah 85 sentimeter, lempeng logam seperti cymbals pada drum itu dipasangi motor atau alat penggerak. Agar tak ambruk, ia disambung dengan sebatang logam untuk menopangnya.
Beberapa karya lainnya, seperti Lingkaran Angin, Burangrang, dan Bunga di Atas Batu, berada di sekitar kolam lain. Sementara itu, Zepperin yang berbentuk seperti balon Zeppelin tergantung di dekat pintu masuk. Sebuah kapalkapalan dari logam yang biasa dibuat dari kertas juga tergantung bersama bandul penyeimbang.
Keberadaan bendabenda karya berbahan logam di tempat itu memang memunculkan kesan tak biasa. Namun, karena ukurannya lebih kecil, batubatu alam yang besar di sana terasa lebih dominan. "Dimensi karyakarya Septian berada dalam skala yang intim dengan tubuh manusia, dan tak terlihat ingin mengkooptasi alam tempatnya hadir," ujar Asmudjo.
Beberapa karya kinetik Septian juga terkesan menghidupkan sebagian kecil ruang terbuka yang diam dan hening di Wot Batu. Sunaryo menyebut tempat itu sebagai simbol keabadian, atau ruang setelah dunia fana. Menurut Asmudjo, kekaryaan Septian hadir menyelaraskan diri dengan lingkungan sekitarnya. "Circle" dan Wot Batu samasama bertema dan berkisah tentang alam.
Seperti kebudayaan manusia yang berawal dari batu kemudian ke logam, pergerakan itu mengalir ke teknologi yang lebih canggih sekarang ini. Tapi jangan berharap muncul teknologi mutakhir di pameran ini, karena Septian hanya menampilkan karya kinetik yang sederhana dan lainnya berupa patung. ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo