Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

MACAN

Putu Wijaya dikenal sebagai cerpenis, novelis, dramawan, dan wartawan. Dia juga seorang penulis yang sangat produktif.

16 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Macan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


MACAN

Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah enam puluh tahun, harimau yang sempat tersekap itu gentayangan kembali. Rasa pedih derita yang berhasil disembunyikannya dulu, kini menuntut dibayar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maka di mana ada kesempatan, dia membuka mulutnya. Mula-mula hanya berani di gang kecil yang sunyi. Setelah merasa aman karena tak ada yang peduli, dia mulai berani masuk ke kaki lima. Dan kini dia mengaum di mana saja ada kesempatan.

Termasuk satu kali dia lakukan itu di perempatan jalan. Tapi karena kebetulan ada demo jadi tidak ada yang memperhatikan. Lebih tepat kalau dikatakan tak ada yang mempedulikan.

Saya saja yang merasa terganggu. Mengapa macan mengaum di tempat ramai dibiarkan.

Sedangkan kita salah parkir kendaraan saja langsung diderek dan harus ditebus setengah juta. Saya pun bersiap mau protes. Tapi Hati Kecil saya interupsi. 

Jangan Bang, kita ini kan negeri merdeka. Kalau demo, boleh. Apa salahnya orang curhat. Itu kan demi menguras rasa sebalnya atas nama keadilan karena dulu dia ditangkap dan disekap! 

Lho rasa sebal? Demi keadilan apaan? Itu kan kejadian 6 dekade lalu. Dia ditangkap karena berkomplot dengan yang menyerang petugas. Lha, petugas itu sudah diganti karena zaman sudah berubah. Sekarang zaman sudah beda sama sekali! Apa dia tidak tahu sekarang mau gigit orang juga silakan, asalkan jangan sampai mati. 

Maka dari itu, Bang! Kalau gigit orang saja sudah boleh, mengapa mengaum tok dilarang? Apa salahnya mengaum? Itu kan sangat manusiawi!

Lho, siapa melarang? Silakan, silakan, tapi jangan moncongnya terarah ke kita orang, dong. Kecuali kalau memang ada niat lain. Terutama kalau bawa penumpang gelap yang tidak kelihatan oleh kita, juga oleh sang macan itu sendiri. 

Maksud Abang, dia sengaja lakukan itu supaya petugas kembali naik darah lantas menangkap dan menyekapnya. Alias sebetulnya mancing? Sebagai bukti petugas 60 tahun lalu dan kini podo wae? Begitu, Bang?

Apa?? 

Atau ada teroris sudah memanfaatkan dendam Bung Macan itu, untuk mengacak-acak kita yang hampir berhasil membersihkannya?! 

Ah? Apa? Heee!!! Tunggu! Jangan kabur dulu!!

Tapi Hati Kecil saya sudah telanjur ngacir. Saya jadi tercenung lama sekali. Apa memang begitu? Gila, saya hampir tertipu lagi! Jangan-jangan banyak orang memang sudah tahu. Saya saja yang telmi. Akhirnya, saya memutuskan tak jadi protes. Biar saja sandiwara itu terus mengalir agar berakhir sendiri karena sudah ketahuan belangnya.

Tapi begitu saya menemukan keputusan yang saya anggap jalan terbaik itu, macan itu berhenti mengaum. Suaranya tak pernah lagi terdengar. Saya samperin sampai ke gang-gang kecil, bahkan saya intip juga di berbagai jalan tikus. Tak ada.

Saya tanyakan kepada beberapa orang yang saya percaya tak akan memberikan kesaksian bohong. Eee, saya malah dipelototi seakan-akan curiga saya ada gangguan mental.

Karena penasaran, saya tulis Surat Pembaca di koran langganan saya. Bahwa sesuatu yang tiba-tiba menghilang jangan dianggap sudah tamat riwayatnya. Justru itu penanda eksistensinya di dunia bawah tanah semakin nyata dan kuat. Saya percaya itu sebagai jebakan yang meniru tipu muslihat Raden Arjuna dalam pewayangan di episode Gua Kiskenda, ketika diminta para Dewa membunuh Niwatakawaca. Arjuna pura-pura kalah sehingga raksasa yang ingin merampas bidadari top Dewi Supraba, tertawa ngakak. Waktu itulah Arjuna merentang gendewanya dan menancapkan anak panah ke langit-langit mulut Niwatakawaca dan keluar sebagai pemenang duel.

Saya percaya para petugas akan ngeh pada apa yang sedang terjadi. Situasi yang tampak lebih kondusif, sehingga membuat kita cenderung lengah, sering lebih berbahaya daripada keadaan gawat yang justru menggiring kita selalu awas dan waspada.

Setelah lewat beberapa  hari, seorang lelaki kerempeng mengunjungi saya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai penggemar wayang. Lalu bertanya bagaimana sampai Raden Arjuna tahu bahwa kelemahan Niwatakawaca yang hendak menjarah Swargaloka itu ada di langit-langit mulutnya? 

Pertanyaan itu membuat saya terkejut. Melihat mukanya yang rada bloon saya jadi ingat adik kelas saya di SMA yang diberi julukan Kuncung. Lalu spontan saja saya tembak.

Lho, maaf, kamu ini Kuncung?

Dia tak menjawab, hanya nyengir.

Saya jadi tertawa dan terus menggasaknya.

Kamu intel, ya?

Ketika dia kembali menjawab dengan nyengir, saya langsung tarik dia ke masa lalu. Masa SMA, masa yang konon paling indah buat siapa saja. Sambil saya pancing-pancing tanggapan pihak petugas terhadap macan itu. Tapi gagal. 

Kuncung bukan lagi si Kuncung saya yang dulu.

Baru setelah Kuncung pergi, saya penasaran oleh pertanyaan mengapa dia mengunjungi saya. Apa sebetulnya yang mau dia korek dari saya. Tiba-tiba saya terkejut jangan-jangan saya dicurigai.

Memang!

Saya melirik ke Hati Kecil saya.

Memang apaan?

Masak enggak tahu. Kalau ada intel datang. Artinya, mereka sudah mencium bau Abang.

Gile. Emang gue bau apaan?

Habis gembar-gembor macan, macan melulu. Wajar kalau mereka ingin tahu apa ini maling teriak maling?!

Lho, maksud Ente apa? Heee! Jangan kabur!!!

Terlambat. Dia sudah menghilang. Saya jadi bingung. Kok saya dituduh maling teriak maling. Memang saya maling apa? Saya justru ingin membuka kedok macan yang teler asal menghujat itu, tapi salah alamat. Kok dibalik. Kok jadi saya yang...atau, atau dia pikir macan itu saya, apa?!

Saya terkejut. Macan itu kan metafora saya.

Kok jadi saya justru yang dianggap macannya. Di situ, saya naik darah. Apa salahnya orang marah kalau dizolimi. Kalau dibiarkan bisa jadi kebiasaan. Perlu sebelum telanjur besar ditindak agar kapok.

Lalu saya kumpulkan beberapa teman yang sepaham. Setelah merundingkan dengan cermat, kami putuskan mengambil tindakan tegas.

Duduk ditemani segelas kopi, saya menunggu teman-teman datang. Tapi sampai tengah malam belum ada yang muncul. Ketika saya mau menghubungi mereka dengan WA tak tersangka-sangka muncul Kuncung.

Jangan, Bang!

Saya terkejut.

Lho. Kok tahu?

Kuncung nyengir seperti biasa.

Ya, kan?!

Ya, kan apa?

Macan itu, kan binaan kami juga untuk memancing macan-macan yang sembunyi supaya keluar, agar gampang diantisipasi demi keseimbangan, keamanan, dan keselamatan kita semua.

Apa?

Kuncung nyengir.

Ya, sama dengan Abang!

Heee! Tunggu!!!

Tapi dia sudah kabur dengan motornya. Saya jadi bingung. Apakah saya masih punya saya, atau milik orang lain?

29 03 23


Putu Wijaya dikenal sebagai cerpenis, novelis, dramawan, dan wartawan. Pendiri Teater Mandiri ini merupakan penulis yang sangat produktif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus