TAHUN 1976 ini tahun baik bagi eksportir. Dalam paket April
lalu pajak ekspor turun banyak -- sampai ada yang terhapus sama
sekali. Tarif kapal tambang turun 1OO% pungutan daerah dan
jasa di pelabuhan tidak lagi harus membebani biaya ekspor dan
bunga kredit hingga tinggal 12% lagi. Juga keluhan mereka
sekitar pungutan siluman telah didengar dengan baik oleh Menteri
Perhubungan Emil Salim. Para Dirjen ditegur oleh Menteri agar
menghapuskan pungutan tidak resmi yang selama ini dikenakan
kepada masyarakat pemakai jasa-jasa perhubungan. Hasilnya
melegakan -- seperti yang: diiginkan: ekspor melonjak nilainya.
Ditjen Bea Cukai Tanjung Priok telah berani mengumumkan: "Dua
bulan terakhir ini nilai ekspor di pelabuhan itu mencapai hampir
AS$ 142 juta. Ini berarti telah jauh melewati nilai realisasi
triwulan I tahun anggaran lalu yang cuma AS$ 125 juta lebih
itu". Tanggapan pasar di luar negeri juga meriah. Contohnya:
ternak Indonesia sudah mampu menyaingi harga sapi Australia dan
RRT (lihat: Melawan Sapi Cina). Prof. Widjojo Nitisastro,
Menteri Ekuin, telah menyampaikan harapan masa depan ekspor
Indonesia itu untuk meyakinkan dunia dalam kesempatan sidang
IGGI di Amsterdam lalu. Dan ini menyenangkan bagi yang
mendengarnya. RAPBN 76/77 sudah siap untuk tidak mengharap
terlalu banyak dari pajak ekspor. Cuma diharapkan masuk Rp 36
milyar -- separoh angka dari anggaran sebelumnya. Karena yang
penting mengkatrol nilai ekspor tahun lalu yang turun AS$ 326
juta dibanding tahun sebelumnya.
Lain Pusat lain pula Daerah. Pemda-Pemda tingkat I kaget bukan
main mendengar sorak para eksportir yang menerima hadiah tahun
ini. Penertiban pungutan siluman alias liar cukup bisa
dimengerti. Tapi bagaimana kantong daerah yang biasa diisi
melalui pungutan resmi, restribusi daerah jasa ini dan itu?
Baiklah CESS, itu pungutan daerah ekspor hasil bumi, dihapuskan.
Tapi setidaknya sekian prosen hasil devisa masih kembali ke
daerah melalui ADO yang hidup kembali. Malangnya -- dengan
terhapusnya pungutan daerah yang resmi itu -- berarti
kepincangan rencana anggaran daerah yang telah tersusun. Salah
seorang pejabat Pemda Riau menyatakan di Jakarta beberapa waktu
lalu, anggaran daerahnya akan berkurang sekitar Rp 5 milyar,
yang selama ini diharapkan dari pungutan ekspor. Gubernur
Sulawesi Utara, HV. Worang juga akan kehilangan dana yang selama
ini dipungut dari ekspor sekitar hampir Rp 1 milyar. Padahal
dari dana itulah direncanakan untuk membangun proyek-proyek
daerah. Terhapusnya dana itu, menurut Gubernur, "akan
menghambat usaha pembangunan daerah, katanya, seperti dikutip
Kompas minggu lalu.
Mudah diduga hal yan sama dialami juga oleh daerah-daerah lain,
yang selama ini banyak mengeluarkan peraturan daerah untuk
memunguti bea dari barang ekspor daerahnya.
Pemda Sulawesi Utara tak lebih dan tak kurang mengharapkan agar
kas daerahnya, yang berkurang itu, akan mendapat tambahan dari
Pusat. Pejabat dari Riau angkat bahu: "Terpaksa difikirkan untuk
membuat peraturan daerah baru agar tetap diperoleh dana".
Tampaknya kebijaksanaan mengenai ekspor, yang kelihatannya
menopang soal perdagangan semata, sulit diikuti oleh
kebijaksanaan di bidang lain. Seperti bidang pengelolaan
pelabuhan dan bidang pemerintahan daerah pada umumnya. Sebab
kebijaksanaan mengenai ekspor tak pernah luput dari peraturan
daerah. Dan yang terakhir itu tampaknya masih belum siap ketika
paket April itu dilaksanakan. "Sebetulnya kami ini belum diajak
berunding", kata seorang di lingkungan Departemen Perhubungan.
Hingga tak salah kalau Gubernur Worang juga wanti-wanti, agar
penghapusan pajak & pungutan daerah, "tidak hanya mengakibatkan
keuntungan yang lebih besar bagi para pedagang dan eksportir
saja". Konon fihak-fihak yang merasa belum diajak berunding
dalam hal paket April itu, kini ingin berunding dengan
Departemen Perdagangan. Bagaimana hasilnya belum lagi diketahui
hingga akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini