Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Belasan seniman Bandung memaknai ruang publik di masa pandemi Covid-19 dengan memposisikan diri sebagai pejalan kaki. Alih-alih merayakan ruang publik, mereka menggugat kesadaran soal tempat di luar kamar isolasi mandiri. Hasil karyanya dipamerkan di galeri Orbital Dago, Bandung hingga 14 Maret 2021 dalam proyek berjudul Shifting Space.
Seorang lelaki berkostum pejuang muncul di daerah Cicadas, Bandung dengan cara tak lazim. Dekat sebuah pasar di pinggir jalan, tubuhnya tergeletak dengan posisi tengkurap sambil memejamkan mata. Pun di sebuah tempat parkir kendaraan dan jalan gang permukiman warga. Di sisi jalan lain, dia duduk terkulai sambil bersandar ke tiang-tiang besi.
Baca: Tak Bisa Pentas Saat Pandemi, Seniman Betawi di Condet Gelar Pertunjukan Virtual
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Performance art oleh Agung Eko Sutrisno yang dirangkum dalam video berdurasi 10 menit itu digarap bersama rekannya, Aura Arian. Seniman dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu menampilkan karya berjudul A Brief History of Cicadas. Mereka menghadirkan ingatan sejarah suatu tempat yang pernah menjadi sasaran pemboman oleh penjajah saat perang kemerdekaan.
Pameran yang digelar sejak 26 Februari itu juga memajang karya foto Condro Priyoaji. Berjudul Polusi Warna, dia tertarik dengan fenomena warna yang terjadi di lingkungan keseharian. Fokus obyek fotonya yaitu beberapa papan iklan di beberapa lokasi. Ketertarikan akan fenomena warna ini muncul dari kebiasaannya melukis ketika kuliah.
Duet Widi Wardani dan Rainda Satrya menghadirkan karya interaktif di ruang publik. Mereka menghadirkan sebuah board game yaitu ludo. Karya yang dimainkan oleh beberapa orang di pinggir jalan itu berjudul Komunikasi Ludo.
Instalasi karya Delpi Suhariyanto berjudul Melihat Secara Terpisah/ANWAR SISWADI
Dengan konsep yang hampir mirip, kelompok guru berinteraksi dengan suara-suara di sekitarnya. Grup musik yang dibentuk kalangan pengajar itu membuat pertunjukan konser di jembatan penyeberangan kereta dekat Stasiun Bandung. Selain menangkap suara dari vokal serta instrumen musik yang dimainkan, microphone juga mereka arahkan ke kereta api yang melintas di bawah mereka.
Menurut Kelana Wisnu Sapta Nugraha dalam tulisan pengantar pameran itu, para seniman menjalani proses lokakarya singkat serta memakai metode flaneur yang dipopulerkan oleh Walter Benjamin untuk mendekati subjek. “Dengan memposisikan diri sebagai pejalan kaki, para seniman mendekati ruang dalam proses meditatif, aktif, atau pun interaktif,” katanya. Peserta lain yang ikut dalam pameran bersama ini yaitu Delpi Suhariyanto, Fefia Suh, dan Marten Bayuaji.
ANWAR SISWADI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini