Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mata seorang imigran

Siao erh chien, imigran cina, sejak thn 1936 menetap di indonesia, menampilkan 64 buah lukisannya di balai budaya. karyanya sederhana dan manusiawi, tanpa meninggalkan ciri lingkungan tanah leluhurnya.(sr)

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU usianya hampir 61, ia berdiri di depan kertas dan melukis 60 ekor burung layang-layang dan bunga persik. Inilah Siao Erh Chien - yang berimigrasi ke Indonesia tahun 1939. Lahir di Kabupaten Mei, China, orang tua yang tetap melukis dengan gaya tradisionil Tiongkok ini muncul di Balai Budaya 14 s/d 21 Agustus dengan 64 buah karyanya. Hampir 40 tahun meninggalkan tanah leluhur memang bisa banyak merubah tangan orang. Kendati pelukis ini masih mencoba berekspresi di atas kertas dan warna China, dalam garis dan bidang-bidang yang khas itu, tapi ada yang telah cair. Ia tidak totok lagi. Terutama manakala ia mencoba melukis obyek-obyek yang ada di bumi ini. Seratus Burung Gereja Barangkali memang lingkunganlah yang telah menciptakan gaya. Warna tanah, sifat pepohonan, musim, tampang bukit, suasana berkabut, cara hidup dan sebagainya, mungkin yang telah menggerakkan kwas para pelukis tradisionil China untuk mencapai bentuk temperamen yang tersohor puitis itu. Ini sekarang dipelajari dan ditiru sebagai gaya. Tetapi bila diterapkan pada lingkungan lain akan terlihat seperti turis yang mencoba memakai pakaian lokal. Imigran yang masih kaku bahasa Indonesianya ini, memang terasa jujur, spontan dan puitis manakala melukis obyek imajiner. Misalnya lukisan Bunga Persik dan Burung Layang-Layang itu. Juga lukisan Seratus Burung Gereja, yang menunjukkan 100 ekor burung bertengger di sebuah pohon pada pergantian musim. Lagi lukisan 30 ekor Ikan Mas. Ia melukisnya melalui khayalan, lalu terasa bahwa ia tidak pernah benar-benar meninggalkan lingkungan tanah leluhurnya. Warna-warna yang ringan, sapuan-sapuan yang halus, terasa meruapkan hawa dingin pegunungan dan lingkungan hidup yang jauh. Tapi terasa ada penolakan setelah ia mencoba menerapkan tarikan garis. selera warna. pulasan bidang seperti itu -- pada obyek pribumi seperti Ciloto. Puncak dan Ciloto ditangkapnya dengan semacam perkosaan pada alam yang meskipun indah bukankah juga agak keras. Alam Indonesia tanah tropis yang umumnya heterogin, kaya dan penuh warna, cenderung melantunkan suasana yang prosais. Kalau ditangkap dengan puisi warna, akan jadi sentimentil dan lepas. Kita berhadapan dengan mimpi. Tetapi berbeda dengan suasana fantastis dalam lukisan anak-anak. Perkosaan semacam ini hanya menimbulkan perasaan tidak percaya, karena kita melihat ketidak jujuran. Demikianlah lukisan-lukisan seperti: Pemandangan di Puncak, Pemandangan Ciloto, Meluku, Panen, apalagi Taman Mini, terasa dangkal dan tak pantas. Mcngingat beberapa lukisan yang disebutkan sebelumnya - juga lukisan-lukisan seperti: 10 Ekor Ikan Mas, Burung Layang-Layang, apalagi Bunga Teratai di Pohon Kepodang, Bambu Hitam, Burung Jalan di Pohon Willow - sempat mengharukan karena amat puitis. Burung Kepodang Beberapa karya pelukis ini terasa sederhana dan manusiawi. Pada lukisan Pisang dan Jambangan Bunga yang menonjolkan komposisi, kita diingatkan pada hidup sehari-hari yang amat dekat. Kebutuhan makan, rasa kekeluargaan dan suasana rumah tangga di sekitar meja. Kemahiran pulasan kwas ini juga menonjol pada lukisan Bunga Teratai dan Burung Kepodang serta Burung yang melukiskan dua ekor burung di dahan dengan ketrampilan menangkap daun yang amat spontan dan ritmis. Judul warna dan obyek dalam pameran ini lebih merupakan kerepotan orang yang sedang menembang. Akrab pada alam, mencintai lingkungan. Manusia hanya bagian kecil dari semesta yang begitu misterius. Pelukis ini tidak hanya menampilkan gaya, tetapi juga kesederhanaan pandangan hidup. Hal yang tiba-tiba terasa jernih, mengingat saratnya lukisan-lukisan masa kini dengan ide dan persoalan. Kedua ciri itu sering membuat lukisan menjadi sakit dan menekan, sehingga sulit untuk disimpan. Jadi dapat kita maklumi, kalau pameran imigran dari Mei ini cukup laris dibeli. Puisi yang tidak mencoba jadi resep dunia, memberikan suasana damai dan bersahaja. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus