WAKTU usianya hampir 61, ia berdiri di depan kertas dan melukis
60 ekor burung layang-layang dan bunga persik. Inilah Siao Erh
Chien - yang berimigrasi ke Indonesia tahun 1939. Lahir di
Kabupaten Mei, China, orang tua yang tetap melukis dengan gaya
tradisionil Tiongkok ini muncul di Balai Budaya 14 s/d 21
Agustus dengan 64 buah karyanya.
Hampir 40 tahun meninggalkan tanah leluhur memang bisa banyak
merubah tangan orang. Kendati pelukis ini masih mencoba
berekspresi di atas kertas dan warna China, dalam garis dan
bidang-bidang yang khas itu, tapi ada yang telah cair. Ia tidak
totok lagi. Terutama manakala ia mencoba melukis obyek-obyek
yang ada di bumi ini.
Seratus Burung Gereja
Barangkali memang lingkunganlah yang telah menciptakan gaya.
Warna tanah, sifat pepohonan, musim, tampang bukit, suasana
berkabut, cara hidup dan sebagainya, mungkin yang telah
menggerakkan kwas para pelukis tradisionil China untuk mencapai
bentuk temperamen yang tersohor puitis itu.
Ini sekarang dipelajari dan ditiru sebagai gaya. Tetapi bila
diterapkan pada lingkungan lain akan terlihat seperti turis yang
mencoba memakai pakaian lokal.
Imigran yang masih kaku bahasa Indonesianya ini, memang terasa
jujur, spontan dan puitis manakala melukis obyek imajiner.
Misalnya lukisan Bunga Persik dan Burung Layang-Layang itu. Juga
lukisan Seratus Burung Gereja, yang menunjukkan 100 ekor burung
bertengger di sebuah pohon pada pergantian musim. Lagi lukisan
30 ekor Ikan Mas. Ia melukisnya melalui khayalan, lalu terasa
bahwa ia tidak pernah benar-benar meninggalkan lingkungan tanah
leluhurnya. Warna-warna yang ringan, sapuan-sapuan yang halus,
terasa meruapkan hawa dingin pegunungan dan lingkungan hidup
yang jauh.
Tapi terasa ada penolakan setelah ia mencoba menerapkan tarikan
garis. selera warna. pulasan bidang seperti itu -- pada obyek
pribumi seperti Ciloto. Puncak dan Ciloto ditangkapnya dengan
semacam perkosaan pada alam yang meskipun indah bukankah juga
agak keras.
Alam Indonesia tanah tropis yang umumnya heterogin, kaya dan
penuh warna, cenderung melantunkan suasana yang prosais. Kalau
ditangkap dengan puisi warna, akan jadi sentimentil dan lepas.
Kita berhadapan dengan mimpi. Tetapi berbeda dengan suasana
fantastis dalam lukisan anak-anak. Perkosaan semacam ini hanya
menimbulkan perasaan tidak percaya, karena kita melihat ketidak
jujuran.
Demikianlah lukisan-lukisan seperti: Pemandangan di Puncak,
Pemandangan Ciloto, Meluku, Panen, apalagi Taman Mini, terasa
dangkal dan tak pantas. Mcngingat beberapa lukisan yang
disebutkan sebelumnya - juga lukisan-lukisan seperti: 10 Ekor
Ikan Mas, Burung Layang-Layang, apalagi Bunga Teratai di Pohon
Kepodang, Bambu Hitam, Burung Jalan di Pohon Willow - sempat
mengharukan karena amat puitis.
Burung Kepodang
Beberapa karya pelukis ini terasa sederhana dan manusiawi. Pada
lukisan Pisang dan Jambangan Bunga yang menonjolkan komposisi,
kita diingatkan pada hidup sehari-hari yang amat dekat.
Kebutuhan makan, rasa kekeluargaan dan suasana rumah tangga di
sekitar meja. Kemahiran pulasan kwas ini juga menonjol pada
lukisan Bunga Teratai dan Burung Kepodang serta Burung yang
melukiskan dua ekor burung di dahan dengan ketrampilan
menangkap daun yang amat spontan dan ritmis.
Judul warna dan obyek dalam pameran ini lebih merupakan
kerepotan orang yang sedang menembang. Akrab pada alam,
mencintai lingkungan. Manusia hanya bagian kecil dari semesta
yang begitu misterius. Pelukis ini tidak hanya menampilkan gaya,
tetapi juga kesederhanaan pandangan hidup. Hal yang tiba-tiba
terasa jernih, mengingat saratnya lukisan-lukisan masa kini
dengan ide dan persoalan. Kedua ciri itu sering membuat lukisan
menjadi sakit dan menekan, sehingga sulit untuk disimpan.
Jadi dapat kita maklumi, kalau pameran imigran dari Mei ini
cukup laris dibeli. Puisi yang tidak mencoba jadi resep dunia,
memberikan suasana damai dan bersahaja.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini