Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Silahturahmi Kesana-Kemari

JENDERAL Gatot Nurmantyo tidak buang-buang waktu setelah dicopot sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia pada Desember tahun lalu.

8 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JENDERAL Gatot Nurmantyo tidak buang-buang waktu setelah dicopot sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia pada Desember tahun lalu. Ia terlihat sowan ke banyak petinggi partai, seperti Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Gatot, 58 tahun, mengaku menyampaikan terima kasih atas dukungan tiga partai itu selama dia menjadi Panglima TNI. Ia membantah membicarakan niatnya maju sebagai calon presiden 2019, meski Prabowo mengajaknya bergabung dengan Gerindra. Gatot tak menegaskan menolak atau menerima ajakan itu. Tapi para politikus Gerindra mengatakan Gatot justru yang menawarkan diri menjadi calon presiden atau wakil presiden mendampingi Prabowo dalam pemilihan umum tahun depan.

Gerak tangkas Gatot kian leluasa setelah ia pensiun sebagai tentara aktif pada 31 Maret 2018. Di zaman demokrasi seperti sekarang, apa yang dilakukan Gatot itu wajar. Ia punya hak politik. Tapi, pada masa Orde Baru, apa yang dilakukan Gatot bisa bikin masalah.

Tempo edisi 25 Mei 1991 mengulas "Silaturahmi Loncat Pagar". Disebut loncat pagar karena para purnawirawan itu dekat dengan partai non-pemerintah, yakni Partai Demokrasi Indonesia. Zaman itu, loncat pagar jelas bikin gaduh, tidak seperti sekarang, ketika para pensiunan bebas memilih partai yang mereka suka.

Segalanya bermula ketika PDI mengundang kurang-lebih 40 purnawirawan ABRI dan bekas anggota Tentara Pelajar Indonesia ke kediaman Ketua Umum PDI saat itu, Soerjadi, di Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan, pertengahan Mei 1991. Hadir juga dalam acara itu Megawati Soekarnoputri dan Guruh Sukarno Putra.

Pada awalnya, acara itu silaturahmi seperti pada umumnya, yaitu bincang-bincang santai sambil menikmati makanan yang dihidangkan, yakni lontong, soto ayam, dan buah-buahan segar. Namun, memasuki ujung acara, bincang-bincang itu menjadi makin serius dan mulai mengarah ke penguatan PDI yang masih gurem.

Di akhir pertemuan, dengan girang Soerjadi berkata bahwa sejumlah purnawirawan menyatakan bergabung dengan PDI. Ia menambahkan, keinginan masuk ke PDI itu tanpa paksaan ataupun tarik-menarik, murni karena keinginan memperbaiki keadaan.

Belakangan, klaim Soerjadi menimbulkan kegaduhan. Sejumlah purnawirawan dan bekas anggota Tentara Pelajar membantah klaimnya. Bahkan ada yang merasa telah di-fait accompli dalam pertemuan PDI itu. Salah satunya Soebagio Anam, tokoh Tentara Pelajar. "Saya memang bersimpati dengan ajarannya Bung Karno. Karena itu, saya senang sama anak-anaknya. Jadi, kedatangan saya tak ada urusannya dengan PDI," ujarnya.

Panglima ABRI saat itu, Jenderal Try Sutrisno, sampai ikut angkat suara. Ia menyayangkan tindakan sejumlah purnawirawan masuk ke PDI jika memang benar adanya. Menurut dia, apa yang mereka lakukan tidak etis dan tidak di lokasi yang pas. "Demokrasi itu bukan berarti harus ke sana-kemari," ujar Try.

Di era Orde Baru, yang masih Soeharto-sentris, aspirasi-aspirasi politik diarahkan melalui wadah-wadah yang disiapkan pemerintah. Bagi purnawirawan, wadah itu bernama Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri), yang terafiliasi dengan partai pro-pemerintah, Golkar. "Kalau ada pensiunan ABRI yang menjadi anggota partai politik selain Golkar, perlu disesali," ujar Ketua Umum Pepabri saat itu, Letjen Purnawirawan Bambang Triantoro, menambahkan.

Walau bergabungnya sejumlah purnawirawan militer ke PDI dikritik keras, tidak sedikit yang tak mempermasalahkan. Terlebih karena memang tidak ada aturan tertulis bahwa purnawirawan militer wajib berpolitik lewat Pepabri atau Golkar. Salah satunya Menko Polkam saat itu, Laksamana Purnawirawan Sudomo. "Eks ABRI kan bebas, tak ada ikatan lagi. Mau memperkuat partai boleh, mau jungkir balik juga boleh," ujar Sudomo.

Hal senada disampaikan Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini. Ia, pensiunan jenderal bintang empat, mengatakan masuknya purnawirawan TNI ke partai oposisi perlu dipandang positif. "Itu merupakan gejala demokrasi," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus