"SAYA mau melewati Affandi," kata Amri Yahya. Usianya hampir 38
tahun. Baru saja pulang dari luar negeri, membawa dokumentasi
puji-pujian pengembaraannya ke seantero jagad dengan lukisan
batik. Tetapi pelukis yang gesit, rapi dan periang ini, tidak
mau sukses baru setelah usia 70 tahun seperti Affandi. Dia mau
sukses sekarang, di saat ia memikirkan sebuah mobil sport
yang bisa ditungganginya untuk aksi-aksian di jalan raya.
"Sekarang tanpa promosi tidak bisa," ujarnya, sambil menunggu
batik-batiknya yang dipamerkan di Ruang Pameran TIM -- 2 s/d 7
Juli. Ia bermaksud mengejar Affandi dengan cara banyak berusaha.
Segala jalan ditempuh. "Asal tidak keluar dari kode etik."
Misalnya berpikir secara bisnis, dan menggalakkan adanya
apresiator dengan cara pendidikan. Bukan pendidikan senirupa
semacam ASRI, tetapi model IKIP. Maklum Amri memang dosen IKIP
Yogya.
Menjulang
Hampir 50 buah lukisan batik dan 21 cat minyak mewakili Amri
kaki ini. Masih tetap seperti dulu: meriah, gesit, resik dengan
keistimewaan pada torehan garis yang runcing dan bersilangan.
Ada sesuatu yang meledak-ledak dalam goresan Amri. Seperti
memiliki kawah yang sedang menggelegak dan muncrat ke sana-ke
mari. Tidak ada problim. Semuanya adalah permainan komposisi,
pameran penguasaan warna dan penataan bidang.
Amri sangat teliti dan kaya warna. Dengan berani ia menampilkan
sengatan-sengatan warna. Meskipun sangat samar-samar, ia juga
menunjukkan dialog dalam berondongan warna. Misalnya saja pada
motif yang dinamakannya Menjulang. Di situ kita melihat sesuatu
yang menggapai ke atas. Seperti meraih sesuatu, seperti
menunjukkan sesuatu yang unggul, sesuatu yang tinggi. Amri
sangat spontan -- seperti tidak pernah berpikir dua kali. Ini
menyebabkan kita selalu berhadapan dengan sesuatu yang segar.
Celakanya, kesegaran ini tidak dibuntuti apa-apa. Sehingga,
meskipun ungkapan ini agak klise, Amri berhenti pada sesuatu
yang manis.
Cat minyak Amri makin lama makin terasa lebih terbatas dari
lukisan-lukisan batiknya. Ini mestinya karena perhatian Amri
kini jauh lebih tercurah pada batik. Padahal kanvas bisa
merupakan media yang lebih bebas buat mencampakkan emosi.
Lukisan cat minyak Amri dibanding lukisan batiknya kelihatan
sangat pucat. Ada beberapa lukisan (hampir semuanya bernama
Cipratan Garis) yang mengingatkan kita pada teknik melukis Zaini
yang memanfaatkan kesamaran.
Tetapi di situ Amri tidak menampilkan misteri sebagai yang
tertangkap dari lukisan Zaini. Juga tidak tercium bau puisi.
Yang menonjol ketrampilan teknis tanpa ambil pusing untuk
menitipkan pesan. Amri sedang tergenang dalam kegembiraan
memainkan kelancan dirinya. Ia benar-benar orang yang gila
bekerja seperti Affandi, meskipun dengan acuan berbeda.
5 Juta
Yang difikirkan Amri sekarang adalah mempertahankan posisi
batik Indonesia, sementara ancaman dari batik Singapura,
Srilangka, Mesir dan juga Eropa sedang disiapkan. Suksesnya
dalam pameran di luar negeri dianggapnya sebagai bukti
bahwa Indonesia sampai hari ini masih memegang kehormatan
tertinggi dalam soal batik, sebagaimana juga bulu-tangkis.
Khusus terhadap puji-pujian yang diterimanya, ia berkata: "Itu
bukan karena lukisan Amri hebat. Tapi karena tak ada yang lain."
Ini menunjukkan kesadarannya pada potensi pelukis-pelukis batik
pribumi yang lain.
Seperti juga dalam pamerannya yang lalu, lukisan batik Amri
juga menunjukkan beberapa buah karya dengan ukuran raksasa.
Dengan harga juga raksasa -- mencapai Rp 5 juta. Ini luar
biasa. Amri telah membawa revolusi harga. Sementara Affandi hanya
sanggup menjual lukisannya paling tinggi Rp 2 juta, Amri, dalam
usianya yang terbilang muda telah laris begitu rupa. Ia adalah
gabungan antara usaha bisnis dan kesenimanan gigih yang ahli.
Wajar kalau kecemburuan bangkit di sekitarnya. Sehingga pelukis
ini tak segan-segan bertanya: "Apakah pelukis yang lukisannya
laku, tidak berhak mendapat hadiah ini atau itu?"
PW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini