Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mau Melewati Affandi

Amri Yahya, 38, pameran lukisan batik di beberapa negara. Di TIM, di pamerkan 50 lukisan batik dan 21 lukisan cat minyak. Kaya warna, teliti, tak ada problem. Dijual lebih mahal dari lukisan affandi.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SAYA mau melewati Affandi," kata Amri Yahya. Usianya hampir 38 tahun. Baru saja pulang dari luar negeri, membawa dokumentasi puji-pujian pengembaraannya ke seantero jagad dengan lukisan batik. Tetapi pelukis yang gesit, rapi dan periang ini, tidak mau sukses baru setelah usia 70 tahun seperti Affandi. Dia mau sukses sekarang, di saat ia memikirkan sebuah mobil sport yang bisa ditungganginya untuk aksi-aksian di jalan raya. "Sekarang tanpa promosi tidak bisa," ujarnya, sambil menunggu batik-batiknya yang dipamerkan di Ruang Pameran TIM -- 2 s/d 7 Juli. Ia bermaksud mengejar Affandi dengan cara banyak berusaha. Segala jalan ditempuh. "Asal tidak keluar dari kode etik." Misalnya berpikir secara bisnis, dan menggalakkan adanya apresiator dengan cara pendidikan. Bukan pendidikan senirupa semacam ASRI, tetapi model IKIP. Maklum Amri memang dosen IKIP Yogya. Menjulang Hampir 50 buah lukisan batik dan 21 cat minyak mewakili Amri kaki ini. Masih tetap seperti dulu: meriah, gesit, resik dengan keistimewaan pada torehan garis yang runcing dan bersilangan. Ada sesuatu yang meledak-ledak dalam goresan Amri. Seperti memiliki kawah yang sedang menggelegak dan muncrat ke sana-ke mari. Tidak ada problim. Semuanya adalah permainan komposisi, pameran penguasaan warna dan penataan bidang. Amri sangat teliti dan kaya warna. Dengan berani ia menampilkan sengatan-sengatan warna. Meskipun sangat samar-samar, ia juga menunjukkan dialog dalam berondongan warna. Misalnya saja pada motif yang dinamakannya Menjulang. Di situ kita melihat sesuatu yang menggapai ke atas. Seperti meraih sesuatu, seperti menunjukkan sesuatu yang unggul, sesuatu yang tinggi. Amri sangat spontan -- seperti tidak pernah berpikir dua kali. Ini menyebabkan kita selalu berhadapan dengan sesuatu yang segar. Celakanya, kesegaran ini tidak dibuntuti apa-apa. Sehingga, meskipun ungkapan ini agak klise, Amri berhenti pada sesuatu yang manis. Cat minyak Amri makin lama makin terasa lebih terbatas dari lukisan-lukisan batiknya. Ini mestinya karena perhatian Amri kini jauh lebih tercurah pada batik. Padahal kanvas bisa merupakan media yang lebih bebas buat mencampakkan emosi. Lukisan cat minyak Amri dibanding lukisan batiknya kelihatan sangat pucat. Ada beberapa lukisan (hampir semuanya bernama Cipratan Garis) yang mengingatkan kita pada teknik melukis Zaini yang memanfaatkan kesamaran. Tetapi di situ Amri tidak menampilkan misteri sebagai yang tertangkap dari lukisan Zaini. Juga tidak tercium bau puisi. Yang menonjol ketrampilan teknis tanpa ambil pusing untuk menitipkan pesan. Amri sedang tergenang dalam kegembiraan memainkan kelancan dirinya. Ia benar-benar orang yang gila bekerja seperti Affandi, meskipun dengan acuan berbeda. 5 Juta Yang difikirkan Amri sekarang adalah mempertahankan posisi batik Indonesia, sementara ancaman dari batik Singapura, Srilangka, Mesir dan juga Eropa sedang disiapkan. Suksesnya dalam pameran di luar negeri dianggapnya sebagai bukti bahwa Indonesia sampai hari ini masih memegang kehormatan tertinggi dalam soal batik, sebagaimana juga bulu-tangkis. Khusus terhadap puji-pujian yang diterimanya, ia berkata: "Itu bukan karena lukisan Amri hebat. Tapi karena tak ada yang lain." Ini menunjukkan kesadarannya pada potensi pelukis-pelukis batik pribumi yang lain. Seperti juga dalam pamerannya yang lalu, lukisan batik Amri juga menunjukkan beberapa buah karya dengan ukuran raksasa. Dengan harga juga raksasa -- mencapai Rp 5 juta. Ini luar biasa. Amri telah membawa revolusi harga. Sementara Affandi hanya sanggup menjual lukisannya paling tinggi Rp 2 juta, Amri, dalam usianya yang terbilang muda telah laris begitu rupa. Ia adalah gabungan antara usaha bisnis dan kesenimanan gigih yang ahli. Wajar kalau kecemburuan bangkit di sekitarnya. Sehingga pelukis ini tak segan-segan bertanya: "Apakah pelukis yang lukisannya laku, tidak berhak mendapat hadiah ini atau itu?" PW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus