Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kata dokter saya normal

Pelukis affandi, 70, mengantongi gelar doktor dari universitas singapura, medali "dag hammarskjoeld" dari pemerintah italia. ke luar negeri untuk belajar dan mencek harga lukisan.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFFANDI duduk tenang di tempat pameran. Pakai blujin, mumpung baru pulang dari luar negeri. Biasanya kakek ini lebih suka pakai sarung tok. Dia tampak senang, bahagia, tidak loyo. Rambutnya sudah memutih, tetapi gairah bekerjanya masih tetap galak seperti babi jantan yang sering dilukisnya. Anggota Akademi Jakarta ini telah mengantongi gelar doktor kehormatan dari Universitas Sungapura. Barusan Pemerintah Italia juga memberi medali 'Dag Hammarskjoeld'. Dari Pemerintah Indonesia tampaknya belum ada apa-apa, meski orang tua ini sebetulnya ingin sekali mangap untuk minta pembiayaan bagi menyelesaikan museum yang sedang digarapnya. Cuma Bang Ali yang kelihatannya dengan penuh simpati memberi hadiah ulang tahun berupa penyelenggaraan pameran. Tadinya mau ambil tempat di Hotel Borobudur, untuk menyaingi pameran Basuki Abdullah yang dimegah-megahkan itu. Tapi pelukis ini menolak. "Kalau di situ nanti kawan-kawan saya yang pakai bakiak tidak bisa datang," katanya. Di bawah ini wawancara singkat dengan TEMPO. Tanya: Tak pernahkah bapak merasa lelah lalu ingin berhenti? Jawab: Tidak. Dulu sebelum tahun 1940 saya memang mengalami periode apa itu namanya -- tawar-menawar sampai saya dapat dorongan dari Sjafei Sumardja, sehingga saya memutuskan untuk melukis terus. T: Berapa lama lagi bapak mengharapkan bisa bekerja? J: 10 tahun lagi. Masak orang harus hidup lebih dari 100 tahun. Sekarang saya sudah mulai merintis melakukan pekerjaan yang gampang-gampang. Membuat kaligrafi dan etsa misalnya. Itu saya persiapkan kalau saya tidak tahan lagi bekerja berjam-jam di bawah sinar matahari. Sekarang saya masih kuat. Bahkan sejak Januari tahun ini saya sudah membuat 54 buah lukisan. Padahal targetnya 1 tahun cuma 52. T: Penderitaan apa yang pernah bapak alami? J: Penderitaan penghidupan saya sendiri. Karena salah saya sendiri juga. Kalau saya tidak memilih penghidupan melukis saya tidak akan menderita. Tapi sejak tahun 1955 setelah saya datang dari Eropa, saya mulai merasa bahagia. Karena sampai sekarang penghidupan boleh dikatakan safe lah. Saya rata-rata menjual lukisan 1 dalam 1 bulan. Memang ada juga masa-masa tidak laku atau macet. Maka saya harus hidup lebih maju 2 bulan. Dalam senilukis saya memang bebas. Selain seni lukis saya selalu realistis, tidak bisa tidak saya selalu pakai perhitungan. Terus terang, saya tidak berani bilang kepada orang kalau tidak mau beli harga sekian, tidak dijual. Dengan pendirian semacam ini saya lalu sering merasa diri bukan seniman. T: Bapak punya 2 isteri dalam usia seperti sekarang. Apa ada kelainan-kelainan seksuil dalam hal itu? J: Sampai sekarang normal. Masih. Paling kosong 1 kali 3 hari. Tapi kalau saya ada di Jakarta seperti sekarang, pulangnya nanti bisa tiap hari. Saya tanya dokter, dokter menganggap itu kebanyakan, harusnya dalam usia seperti sekarang cukup 1 kali seminggu. Tetapi keadaan fisik saya cukup, jadi tidak apa-apa. Itu pula alasannya saya beristeri dua (yang muda 34 tahun dan punya anak 3 orang). Alasan lainnya karena isteri saya yang pertama hanya punya anak Kartika. Ia ingin punya anak lagi untuk momongan. (Affandi sekarang memiliki 7 orang cucu, 3 orang cicit). T: Kenapa bapak sering ke luar negeri? J: Untuk belajar. Juga untuk ngecek harga lukisan. Barangkali saya orang pertama di Indonesia yang memberi harga lukisan dengan dolar. Kalau di luar negeri saya melihat ada lukisan yang lebih baik dari lukisan saya tapi harganya lebih rendah dari lukisan saya, harga lukisan saya akan saya turunkan. T: Bagaimana dengan Senirupa Baru Indonesia? J: Saya senang. Ada betulnya sebab mereka memang "baru" muncul. Yang penting buat saya bukan mode tetapi nilai. Saya senang mereka mulai, saya tinggal menunggu meningkat mutunya, bukan alirannya. T: Apa bapak punya perhatian terhadap pendidikan seni lukis? J: Ada. Tetapi saya beda dengan Sudjojono. Sudjojono mendidik dari belakang, saya dari depan. Saya selalu mau menang, supaya dikejar. Sudjojono mau dikalahkan, saya tidak. T: Bang Ali akan diganti. Bagaimana? J: Sedih. Sedih itu akan hilang kalau penggantinya lebih bagus. Kalau tidak lebih bagus tidak ada kemajuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus