YANG benar-benar mampu melepaskan ikatan dari keramik
tradisional, ternyata hanya Hildawati Sidharta -- dosen seni
keramik Lembaga Pendidikn Kesenian Jakarta. Itu yang pertama
bisa dilihat dari Pameran Seni Keramik Kreatif, di Balai Seni
Rupa. Jakarta 30 Juli sampai dengan 18 Agustus. Pameran yang
diikuti sekitar 20 senirupawan dari Jakarta, Bandung dan Yogya
ini mengetengahkan lebih 70 karya.
Karya-karya Hilda (pernah berpameran tunggal di Taman Ismail
Marzuki) tak lagi mengingatkan bentuk-bentuk keramik tradisi:
jambangan, piring, mangkuk, guci ataupun patung kecil. Yang
dipamerkannya kali ini adalah karyanya yang berupa bakaran tiga
lempeng tanah liat dipasang berjajar dalam satu pigura. "Seni
lukis keramik" ini memanfaatkan warna yang muncul dari tanah
liat yang dibakar itu sebagai bidang dan warna. Nilainya tak
lagi terletak pada teknik pembuatan, bentuk dan lain-lain, tapi
terutama pada kreativitasnya.
Yang lain-lain masih saja membuat bentuk jambangan, piring, guci
atau patung figuratif. Tentu saja tak lagi dimaksudkan sebagai
alat rumah tangga misalnya, tapi dibuat terutama untuk hiasan.
Pelepasan fungsi pakai itu diusahakan misalnya dengan sedikit
melekukkan bagian mulut jambangan (Lekukan karya Hanif
Situmorang) atau memasang duri-duri pada tubuh jambangan
(jambangan Agus Ramadhi).
Masih terikat pada bentuk keramik tradisional atau tidak,
karya-karya ini memang tak dibuat sebagai benda pakai. Dan
itulah memang yang dicari oleh Balai Seni Rupa Jakarta untuk
disuguhkan. Menurut Sudarmadji, Direktur BSRJ, gagasan
mengadakan pameran keramik kreatif ini karena melihat
barang-barang keramik pakai sekarang sudah didesak oleh hasil
industri plastik -- yang memang lebih praktis.
Cuma, memang pernahkah kita menghasilkan keramik-keramik yang
bermutu tinggi? Koleksi Museum Pusat Jakarta, sebagian besar
adalah keramik Cina atau Jepang. Menurut Abu Ridho, 52 tahun,
kurator keramik di museum tersebut, koleksi keramik Cina di situ
termasuk yang terbesar di dunia. "Dan uniknya," kata Abu, "itu
semua tidak kita beli atau kita barter dari Cina. Itu semua kita
temukan dalam penggalianpenggalian sengaja atau tidak sengaja di
Indonesia sendiri."
Namun bicara tentang keramik tradisiona, memang tak bisa lepas
dari "faktor alam," kata Abu. Yang dimali sud ialah bahwa di
Cina dulu memang ada satu bukit yang langsung menghasiikan
tanah liat bermutu tinggi sebagai bahan baku keramik. Dengan
itu para pengrajin Cina tak perlu susah-payah mencampur-campur
bahan. Faktor itu, siapa tahu, yang menyebabkan kita tak
mewarisi karya keramik yang bagus. "Soalnya keramik sama sekali
tergantung pembakarannya," lanjut Abu. "Biar disain bagus, kalau
bahan baku kurang baik, bisa pecah kalau dibakar. Dan sekali
pecah dalam pembakaran, sia-sia."
Ditanya tentang bagaimana menilai keramik tradisional, jawab
Abu: "Telgantung pada keunikan, kehalusan pengerjaan, proporsi
bentuk, hiasan dan warna." Dengan berpegang pada kriteria
tersebut Abu menjelaskan bahwa keramik Cina memang didukung
bentuk dan warna yang indah serta seni lukisan jempol.
Kriteria yang disebut Abu agaknya universil. Dengan maksud
menghasilkan karya keramik pakai ataupun keramik kreatif, toh
keramik tergantung pada cara-cara pengerjaan.
Dan di situlah agaknya kekurangan besar keramikus kreatif kita.
Dengan hanya mengambil bentuk-dasar keramik pakai lalu menambah
ini-itu, memang membuat orang segan menggunakan keramik itu
untuk keperluan praktis. Tapi tak berarti ia bermutu. Apalai
bertahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini