Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mecapat di sudut keraton macapat di sudut kraton

Seni vokal jawa macapat masih tetap terpelihara, di beberapa kota masih ada pertunjukan secara tetap, di yogya ada sekolah macapat yang didirikan oleh krt h. madukusumo (alm) pada th 1950. (ms)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MACAPAT terdengar lagi, pelan menelusup di antara kesibukan kota. Di Jakarta, akhir November, PN ala Pustaka mengadakan malam macapat membawakan Serat Centhini. Dan di Yogyakarta, di gedung Javanologi, di Museum Sono Budoyo dan di gedung Kepatihan sampai sekarang tiap minggu ada malam macapat. Bahkan di kota andong itu kini muncul kelompok-kelompok kecil di kampung-kampung yang mempelajari macapat. Menurut Sudibjo Hadisutjipto, ahli kesusastraan Jawa dari Fak. Sastra UI dan anggota redaksi PN Balai Pustaka, di Surabaya kini pun macapat mulai terdengar lagi. Kesenian macapat dulu, memang, di daerah Yogya dan Solo, hidup di kraton maupun kampung-kampung. Waktu itu macapat bukan saja pengisi acara dalam selamatan kelahiran bayi misalnya. Tapi juga berperan sebagai cara menularkan ajaran hidup bagi anak-cucu. Tembang-tembang yang dibawakan biasanya berisi sejarah, adat-istiadat, pelajaran moral. Sesungguhnya sudah sejak lama di Yogyakarta ada usaha gigih melestarikan macapat. Di.sebuah ruang berukuran 4 x 3 « m, di sudut barat kraton Yogyakarta, dengan hanya diterangi lampu neon 20 wat, macapat diajarkan ,kepada yang berminat. Resminya kegiatan ini disebut Sekolah Macapat. Di sini macapat diajarkan dengan sungguhsungguh, dengan guru yang menguasai metode mengajar. Sekolah ini didirikan pada 1950 atas inisiatif KRT. H. Madukusumo almarhum. Tapi pada 1960, karena kesibukan bangsawan itu ditambah keadaan politik yang ternyata mempengaruhi sektor kebudayaan juga waktu itu, terpaksa sekolah ini ditutup. Baru pada 1977 dibuka kembali oleh R. Rio Prodjowijardjo, yang tamat dari sekolah ini pada 1955. Hingga sekarang sekolah ini dikelola oleh Kawedanan Hageng Punokawan Kridomardowo, sebuah badan di dalam lingkup organisasi kraton Yogyakarta. Pak Prodjo, demikian panggilan sehari-harinya, dibantu dua guru lagi ialah Brotoasmoro dan Prawoto. Tiga guru ini agaknya memadai, karena sekolah ini pun hanya mempunyai tiga kelas: I, II dan III. Tiap kelas hanya masuk seminggu sekali di hari yang berlainan (Selasa Kamis dan Minggu), Jumlah murid seluruhnya 56 orang, rata-rata berusia di atas 30 tahun. Syarat menjadi siswa di sini bisa membaca Latin. Meskipun sekolah scni suara, tes suara itu sendiri juga tak ada. Biaya sekolah sangat mu rah: Rp 100 per bulan. Tiga guru itu pun hanya meridapat honorarium Rp 100 tiap kali datang mengajar untuk sekitar dua jam -- pelajaran dimulai pukul 16.00. Kebanyakan siswa adalah pensiunan pegawai negeri, guru sekolah, anggota ABRI dan pegawai kraton Yogya. Tentang metode mengajarnya, memang masih tradisional. Hanya menirukan guru menembang, lain. tidak. Seperti bisa dilihat pekan lalu, sewaktu 18 siswa kelas I sedang belajar. Mereka duduk di kursi reot yang ditata berhimpitan, hingga pundak mereka bersentuhan. Mereka memang tidak perlu menulis. Tugas para murid Itu hanya menatap ke depan, menirukan guru menembang. Mula-mula Pak Prodjo, 65 tahun, menembangkan Sekar Pangkur. Maka ruang pengap itu seperti berubah, digetarkan suara seorang tua. Seperti terlupakan bau apak di situ, yang ada hanya suara nyaring halus yang melagukan Duda Kasmaran (Duda Jatuh Cinta). Selesai Pak Prodjo, murid-murid menirukan bersama-sama. Sesudah itu satu per satu menembangkan lagi lagu tadi. Demikianlah pelajaran berjalan dari minggu ke minggu. Pak Prodjo dengan waspada menyimak tiap suara siswanya. Bila suara itu kurang tepat atau sumbang ia membetulkan. Caranya, dengan membunyikan saron, untuk memberi contoh nada suara yang betul. Di sekolah ini saron berfungsi sebagai garpu tala. Dan harap diketahui, bahasa pengantar di sekolah ini bahasa Jawa halus (krama inggil). ADAPUN "kurikulum" sekolah itu pun sangat sederhana. Kelas I mempelajari sekar elit. Ialah, jenis tembang yang sampai sekararg masih banyak dikenal--semuanya ada 11 jenis. Misalnya, dandang gula, sinom, angkur, durma, pucung, asmardana. Kelas II mempelajari sekar tengahan, yang sudah agak jarang didengar. Menurut Sudibjo Hadisutjipto, jenis tembang sekar tengahan kira-kira ada delapan, antara lain lonthang, kenyakedhiri, branuasmara, sumekar. Di kelas III yang dipelajari ialah sekar ageng. Jenis tembang ini yang semuanya ada 146 jenis boleh dikata di msyarakat umum sudah tak terdengar lagi. Jarang sekali yang masih bisa menembangkan antara lain manggalagita, banjaransari, gurisa, wahingrat -jenis sekar ageng itu. Bila Pak Prodjo menganggap ada siswa yang sudah menguasai pelajaran, ujian diadakan. Para pengujinya terdiri dari para ahli macapat yang kini masih ada di Yogyakarta. Untuk lima tahun terakhir ini baru ada dua kali ujian kenaikan kelas. Lalu, apakah yang dicari para siswa itu? "Saya ingin dengan betul menembangkan macapat," tutur Pak Guno, 55 tahun, pelawak Yogya yang pernah menjadi gurunya Bagio S, yang kini duduk di kelas III. Lain lagi Srie Rejeki yang juga sudah duduk di kelas III yang sehari-hari dipanggil Cik Eng itu. Bagmya bukan lagunya yang penting, tapi isi tembang yang dibawakan. "Saya merasa banyak menimba ilmu dari tembang-tembang macapat," kata cewek Sipit ini. Diktat tembang-tembang memang dikutip dari karya-karya pujangga Jawa ternama. Misalnya Serat Wedhatarna Wulangreh, dan tembang-tembang lama yang dihimpun oleh Ki Hadjar Dewantara dalam buku Sari Swara terbit 1936.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus