DIREKTUR Perwakilan Komodo Marine Co., George Hendra, akhirnya
dianggap hakim terbukti membanN elakukan korupsi dalam transaksi
KM Tampomas II, antara perusahaannya dengan PT PANN. Dalam
keputusan Kamis pekan lalu, majelis hakim diketuai Kartini
Suwanu menghukum Hendra sama dengan hukuman untuk Dir-Ut PT PANN
Nuzwari Chatab, 4 tahun penjara ditambah denda Rp 20 juta
(subsider 3 bulan kurungan).
Hendra, 38 tahun, menurut hakim ikut melakukan perbuatan melawan
hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
merugikan keuangan negara.
Tapi seperti juga Nuzwari, Hendra tidak merasa bersalah dalam
transaksi KM Tampomas itu. "Apanya yang saya korupsi? Saya kan
orang bisnis yang harus mencari keuntungan?" tanya Hendra ketika
ditemui TEMPO di rumahnya kawasan Menteng Dalam, Jakarta
Selatan, selesai sidang. Ia kelihatan kurus dan loyo di balik
kaus merah yang dipakainya sore itu.
Hendra yang mengaku sudah menjual lima kapal untuk Hankam, tiga
kapal untuk ALRI dan tiga untuk Pelni itu, merasa hanya kena
getah dalam kasus Tampomas itu. Ia merasa telah memenuhi semua
persyaratan yang diinginkan PT PANN sebagai pembeli. Baik untuk
modifikasi kapal ferry itu menjadi kapal penumpang, maupun untuk
perlengkapan. Jika pun karena itu ia mendapat untung, "Masak
kerja tidak cari untung, apa saya harus kerja bakti," ujar
Hendra lagi.
Bisa tidaknya seorang swasta terkena undang-undang antikorupsi,
memang pernah menjadi ramai. Pengadilan Tinggi Jakarta tahun
1980 membuktikan orang swasta tidak bisa dikenakan tuduhan
korupsi. Di anura yang mendapat pembebasan dalam kasus seperti
itu adalah Almarhum Liem Keng Eng yang banyak disebut sebagai
penyelundup tekstil. Pengadilan Tinggi beranggapan subyek untuk
undang-undang antikorupsi itu adalah pegawai negeri atau orang
yang bekerja di badan negara atau yang mendapat bantuan negara.
Keputusan itu kemudian di ikuti pula oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, untuk perkara penyelundupar lainnya. Beberapa
putusan itu, diubah kembali oleh Mahkamah Agung dengar
mengenakan hukuman kepada para tertuduh.
Berdasarkan unsur lain, yaitu ada tidaknya perbuatan melawan
hukum, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
membebaskan pula Endang Wijaya dalam perkara "Pluit" dari
tuduhan yang sama. Endang, menurut hakim tidak terbukti
melakukan perbuatan yang melawan hukum memperkaya diri dengan
merugikan keuangan negara. Sebab seandainya pengembalian kredit
BBD (Bank Bumi Daya) macet, Endang Wijaya masih bisa mencicil
untuk mengembalikannya. Keputusan ini kemudian diralat oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta -- tapi sampai sekarang belum ada
keputusan dari Mahkamah Agung.
Tapi untuk George Hendra, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melihat semua unsur itu bisa dibuktikan. Subyek hukum untuk
undang-undang antikorupsi, kata hakim, tidak terbatas pegawai
negeri saja. "Penggunaan istilah "barang siapa" menunjukkan
setiap orang tanpa kecuali, pegawai negeri atau bukan," kata
hakim dalam keputusannya.
Seperti Nuzwari Chatab, Hendra juga dianggap bersalah melawan
hukum ketika menandatangani Protocol of Delivery tanggal 27 Mei
1980 itu. Dalam perjanjian penyerahan kapal. itu dikatakan,
kapal sudah sesuai dengan Memorandum of agreement (MOA).
Ternyata, kata hakim, kapal yang semula dalam MOA disebut kapal
penumpang, yang diserahkan ternyata kapal ferry.
Selain itu, kata hakim, terbukti pula ketika diserahkan
peralatan kapal tidak lengkap sebanyak 25 items. Sehingga atas
perbuatannya, Hendra sudah mendapat keuntungan sebanyak Rp 133
juta lebih sebanyak harga kekurangan perlengkapan berikut karena
notasi kelas kapal tidak sesuai dengan di perjanjian.
Pembuktian inilah yang tidak bisa disetujui George Hendra,
begitu pula pembelanya Haryono Tjitrosubono dan Maruli
Simorangkir. Sebab' itu Hendra langsung menyatakan naik banding
atas putusan hakim itu. "Semua kekurangan yang 25 macam itu
sudah saya setorkan kepada nakhoda kapal dan ada tanda
buktinya," ujar Hendra yang sekarang mengaku tidak punya
pekerjaan lagi dan telah menjual rumah pribadinya di Pondok
Indah.
Tentang modifikasi kapal, pengusaha ini tetap yakin KM Tarnpomas
II adalah kapal penumpang berdasarkan sertifikat yang
dikeluarkan Departemen Perhubungan RI. "Modifikasi itu ada pos
yang untung dan ada pos yang rugi. Tapi untung-tidak-untung
dalam kontrak ini, kok dihukum," ujar Hendra lagi masih dengan
nada mengeluh.
Pembela Hendra, Haryono Tjitrosubono menyayangkan majelis hakim
tidak meninja kasus itu dalam aspek perdata internasional.
Sebab, menurut pembela itu, MOA itu mencerminkan aspek hukum
internasional. Tapi tidak sekali pun, kata Ketua Umum Peradin
itu, majelis meninjau dari aspek itu. "Bagaimana bisa meninjau
perjanjian internasional tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
hukum internasional," ujar Haryono.
Sebab kalau mengikuti penafsiran perdata internasional, kapal
penumpang itu tidak ada yang pakai kelas dek Berarti, permintaan
PT PANN untuk memodifikasikan kapal itu menjadi kapal penumpang
dengan kelas dek sudah tidak mengikuti lagi kelas kapal
penumpang sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan pelayaran
internasional. Sebab itu maksud dari MOA untuk menyerahkan kapal
sebagai kapal penumpang, cukup terpenuhi bila sudah disetujui
oleh pembeli, yaitu PT PANN dan ada sertifikat dari pemerintah
negara yang bersangkutan--dalam hal ini Departemen Perhubungan.
Pengacara itu menilai perbuaun kliennya George Hendra tidak
melawan hukum. "Kalau kapal itu kurang lengkap waktu diserahkan,
itu bukan melawan hukum. Sebab pembeli masih bisa menuntut
kekurangannya," ujar Haryono lagi.
Tapi terlepas dari itu, hakim anggota Koestrini membenarkan
adanya perbedaan penafsiran antara berbagai hakim mengenai
korupsi itu. "Sebetulnya setiap hakim bisa berbeda penafsiran,"
ujar Koestrini kepada TEMPO. Majelis hakim, katanya, mengikuti
yurisprudensi Mahkamah Agung yang menghukum seorang penyelundup
karena dianggap korupsi. Dalam keputusan itu disebutkan, adanya
ketentuan "barang siapa" untuk subyek undang-undang antikorupsi
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini