Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kerja bakti george hendra?

Di vonis 4 th penjara dan denda rp 20 juta, terbukti membantu melakukan korupsi dalam pembelian km. tampomas ii. terdakwa naik banding. dipertanyakan terdakwa sebagai orang swasta dikenai uu anti korupsi.(hk)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIREKTUR Perwakilan Komodo Marine Co., George Hendra, akhirnya dianggap hakim terbukti membanN elakukan korupsi dalam transaksi KM Tampomas II, antara perusahaannya dengan PT PANN. Dalam keputusan Kamis pekan lalu, majelis hakim diketuai Kartini Suwanu menghukum Hendra sama dengan hukuman untuk Dir-Ut PT PANN Nuzwari Chatab, 4 tahun penjara ditambah denda Rp 20 juta (subsider 3 bulan kurungan). Hendra, 38 tahun, menurut hakim ikut melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan keuangan negara. Tapi seperti juga Nuzwari, Hendra tidak merasa bersalah dalam transaksi KM Tampomas itu. "Apanya yang saya korupsi? Saya kan orang bisnis yang harus mencari keuntungan?" tanya Hendra ketika ditemui TEMPO di rumahnya kawasan Menteng Dalam, Jakarta Selatan, selesai sidang. Ia kelihatan kurus dan loyo di balik kaus merah yang dipakainya sore itu. Hendra yang mengaku sudah menjual lima kapal untuk Hankam, tiga kapal untuk ALRI dan tiga untuk Pelni itu, merasa hanya kena getah dalam kasus Tampomas itu. Ia merasa telah memenuhi semua persyaratan yang diinginkan PT PANN sebagai pembeli. Baik untuk modifikasi kapal ferry itu menjadi kapal penumpang, maupun untuk perlengkapan. Jika pun karena itu ia mendapat untung, "Masak kerja tidak cari untung, apa saya harus kerja bakti," ujar Hendra lagi. Bisa tidaknya seorang swasta terkena undang-undang antikorupsi, memang pernah menjadi ramai. Pengadilan Tinggi Jakarta tahun 1980 membuktikan orang swasta tidak bisa dikenakan tuduhan korupsi. Di anura yang mendapat pembebasan dalam kasus seperti itu adalah Almarhum Liem Keng Eng yang banyak disebut sebagai penyelundup tekstil. Pengadilan Tinggi beranggapan subyek untuk undang-undang antikorupsi itu adalah pegawai negeri atau orang yang bekerja di badan negara atau yang mendapat bantuan negara. Keputusan itu kemudian di ikuti pula oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk perkara penyelundupar lainnya. Beberapa putusan itu, diubah kembali oleh Mahkamah Agung dengar mengenakan hukuman kepada para tertuduh. Berdasarkan unsur lain, yaitu ada tidaknya perbuatan melawan hukum, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan pula Endang Wijaya dalam perkara "Pluit" dari tuduhan yang sama. Endang, menurut hakim tidak terbukti melakukan perbuatan yang melawan hukum memperkaya diri dengan merugikan keuangan negara. Sebab seandainya pengembalian kredit BBD (Bank Bumi Daya) macet, Endang Wijaya masih bisa mencicil untuk mengembalikannya. Keputusan ini kemudian diralat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta -- tapi sampai sekarang belum ada keputusan dari Mahkamah Agung. Tapi untuk George Hendra, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melihat semua unsur itu bisa dibuktikan. Subyek hukum untuk undang-undang antikorupsi, kata hakim, tidak terbatas pegawai negeri saja. "Penggunaan istilah "barang siapa" menunjukkan setiap orang tanpa kecuali, pegawai negeri atau bukan," kata hakim dalam keputusannya. Seperti Nuzwari Chatab, Hendra juga dianggap bersalah melawan hukum ketika menandatangani Protocol of Delivery tanggal 27 Mei 1980 itu. Dalam perjanjian penyerahan kapal. itu dikatakan, kapal sudah sesuai dengan Memorandum of agreement (MOA). Ternyata, kata hakim, kapal yang semula dalam MOA disebut kapal penumpang, yang diserahkan ternyata kapal ferry. Selain itu, kata hakim, terbukti pula ketika diserahkan peralatan kapal tidak lengkap sebanyak 25 items. Sehingga atas perbuatannya, Hendra sudah mendapat keuntungan sebanyak Rp 133 juta lebih sebanyak harga kekurangan perlengkapan berikut karena notasi kelas kapal tidak sesuai dengan di perjanjian. Pembuktian inilah yang tidak bisa disetujui George Hendra, begitu pula pembelanya Haryono Tjitrosubono dan Maruli Simorangkir. Sebab' itu Hendra langsung menyatakan naik banding atas putusan hakim itu. "Semua kekurangan yang 25 macam itu sudah saya setorkan kepada nakhoda kapal dan ada tanda buktinya," ujar Hendra yang sekarang mengaku tidak punya pekerjaan lagi dan telah menjual rumah pribadinya di Pondok Indah. Tentang modifikasi kapal, pengusaha ini tetap yakin KM Tarnpomas II adalah kapal penumpang berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan Departemen Perhubungan RI. "Modifikasi itu ada pos yang untung dan ada pos yang rugi. Tapi untung-tidak-untung dalam kontrak ini, kok dihukum," ujar Hendra lagi masih dengan nada mengeluh. Pembela Hendra, Haryono Tjitrosubono menyayangkan majelis hakim tidak meninja kasus itu dalam aspek perdata internasional. Sebab, menurut pembela itu, MOA itu mencerminkan aspek hukum internasional. Tapi tidak sekali pun, kata Ketua Umum Peradin itu, majelis meninjau dari aspek itu. "Bagaimana bisa meninjau perjanjian internasional tanpa mempertimbangkan aspek-aspek hukum internasional," ujar Haryono. Sebab kalau mengikuti penafsiran perdata internasional, kapal penumpang itu tidak ada yang pakai kelas dek Berarti, permintaan PT PANN untuk memodifikasikan kapal itu menjadi kapal penumpang dengan kelas dek sudah tidak mengikuti lagi kelas kapal penumpang sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan pelayaran internasional. Sebab itu maksud dari MOA untuk menyerahkan kapal sebagai kapal penumpang, cukup terpenuhi bila sudah disetujui oleh pembeli, yaitu PT PANN dan ada sertifikat dari pemerintah negara yang bersangkutan--dalam hal ini Departemen Perhubungan. Pengacara itu menilai perbuaun kliennya George Hendra tidak melawan hukum. "Kalau kapal itu kurang lengkap waktu diserahkan, itu bukan melawan hukum. Sebab pembeli masih bisa menuntut kekurangannya," ujar Haryono lagi. Tapi terlepas dari itu, hakim anggota Koestrini membenarkan adanya perbedaan penafsiran antara berbagai hakim mengenai korupsi itu. "Sebetulnya setiap hakim bisa berbeda penafsiran," ujar Koestrini kepada TEMPO. Majelis hakim, katanya, mengikuti yurisprudensi Mahkamah Agung yang menghukum seorang penyelundup karena dianggap korupsi. Dalam keputusan itu disebutkan, adanya ketentuan "barang siapa" untuk subyek undang-undang antikorupsi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus