BUNGA DI ATAS BATU (Si Anak Hilang) Kumpulan Puisi Oleh: Sitor Situmorang Diedit oleh Pamusuk Eneste Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1989, 374 & xvi halaman PEMBICARAAN tentang antologi J pilihan sajak Sitor Situmorang dari 1948 sampai 1988 ini tak mungkin bebas dari pengalaman saya mengenal Sitor sejak awal 1950-an, ketika masih di SMA. Bermula dengan pembicaraan Sudjatmoko tentang Jalan Mutiara dalam Siasat. Suatu perkenalan melalui tiniauan. yan tentunya problematik. Akibatnya, Sitor, bagi saya, selalu tampil sebagai persoalan. Antologi ini adalah pergelutan Sitor dengan puisi selama 40 tahun. Ada periode 1940-an berisi 12 sajak, Surat Kertas Hijau (SKH) 33 sajak, Dalam Sajak (DS) 48 sajak, Wajah Tak Bernama (WTB) 21 sajak Dinding Waktu (DW) 39 sajak, Peta Perjalanan (PP) 46 sajak, Angin Danau (AD) 32 sajak, dan Mendengar Gema Samudra (MGS) 49 sajak. Ia dibuka dengan "Catatan Editor" saya rasa Pamusuk lupa menyebutkan majalah Zenith dan ditutup dengan esei Sitor "Usaha Rekonstruksi yang Dirundung Ragu" (pernah pula dimuat dalam buku Proses Kreatif 11, 1984, diedit oleh Pamusuk Eneste). Selanjutnya ada biografi singkat yang komprehensif, terutama adanya daftar studi yang pernah dilakukan terhadap Sitor, di Indonesia dan di luar negeri. Antologi ini memperkenalkan kita kepada proses kreatif perpuisian Sitor - sukar dikesan bila ia berserakan dalam berbagai antologi karena kita berhadapan dengan kelompok-kelompok puisi yang terpisah. Terlihat ia mula menulis mengikut tradisi Pujangga Baru. Kemudian ada pengaruh perpuisian Chairil. Baru pada SKH ia muncul sebagai dirinya sendiri, yang juga meninggalkan kesan pengalaman Sitor bermukim di Eropa. DS bukan hanya membawa persoalan lain - mengenal (kembali) tradisi? -- tapi juga memunculkan kebiasaan puisi dengan kesan yang berlainan dariSKH. Puisi yang lebih pendek sehingga Malam Lebaran sempat dihebohkan orang. WTB juga muncul dengan wajah lain, antara lain, sajak yang menyentuh rasa sensual, terutama La Ronde II, yang sebelumnya termuat dalam Siasat dengan judul Studi dalam gelap. Ini dan seluruh pengembaraan puisi Sitor tahun 1950-an memberikan kesan keisengan, dan ia dijuluki manusia iseng. Kesan ini berlanjut dengan pelibatan diri dalam percaturan politik dan menerbitkan antologi Zaman Baru -- ditiadakan dalam antologi ini. Zaman Baru adalah catatan perjalanan Sitor ke RRC dan judulnya mengingatkan kita kepada majalah yang diterbitkan Lekra dalam tahun 1950-an dan I960-an. Itu adalah periode pertama dalam pengembaraan puisi Sitor. Ada masa yang memaksanya mendiamkan diri. tercatat juga dalam Incommunicado dari periode PP. Selanjutnya kita berhadapan dengan periode puisi yang diterbitkan sesudah masa pendiaman diri ini. Ini bermula dengan DW dan berlanjut dengan periode PP, AD, dan MGS. Ada kesan A la Recherche du Temps Perdue (Menemukan Kembali Masa Lampau) dengan meminjam judul novel Marcel Proust. Jauh lebih menonjol dari masa sebelumnya. Sitor berbicara tentang pengalaman masa lampau. Dan karena ia berbicara kini ia tak mungkin dilepaskan dari masa kini. Pada 1962 masa kini itu tidak dihadirkan. Tapi, tidak demikian halnya Jinak-jinak merpati dan Hotel Emp(i)re-Paris. Lampau dilihat dalam hubungan dengan kini. Dan kesan saya, lampau dan kini penting dalam pengembaraan puisi Sitor. Ada yang hilang dari masa lampau. Dan Si Anak Hilang adalah anak yang hilang dari masa lampau, dan ini adalah hal utama pada Sitor. Ada dua sajak dengan judul demikian dalam DS dan AD. Dan perlu dicatat perbedaan antara keduanya. Pada DS ada keangkuhan menjadi anak hilang, sama dengan keangkuhan Kuning dalam Hilanglah siAnak Hilang dari Nasjah Djamin. Tak demikian halnya pada AD. Si anak hilang pulang dengan kuyu, mengharapkan kasihan. Karena itu, tak mengherankan bila ada judul kecil -- dalam kurung -- pada antologi yang kita hadapi kini. Bukan tak mungkin, seluruh pengalaman puisi Sitor adalah si anak hilang yang sama dengan kehidupan Bunga di atu.s batu. Mungkin tumbuh subur kalau di atasnya ada tanah, tapi akan longsor bila hujan lebat. Atau tak pernah bertumbuh, hanya menyebar, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sebagaimana halnya dengan puisi Sitor yang melompat dari satu persoalan ke persoalan lain, yang tadi ditandai dengan keisengan. Ini juga berlaku pada periode selanjutnya. Ia melompat dari satu persoalan ke persoalan lain. Tapi disatukan oleh dialog antara masa lampau dan kini, hal yang mengikat dirinya. Pada masa terikat pada kekinian, ia juga terikat pada masa lampau. Ia tak mungkin menghapus atau melupakan masa lampaunya. Dan sebaliknya, ia tak mungkin meniadakan masa kini yang dihidupinya, meskipun mungkin dibencinya -- dalam bahasa orokem benci adalah "benar-benar cinta". Ini mengingatkan saya kepada pemikiran Armijn Pane dalam Belenggoe yang saya rasa berhubungan dengan pemikiran Dr. Amir pada karangannya dalam Boenga Rampai. Atau ia mungkin dihubungkan dengan keragaman persoalan yang muncul dalam pikiran Sitor. Atau keragaman melihat sesuatu. Ada berbagai cara melihat sesuatu. Akibatnya, ada dua sajak dengan judul yang sama. Ada dua Si Anak Hilang dan Ziarah . Sitor berusaha membebaskan diri dari beban budaya tertentu yang selama ini membatasi geraknya. Ia keluar dari kungkungan Batak dan Kristen, sehingga azan subuh juga turut bergema dalam dirinya sebagai terlihat pada Azan Subuh. Dan ada kalanya ia melompat ke dunia Hindu dan Budha. Bahkan I Syuro membawanya ke dunia Dewa Ruci. Ternyata ia ingin mengemban budaya dunia, yang mungkin sejalan dengan pemikiran yang selama ini dianggap orang sebagai dasar pemikiran Angkatan '45, yang tercermin dalam Surat Kepersayaan Gelanggang, dan tak ada salahnya menghubungkan Sitor dengannya. Dasar filsafatnya sejalan dengan Angkatan '45. Begitulah, antologi ini menolong kita melihat wajah Sitor, yang juga terlihat pada sajak yang tak hadir dalamnya, padahal sebelumnya pernah dihadirkan. Sebagai dikatakan editor, ada berbagai proses yang terjadi dalam penyusunan antologi ini. Ada sajak yang utuh dihilangkan, tanpa ada bekas dalam antologi ini. Pembatalan sajak menurut editor. Seluruh sajak Zaman Baru dan sebagian sajak Angin Danau dibatalkan. Ada sajak yang diganti katanya, atau diubah susunan katanya. Ada yang diulang karang, diulang gubah -- menurut editor. Dan juga ada, menurut editor, hanya koreksi salah cetak yang ada pada cetakan terdahulu. Fenomena ini penting bagi pemahaman proses penciptaan Sitor yang selanjutnya berhubungan dengan penginterpretasian perpuisian Sitor. Tanpa perlu bertanya kepada Sitor, kita boleh herspekulasi tentang pembatalan sajak tadi. Mungkin berdasarkan pertimbangan estetika. Tapi mungkin juga pertimbangan sosiopolitik. Dengan membatalkan ZB, Sitor mungkin bermaksud ingin melupakan pengembaraan politiknya pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, pengembaraan yang tidak didasari oleh kepercayaan politik, tapi oleh pertimbangan lain yang pragmatik, berhubungan dengan percaturan politik praktis ketika itu, taktik dan bukan strategi. Atau mungkin keduanya, pertimbangan estetika dan sosiopolitik. Dan yang pasti, kita hidup dalam dialog antara kedua interpretasi ini. Bahkan keterangan dari Sitor tak akan menolong sama sekali. Persoalan sama muncul dalam hubungan pembatalan sajak yang berasal dari AD. Kita hanya mungkin berspekulasi. Atau kekuatan interpretasi kita seluruhnya ditentukan oleh argumentasi kita, tanpa dapat mengatakan ia mutlak. Juga menarik perubahan redaksi sajak Sitor lainnya, yang berbeda dari yang ada pada puisi Chairil -- dilakukan setelah jarak waktu yang cukup panjang. Mungkin hanya persoalan estetika, tapi ada hubungan dengan sosiopolitik dan perkembangan lain. Begitulah, penerbitan antologi ini, dengan segala perubahannya, adalah juga data yang mengundang interpretasi lain dari yang sebelumnya. Ia menyediakan diri untuk pengolahan selanjutnya. Ia jadinya suatu penerbitan penting. Umar Junus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini