PARADE seni dalam kaitan Lustrum I Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang menggelar berbagai bentuk kesenian, pekan lalu, memang spektakuler. Rektor ISI But Muchtar menulis dalam pengantar buku acara: "Bukan saja merupakan latihan bagi mahasiswanya, tapi juga sekaligus merupakan laporan kepada umum tentang keberhasilan pendidikan -- dan mungkin juga ketidakberhasilannya. Sebagai manifestasi budaya, maka pergelaran ini juga memberi gambaran tentang konsepsi-konsepsi seni yang berkembang di lingkungan ISI Yogyakarta." Sebagai institut seni yang berada di lingkungan pusat budaya Jawa, program pendidikan seni tarinya sangat kuat mengacu pada tradisi seni tari Jawa. Hal ini berlaku juga pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSl) Denpasar yang menekankan pada tradisi Bali dan juga STSI Bandung pada tari Sunda Sebuah garapan dengan idiom klasik di Pekan Seni ISI ini adalah karya Sultan Hamengku Buwono IX, Tari Golek Menak"Geger Mukadam", yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu pekan lalu. Tahun-tahun sebelum mangkat, Sultan H.B. IX memang sibuk mendiskusikan gagasannya, tentang tontonan tari Wayang Golek yang berdasarkan naskah Serat Ambya -- lakon yang bertolak dari kisah sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. Dengan sikap seperti seniman kontemporer, Sultan H.B. IX -- tokoh yang jadi anutan budayawan Jawa itu -- menganjurkan untuk mencangkokkan gaya tari silat Minang dalam gaya tari yang bertolak dari keraton Yogya, khusus untuk adeganadegan perang dalam beksan Wayang Golek. Kabarnya, Sultan telah senang dengan pendekatan ISI Yogya terhadap garapan Wayang Golek ide beliau. Meskipun dalam pergelaran ini agak kurang greget karena suara gamelan yang teredam dalam langitlangit panggung gara-gara letaknya terlalu ke belakang. Bentuk-bentuk gerak yang menegaskan karakterisasi dari setiap tokoh dalam lakon serat menak ini kurang cermat tergarap. Tenggelam dalam penggarapan tari kelompok yang memang mengambil bagian besar dari adegan. Juga adegan perang terlalu banyak dan berkepanjaogan. Yang perlu dipuji adalah rasa kebebasan menggarap, meskipun materi yang digunakan adalah perangkat vokabuler tradisi - mungkin dorongan Sultan. Kesan stakato atau gerak-gerak patah-patah -- satu penghalusan dari gerak wayang golek kayu -- terasa lebih berani, tanpa harus kehilangan rasa "luwes" dari tari Jawa. Kiranya kerja sama Bambang Pujasworo, Sunaryadi, Tri Nardono sebagai penata tari dan Sumaryono sebagai penata iringan perlu diberi kesempatan lebih banyak menyelesaikan tugasnya membangun Beksan Wayang Golek ini. Pada malam sebelumnya, di tempat yang sama, dipergelarkan tiga tari kontemporer. Masing-masing, "Gersang" karya Baghawan Ciptoning dan GS. Darto, "Rupiah" karya Kristianto dan Ida Riyani, dan setelah istirahat dipergelarkan "Keringat" karya M. Miroto. "Keringat" perlu dicatat dalam mengetengahkan pendekatan yang jelas konsepnya, nyaris serumpun dengan aliran-aliran posl modern. Dalam tarian ini, penari-penari tak terlalu harus membebani geraknya dengan emosi-emosi tertentu. Dramatisasi, rasa sedih, amarah, dan situasi emosi lain bukan sesuatu yang menjadi dasar dari lahirnya gerak. Tapi, kesetiaan tubuh untuk menjalani pola syncopic yang diulang-ulang melahirkan fenomen gerak yang berdiri bebas tanpa dikaitkan dengan perasaan tertentu. Ayunan erak ini -- yang berulang terus-menerus dalam berbagai variasi -- menimbulkan kesan kuat mengisap perhatian. Lalu penonton jadi siap menerima apa saja yang akan diletakkan di panggung. Dan ketika mendadak ada seonggok karung dan seseorang yang melolong bak anjing digebuk, kita tak perlu mencari kaitan-kaitan maknanya. Hambatan yang menggoyahkan kemantapan konsep ini adalah konsep iringan musik yang masih konvensional, selain suara synthesizer yang terasa mentah. Suasana yang dibangun terlalu dramatis. Status ISI -- yang baru saja beranjak dari berbagai akademi yang terpisah, kemudian menyatu dalam satu atap berstatus perguruan tinggi penuh -- mempengaruhi juga wawasan seni yang berkembang di dalamnya. Saling pengaruh antarmedia ekspresi menjadi lebih terpacu. Para penari dan koreografer banyak menyerap beberapa perkembangan ide dan konsep di bidang seni rupa, musik, teater. Perkembangan seni tari kontemporer ini kelihatannya lebih terangsang oleh lingkungan ini daripada tumbuh karena isi dan program kurikulum formalnya. Dilihat dari kondisi ini, maka pementasan tari kontemporer ISI menjadi penting, jangan-jangan ini sebuah isyarat untuk menuju sebuah perubahan kurikulum yang lebih komprehensif. Mengacu bukan saja pada gaya tari etnik lingkungan setempat, tetapi juga pada khazanah tari Indonesia yang luas, bahkan gaya tari Asia dan dunia.Sardono W. Kusumo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini