ETIKA JAWA (Franz Magnis-Suseno) MANUSIA JAWA (Marbangun Hardjowirogo) MANUSIA DALAM KEBATINAN JAWA (Harun Hadiwijono) KELUARGA JAWA (Hildred Geert) SALAH SATU SIKAP HIDUP ORANG JAWA (S. de Jong) PERUBAHAN-PERUBAHAN STRUKTUR DALAM MASYARAKAT JAWA (D.H. Burger) SIMBOLISME DAN MISTIKISME DALAM WAYANG (Sri Mulyono) ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI DALAM MASYARAKAT JAWA (Clifford Geert) ETIKA JAWA DALAM TANTANGAN (Reksosusilo) PERANGKAT aksara Jawa hanya kenal tiga tanda baca: adeg-adeg untuk awal kalimat, pada lingsa (,) dan pada lungsi (.). Bertanya, menyuruh, menghardik? Semua cukup dengan sindiran. Kalau tidak, akan timbul kendala bagi kelangsungan hidup. Tetapi orang Jawa juga punya pepatah: sadumuk bathuk sanyari bumi tinaker pati - sepesentuh dahi setelempap tanah bertakar darah. Bathuk dalam konteks ini, menurut Masdjajadi (Almarhum Djojodiguno), ahli hukum adat dan sosiologi pada Universitas Gadjahmada, ialah bukit kemaluan perempuan (vulva). Bukankah wanita simbol martabat? Lebih dari itu, wanita malahan sumber hidup, kekuatan, dan kekuasaan. Ingat lakon Gangsiran Asqatama. Sinar terang terpancar dari kemaluan bidadari Wilutama. Dari sudut ini tampaklah makna Arjuna yang "gemar kawin", sehingga sebutan lelananging jagad (andalan jagad) tak usah terpeleset menjadi lananganing jagad (pejantan dunia). Konsep sarga nunut neraka katut adalah contoh lain dari etika Jawa yang harus ditapis. Nilai ini pasti tidak lebih tua dari kisah Kencanawungu-Damarwulan. Ia mungkin timbul sesudah patriarkisme feodal dikukuhkan. Dalam buku Etika Umum, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Magnis Suseno memberikan rumusannya tentang etika sebagai "cabang filsafat yang menyibukkan dln dengan pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan dalam bidang moral". Sedangkan Djojodiguno melihat etika sebagai bagian ilmu kejawen atau kebatinan, disamping metafisika (kawruh hana), mistik (kawruh panunggal), dan okultisme (kawruh kanuragan). Alkisah, Adipati Pati membantu Senapati Mataram menggempur Madiun. Maka, sebagai tanda terima kasih Senapati menghadiahkan Pragola - seekor sapi jantan yang gagah dan tambun - kepada Adipati Pati, dengan syarat kuda perangnya harus ditinggalkan di Mataram. Adipati Pati marah. Ia merasa dipermalukan, karena turangga (kuda) - di samping wisma, wanita, kukila (burung), dan curiga (keris) - adalah atribut eksistensi kesatria Uawa). Demikian casus belli yang tersurat. Yang tersirat tentu lebih dari itu, walau "malu" memang salah satu faset dari etika kalangan atas Jawa. (Lihat, antara lain: Keluarga Jawa karangan Hildred Geertz). Bagaimana dengan kawula alit?. Lembaga pepe (berjemur di alun-alun tatkala raja sedang sinewaka) mendapat sentuhan Marbangun Hardjowirogo dalam buku (Manusia Jawa). Djojodiguno mengangkatnya sebagai perangkat hukum adat, dan mengkonstatasi hak rakyat ini sebagai wajah demokrasi langsung dalam tata kehidupan feodal Jawa. Sedangkan Sartono Kartodirdjo dalam buku Protest Movements in Rural Java membuktikan bahwa kaum tani tidak selamanya tertegun pada nasihat tembang Mijil ketoprak: bapang den singkiri, ana catur mungkur (jauhi bencana, elakkan sengketa). Ini memang tidak perlu mengguncangkan konsep nrimo, selama nilai etika ini tidak disamakan dengan pasrah dalam arti kapitulasi, melainkan pasrahnya Kawula lawan Gusti sehingga jagad gedhe dan jagad cilik selaras (Wejangan Pokok llrnu Bahagia dari Ki Ageng Suryomentaram). Awang-uwung bukan hampa, kata Ronggowarsito, melainkan mengku isi (mengandung isi). Das (O) tidak mandul, tetapi berpotensi. Hukum rasional yang mengatakan bahwa dharma mendapat ganjaran dan dhusta mendapat hukuman hanya berlaku di alam arwah kelak. Hukum alam yang berlaku di dunia tidak mempermasalahkan adil dan tidak adil, melainkan sumbang dan laras. Karena itu, bila masalah Ratu Adil bersembulan di permukaan, pertanda kelarasan dirasa dalam bencana. Dalam harmoni itulah - yang menurut Notonagoro merupakan inti filsafat Timur - hidup mati seseorang dan komunitas terletak. Ungkapan Mangkunagoro IV, ngangsu apikulan warih dan apek geni adedamar (mengambil air dengan air, api dengan api) menyimpulkan konsep etika itu. Maka, etika Jawa itu pun batal mana kala tidak bisa menjawab tuntutan hidup mati yang dalam pertaruhan. Kata kunci buku Etika Jawa adalah "batin". Realitas manusia (manusia Jawa, tentunya) ialah batinnya. Atas dasar inilah Magnis-Suseno yang melihat Semar sebagai lambang rakyat Jawa, lantaran kemuliaan batinnya, lantas menjadikannya sebagai leitmotiv untuk nilai alternatif menghadapi tantangan modernisasi. Tetapi, apakah kesimpulannya masih tetap sama seandainya orang melihatnya dalam kerangka the idea of power in Javanese culture. Tokoh panakawan, misalnya Jodheh (lugas) dan Santa (kedamaian batin) pada cerita Panji, punya kelebihan dalam daya gaib, sehingga diperlukan raja dan kesatria. Di Keraton Yogya, mereka itu, yang umumnya orang albino, disebut abdi dalem palawija. Lalu kesimpulan apa lagi jika kita melihat Semar (Hyang Asmarasanta, Smarasanta, Jnanabhadra, Jab-na-p'o-to-lo) sebagai tokoh sejarah? Suatu tantangan besar bagi para Javanolog. Sebab, pada kebijaksanaan Jnanabhad ra inilah, mengikuti analisa Magnis-Suseno, tersimpan Kebijaksanaan Hidup Jawa. Buku Etika Jawa, yang sekaligus menjawab buku Etika Jawa Dalam Tantangan (ditulis Magnis-Suseno bersama Dr. S. Reksosusilo C.M.), adalah versi Indonesia dari naskah pertama yang berbahasa Jerman. Ubarampe filsafat Barat (Aristoteles dan Kant khususnya) ibarat banyak-dhalang sawunggaling harda-walika - sebagai peneguh "pedoman alternatif". Adapun bagi filsafat Jawa, ibarat penggelaran doktor kehormatan untuk Jnanabhadra alias Semar yang senantiasa bermotto: ngonoya ngono, mbokya 'ja ngono. Mudah-mudahan itu bukan perlindungan nyaman bagi feodalisme baru. Bukankah Londo Depok masih bangga disapa dengan sinyo dan noni?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini