MAHASISWA '45 PRAPATAN-10: PENGABDIANNYA. Oleh: dr. Soejono Martosewojo dan kawan-kawan. Penerbit: Patma, Bandung, 1984, 439 halaman MENJELANG proklamasi 17 Agustus 1945 ada eberapa kelompok pemuda di Jakarta yang memperslapkan diri menyongsong datangnya kemerdekaan. Yang menonjol, antara lain, Asrama Ankatan Baru Indonesia di Menteng 31, Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih 80, serta Asrama Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Prapatan 10. Banyak buku yang telah mengungkap peranan para pemuda tersebut. Disusun pada 1983, buku ini, yang menggambarkan peranan Asrama Prapatan 10, sebetulnya terlambat terbit. Meski begitu, ternyata cukup banyak fakta baru yang terungkap. Misalnya, atas usaha Soejono yang menghubungi dr. Abdoelrachman Saleh, pada 17 Agustus 1945 pukul 19.30, Bung Karno mengulang membacakan teks proklamasi melalui pemancar gelap milik Abdoelrachman Saleh yang disembunyikan di laboratorium fisiologi Ika Daigaku, Salemba. Ikut menyaksikan, antara lain, Bung Hatta, Soebardjo, dan Iwa Kusumasumantri. Pada 18 Agustus, kedua tokoh proklamator itu diundang ke Asrama Prapatan 10 untuk disodori konsep dekrit presiden yang telah dicetak 5.000 lembar. Isinya: pembentukan badan ketentaraan rakyat. Baru setelah Kasman Singodimedjo dan Sjahrir ikut meyakinkan, Bung Karno akhirnya setuju dan menandatangani keputusan pembentukan Badan Keamanan Rakyat. Di samping mengungkapkan banyak hal baru, buku ini juga memuat sejumlah foto menarik. Di antaranya, Suwirjo membaca acara upacara proklamasi, dan sejumlah mahasiswa yang menghadiri upacara proklamasi itu. Kedua foto ini mengagetkan. Sebab, selama ini diberitakan hanya dua foto upacara proklamasi yang bisa diselamatkan, yaitu Bung Karno membaca naskah proklamasi, dan upacara pengibaran bendera. Sayang, sumber kedua foto ini tidak dijelaskan. Selain terlambatnya buku ini ditulis, hingga banyak hal telah dilupakan, kekurangan lain adalah cara penulisannya yang kurang profesional. Tampaknya ada usaha untuk melengkapi dan membandingkan dengan tulisan-tulisan yang telah ada. Sayangnya, usaha ini setengah-setengah, sehingga tidak muncul suatu penggambaran peristiwa yang komplet sebagai sesuatu yang utuh. Tapi ini bisa dimengerti, karena para penulisnya tampaknya cuma ingin agar peranan kelompok mereka diluruskan dan tidak diabaikan. Itu juga terlihat dari lampiran, yang menyita sekitar separuh buku, berisi nama dan foto para bekas mahasiswa Ika Daigaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini