Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Membaca Tubuh Hanacaraka

Koreografer Boby Ari Setiawan mencoba memvisualkan aksara Jawa melalui gerak tubuh para penari. Masih terlampau verbal.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di panggung yang sebagian berbentuk anak tangga dengan lima undakan itu, lima penari berdiri berbaris. Pantulan aksara Jawa yang dipancarkan sebuah proyektor di bibir panggung menyelimuti wajah dan tubuh mereka. Sebagian huruf berbentuk lengkungan-lengkungan itu beterbangan di latar panggung dengan cahaya terang kebiruan.

"Ha-na-ca-ra-ka, ha-na-ca-ra-ka…." Dari mulut para penari yang tubuhnya berlumuran pupur, kata-kata itu terus dilafalkan. Diiringi gending Jawa yang mengalir ritmis, satu per satu penari menggerakkan tangan dan kakinya.

Hanacaraka, yang berarti "ada utusan", mengacu pada legenda Aji Saka, seorang raja di Jawa, yang dipercaya menjadi asal-muasal aksara Jawa. Cerita ini menjadi inspirasi bagi Boby Ari Setiawan untuk menciptakan karya tari berjudul Hanacaraka, yang dipentaskan di Teater Salihara, Sabtu dua pekan lalu. Boby tidak menciptakan tari Hanacaraka sebagai kisah pertempuran Dora dan Sembada, dua abdi setia Aji Saka. Yang dia suguhkan di atas panggung lebih pada penyerapan dan pengembangan makna kata "utusan". "Para penari yang terlibat dalam pertunjukan adalah utusan yang menyampaikan aksara Jawa melalui gerak tubuh mereka," katanya.

Menggandeng Agus "Mbendol" Margiyanto, Cahwati, Widya Ayu, Havid Ponk, dan Sandi Dea Cahyo Narpati sebagai penari, Boby mencoba memvisualkan beragam bentuk aksara Jawa itu lewat gerakan. Ia membuat koreografi dengan dasar mengikuti bentuk aksara tersebut, bermain dengan garis lurus dan lengkung, dalam berinteraksi. Liukan badan, ukel (gerakan pergelangan tangan melingkar), pacak gulu (gerakan leher), gerakan tari gagahan, dan gerakan sesembahan juga mengikuti bentuk aksara.

Bahkan salah satu penari, Agus "Mbendol" Margiyanto, pun menuruni panggung dengan badan tetap melakukan gerakan mengikuti aksara itu. "Saya ketat sekali. Semua gerakan penari harus mengikuti huruf hanacaraka ini," ujar peraih penghargaan koreografi terbaik dalam Bandar Serai Award 2003 ini.

Hanacaraka adalah karya terbaru Boby setelah Ghost Track, karya kolaborasinya dengan LeineRoebana, kelompok tari dari Belanda. Namun gerakan tubuh mengikuti aksara Jawa itu pernah dihadirkan Boby untuk karya koreografi Aksara Tubuh, yang dipentaskan di Teater Arena, Taman Budaya Surakarta, Desember tahun lalu. Hanacaraka bisa disebut sebagai penyempurnaan dari Aksara Tubuh. Pada Aksara Tubuh, enam penari tak hanya bergerak di panggung. Mereka juga melakukan eksplorasi gerak di kursi tribun penonton yang sengaja dikosongkan. Tak hanya mengandalkan sorotan proyektor yang memancarkan huruf-huruf Jawa, para penari membawa-bawa selembar papan bertulisan aksara tersebut berukuran besar.

Kehadiran papan itu jelas terlampau verbal. Inilah alasan Boby tak lagi menggunakannya di karya terbarunya. Tapi Boby tak menganggapnya verbal. Di tengah adegan, ia merasa perlu menjelaskan apa yang dilakukannya kepada penonton. "Sugeng ndalu. Selamat malam. Good evening. Thanks for coming. Ha-na-ca-ra-ka, ada utusan Dora dan Sembada yang mengikuti Aji Saka mencapai kesempurnaan. Yang saya lakukan adalah mengeksplorasi teks aksara Jawa pada gerak tubuh, body movement," kata Boby kepada penonton. Ia muncul ke tengah panggung, menginterupsi para penari yang menyuguhkan adegan pertarungan.

Dengan sebatang kapur, Boby kemudian menggoreskan beberapa aksara Jawa itu di lantai panggung. Di atas goresan-goresan itu, dia dan dua penari kemudian bergantian menari dengan gerakan kaki mengikuti bentuk aksara tersebut. Pentas berdurasi hampir sejam itu memang hanya menghadirkan fragmen-fragmen. Tidak ada ikatan yang membuat adegan-adegan itu berkulminasi pada sebuah klimaks yang mengejutkan. Mungkin itu yang harus diperhatikan Boby.

Boby memang tertantang untuk menciptakan koreografi lanjutannya. Hanacaraka hanya kalimat permulaan. Masih ada deretan aksara berikutnya: datasawala, padajayanya, magabathanga, yang bila diartikan seluruhnya bermakna "ada utusan, berselisih pendapat, sama-sama saktinya, sama-sama menjadi mayat". Itu yang akan dieksplorasinya dalam lima tahun mendatang.

Nunuy Nurhayati, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus