Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65
Editor: John Rossa, Ayu Ratih, Hilmar Farid
Penerbit: Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, Januari 2004
Tebal: IX + 253 hlm.
Octavio Paz, penyair terkenal dari Meksiko, menulis: "The past reappears, because it is a hidden present." Ungkapan ini tampaknya sangat tepat untuk melihat munculnya buku ini. Buku ini berisi kesaksian para korban peristiwa 1965 yang mencoba memunculkan masa lalu mereka dalam realitas masa kini lewat kumpulan esai sejarah yang dikerjakan tim penulisan sejarah lisan.
Tulisan-tulisan dalam Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 merupakan hasil wawancara dan penulisan yang dikerjakan selama hampir empat tahun (2000-2003). Dan sumber utama tulisan adalah 260 orang korban Gerakan Satu Oktober 1965 (Gestok) yang masih hidup. Jelas, tidak semua. Bila untuk 260 orang saja dibutuhkan hampir empat tahun, entah berapa lama untuk mencatatkan pengalaman jutaan orang sanak famili yang menjadi korban peristiwa itu.
Selama ini para penguasa Orde Baru tidak hanya melakukan pembunuhan "secara fisik" atas para korban 65, tapi juga "masa lalu" para korban, kemudian membangun "konstruksi" atas masa lalu sesuai dengan selera penguasa. Karena itu, tepatlah ungkapan sejarawan Asvi Warman Adam: "Karena rezim itu didominasi militer dan tokoh yang menjadi narasumber utamanya juga seorang jenderal, maka sejarah Orde Baru tak ubahnya sebagai sejarah operasi tentara." (Kompas, 22 Agustus 2000)
Metode membunuh masa lalu itu menjadikan korban seolah-olah "tidak pernah ada" (yang ada hanyalah "para pahlawan militer"). Tidak pernah ada pada masa lalu, mereka pun dianggap tidak pernah ada pada masa kini, dan yang tidak ada pada masa kini sudah pasti tidak akan pernah ada juga pada masa depan. Sebuah paralelisme amnesia dibangun bagaikan tusukan sate.
Selain sejarah versi negara, selama ini mayoritas studi tentang peristiwa Gerakan Satu Oktober 1965 memang didominasi berbagai analisis "politik arus atas" oleh berbagai kalangan akademisi. Berbagai teori dan analisis dikeluarkan. Tiap-tiap kubu mencari kebenarannya sendiri-sendiri untuk menuding kelompok atau garis ideologi lain sebagai kambing hitam. Akibatnya, selama bertahun-tahun studi tentang peristiwa 65 menjadi semacam keasyikan akademis yang melibatkan berbagai kelompok dan konspirasi. Dalam keasyikan analisis-konspiratif itu, jumlah korban disebut bak angka statistik sekali lewat: 500 ribu , 1 juta , atau 2 juta.
Penyebutan angka-angka korban dalam berbagai karya mainstream ini pun sekadar pelengkap, karena para korban dilihat sebagai dampak, bukan pokok utama peristiwa Gestok 1965. Syukurlah, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, yang mendudukkan wawancara para korban sebagai arus utama, ini terbit. Ada pengakuan Sujoko dari Jatinom, Klaten, putra seorang dalang yang jadi korban karena pernah meminjamkan peralatan pertunjukan wayangnya pada PKI (hlm. 35). Ada juga penuturan Partono, anak seorang lurah di pegunungan Wonosari yang masa kanak-kanaknya bahagia sampai sang ayah dipanggil datang ke Kodim (hlm. 63).
Membaca berbagai tulisan dalam buku ini, kita dapat melihat perjuangan merebut masa lalu adalah perjuangan politik dalam bentuk lain, karena sejarah lisan para korban bisa menjadi alat berharga untuk meneliti kejahatan negara. Tentu saja, rezim Orde Baru atau para pelaku utama akan menyangkal dan mencari berbagai pembenaran baru untuk tetap menganggap "para korban tidak pernah ada". Namun, dengan adanya "sejarah korban" yang berdiri sejajar dengan sejarah para "penjahat hak asasi manusia", sebuah kebenaran sedang diberi kesempatan untuk bertarung melawan "kebohongan".
Hal penting dari penerbitan buku ini adalah dalam hal metodologi lisan yang dipergunakan. Kumpulan tulisan dalam buku ini telah memberikan suatu sumbangan bagi sebuah metodologi historiografi yang mempunyai "keberpihakan metodologi" pada para korban, kaum marginal atau "arus bawah". Sebuah metode yang tidak terjebak pada sloganistik obyektivitas, tapi pada kenyataan yang adakenyataan para korban.
Pengakuan-pengakuan para korban dalam buku ini sangat layak dibaca oleh publik agar mengetahui psikologi terdalam pada tragedi kemanusiaan 1965 langsung dari para korban itu sendiri.
Wilson, Litbang Lembaga Kajian PRAXIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo