Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Membongkar Tata Busana

Para perupa dalam pameran Dysfashional mengeksplorasi berbagai bahan dan gagasan yang ingin mengguncang mode. Ingin mendorong lahirnya aliran kreatif baru.

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MODE adalah catatan sejarah yang ditorehkan di gaun, kemeja, dan topi. Ia membentuk masyarakat, bahkan membentuk tubuh individu. Tapi apa yang terjadi ketika para perupa menggagas busana dan para penata busana menggagas karya seni rupa? Pada titik inilah tampaknya pameran Dysfashional #6 yang digelar pekan lalu di Galeri Nasional menjadi bermakna.

Kita akan melihat para seniman kemudian mencoba menggempur pengertian tata busana yang konvensional. Tata dibongkar meski kebusanaannya masih menyisakan jejak di sana.

Pameran ini digelar Pusat Kebudayaan Prancis Jakarta, Goethe-Institut Indonesia, dan Galeri Nasional dalam rangka pembukaan Festival Seni Prancis 2011. Jakarta terpilih sebagai kota pertama di luar Eropa yang menyelenggarakan pameran ini sebelumnya digelar di Luksemburg (2007), Lausanne, Swiss (2008), Paris, Prancis (2009), Berlin, Jerman, dan Moskow, Rusia (2010).

Coba perhatikan Bosex karya seniman Jay Subyakto dan perancang busana Stella Rissa. Karya itu berupa bangunan berbentuk kubus hitam raksasa dengan dinding dihiasi lempengan-lempengan logam perak. Setiap sisinya memiliki sebuah lubang yang cukup untuk satu orang dewasa berdiri di dalamnya. Dari lubang yang bentuknya berbeda-beda itu, kita bisa melongok bagian dalamnya, yang berisi video dengan berbagai tayangan. Tayangan itu menggambarkan kesan-kesan sekilas tentang gairah, berahi, dan lambang-lambang seksualitas.

Kotak perak tersebut menunjukkan bahwa mode itu sebuah pilihan yang sangat bebas. Pengunjung dapat menengok setiap lubang serta merasakan sensasi dan pengalaman yang berbeda. ”Setiap sisinya mewakili masing-masing pilihan: feminin, maskulin, androgini, dan animal,” kata Jay.

Jay dan Stella terpilih mewakili seniman muda Tanah Air untuk terlibat dalam pameran ini. Seniman lain adalah Kiki Rizky, Erika Ernawan, Oscar Lawalata, Davy Linggar, Deden Hendan Durahman, Dita Gambiro, dan Ruangrupa. Mereka bergabung dengan Hussein Chalayan, Antonio Marras, Gaspard Yurkievich, Raf Simons, dan Michael Sontag, para perupa kontemporer Eropa yang karyanya turut dipamerkan dalam Dysfashional di Eropa.

Davy Linggar juga menampilkan karya lamanya, Pink Swing Park (2005), berupa sebuah rak meja kecil dengan lilin-lilin yang terus menyala dan lelehannya dibiarkan membeku di meja. Di latarnya ada sebuah foto yang menampilkan berbagai pose manusia yang mengingatkan kita pada karya kontroversial Linggar dan Agus Suwage di pameran CP Biennale 2005. Bedanya, semua gambar manusia pada foto dalam pameran kali ini bolong.

Dita Gambiro dan Deden Hendan Durahman menyajikan dua karya lama mereka. Dita memamerkan instalasi Mbak Yu dan Safety First, yang dibuat pada 2007. Mbak Yu berbentuk rangkaian tujuh sapu yang digantung di dinding dengan ukuran berbeda. ”Sapu mewakili peran domestik perempuan,” katanya. Sedangkan Safety First adalah rangkaian helm yang terbuat dari rambut sintetis, sanggul, aksesori rambut, dan rotan yang dipajang d atas meja putih. ”Helm lebih sebagai lambang perlindungan,” kata Dita.

Adapun Deden memajang dua foto yang dibuatnya pada 2008. Karya fotografi berukuran 120 x 250 sentimeter berjudul Corpus: Perspective I & II itu menggambarkan punggung seorang manusia yang melengkung simetris. Gambaran ini menjadi cermin pemikiran fundamental yang mengatakan bahwa mode dimulai dari titik nol: manusia dilahirkan tanpa pakaian dan kemudian ditutupi oleh mode serta menggunakan banyak elemen atau aksesori untuk memperkuat identitas mereka.

Luca Marchetti, yang bersama Emanuele Quinz menjadi kurator pameran ini, menjelaskan bahwa Dysfashional dirancang sebagai sebuah situs tempat pameran menjadi ruang eksperimen, sebuah tanah eksplorasi, baik untuk seniman maupun pengunjung. Dysfashional, menurut pria berkebangsaan Italia itu, tidak menyuguhkan mode dalam wujud pakaian dan sebagainya, tapi menunjukkan bahwa mode melampaui obyek yang menjadikannya materi. ”Mode adalah suatu sensibilitas yang tidak stabil,” ujarnya. Mode dalam pameran ini ditafsirkan dalam arti seluas-luasnya.

Bagi Quinz, Dysfashional, yang berasal dari budaya Eropa, telah melahirkan mode kontemporer yang mengandung konsep yang selalu membentuk perkembangan artistik. ”Konsepnya sangat sederhana, tapi rumit untuk dipahami,” ujarnya. Setiap seniman diberi kesempatan mengeksplorasi mode dari sudut pandangnya, dalam bentuk karya instalasi, fotografi, dan berbagai medium lain.

Tujuan proyek seni ini, ”Bukan untuk mendefinisikan mode, tapi untuk menekankan fenomena mode yang terutama amat penting dalam evolusi aliran-aliran kreatif baru,” kata Inda C. Noerhadi, kurator Galeri Nasional Indonesia.

Para seniman mencoba bergulat dengan tema dan tujuan pameran ini dan menghasilkan berbagai karya dengan rentang yang sangat luas. Kiki Rizky dan Erika Ernawan, misalnya, menyuguhkan perspektif mereka tentang mode lewat pentas video Let’s Talk About. Di video itu terlihat Kiki dan Erika terus mengoceh soal mode, tapi satu sama lain tidak nyambung. Erika berbicara soal sejarah mode, sedangkan Kiki membaca majalah mode secara tidak berurutan. ”Kami berusaha memahami mode dengan cara banal. Seperti menjebak diri dalam kenihilan. Berawal dari ketiadaan, berakhir pada ketiadaan pula,” ujar Kiki.

Dalam pandangan Amie Dicke dalam Effacement (2008), mode barangkali merupakan penyembuhan dan kekerasan sekaligus. Patung karyanya itu berupa lukisan wajah manusia yang penuh oleh paku-paku. Sedangkan Hussein Chalayan dalam Anaesthetics (2004) membayangkan mode sebagai sebuah laboratorium tempat orang masuk, mengenakan berbagai pakaian, dan merasakannya. Bahkan, di satu bagian, Chalayan menampilkan seorang gadis kecil yang berpakaian manis tapi kemudian mengangkat pistol dan seolah-olah menembak ke berbagai arah. Sementara itu, orang-orang dewasa menonton aksi si gadis di sebuah layar televisi.

Instalasi Project T701 karya Ruangrupa tampaknya memberi suasana segar dalam pameran ini. Instalasi itu sederhana saja, berupa kaus yang ditumpuk dan digantung di dinding. Kaus-kaus yang biasa digunakan anak muda itu sebenarnya biasa saja, tapi teks yang tercetak di kaus itu lucu-lucu, karena berupa pelesetan atau sindiran.

Nunuy Nurhayati, Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus