Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Psikorealisme ala Irfan

Sebuah pameran di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, layak ditengok. Berbicara tentang kekerasan dan kelembutan secara menarik.

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH helikopter Perang Vietnam, Sikorsky H-34 Choctaw milik Amerika Serikat, jatuh di hutan lebat. Tak jauh dari situ, dua sejoli sedang memadu kasih di atas sebatang pohon tumbang. Mereka dikelilingi sepasang rusa bertanduk rimbun, seekor gajah Afrika, dan harimau loreng yang rebah santai di rumput. Lukisan Land of Confusion itu membuka cerita tema pameran tunggal Mohammad Irfan di Galeri Soemardja, Institut Teknologi Bandung, yang berlangsung hingga 27 Mei 2011.

Dengan tajuk ”Pameranku di Soemardja”, pelukis yang bermukim di Yogyakarta itu membawa narasi tentang pertentangan: dunia dan surga, kebahagiaan dan duka, kekerasan dan kelembutan. Helikopter jatuh itu, misalnya, melambangkan tragedi di sisi kehidupan dua sejoli yang sedang berbahagia. ”Kita hidup selalu di dua sisi,” ujar seniman kelahiran Bukittinggi, 19 Oktober 1972, itu.

Pameran ini merupakan tonggak baru dalam karier kesenian Irfan. Sebelumnya, sebagian besar masa kariernya sejak 1994 dihabiskan dengan melukis abstrak minimalis. Ketika merasa mentok dan kesulitan membuat lukisan abstrak, mantan anggota kelompok Jendela itu melirik tema baru, yang diwujudkan dalam 11 lukisan bergaya surealis berukuran jumbo, rata-rata berukuran 4-6 meter persegi, dan empat patung.

Peralihan dari gaya abstrak itu sempat dibayangi ketakutan selama dua tahun. Awal perubahannya terjadi ketika ia membuat seri lukisan bersubyek utama kereta api pada 2008, yang cukup banyak disukai kolektor. ”Mungkin saat itu pas lagi terjadi ledakan di pasar seni rupa,” ujarnya.

Ia sempat berpameran tunggal di Beijing, Cina, pada 2008. Selanjutnya, ia mengolah tema keluarga. Sosok Irfan dengan istrinya, Miming Amira, bersama kedua anak mereka dan senapan serbu M4 RIS muncul beberapa kali. Di dalam hutan, misalnya, pasangan itu menukar senjata dengan buket bunga. Adapun pada lukisan berlatar padang bunga, mereka berpose sambil mengangkat senjata itu ke arah langit.

Sepintas muncul kesan kekerasan atau potret sebuah keluarga teroris. Tapi Irfan membantahnya. Senapan itu hanya simbol pengganti golok agar terkesan modern. Di kampung halamannya, senjata tradisional itu biasa diberikan suami kepada istri untuk bertani sekaligus sebagai alat perlindungan diri.

Pameran ini juga menyajikan patung. Patung dari campuran poliester dan resin itu semuanya diwarnai putih. Dua sosok Irfan muncul setengah dada dengan kepala ditumbuhi mawar. Satu pohon dalam kondisi tegak dikerumuni kupu-kupu kuning, sedangkan pohon lain yang terkulai diserbu kepik-kepik berwarna merah. Namun wajah kedua patung yang tengadah itu tetap tersenyum dalam situasi menang atau kalah.

Di sudut galeri, Irfan menghadirkan patung They Can Because They Think They Can, berupa seorang perempuan dengan wajah ingin tahu dan agak takut, yang digandeng pasangannya yang sebagian besar tubuhnya telah masuk menembus dinding. ”Nyatanya, dalam hidup, kita sering kali tidak tahu ruang seperti apa yang kita tuju,” kata kurator pameran, Aminudin T.H. Siregar.

Ada pula patung tengkorak berjudul Ubersmench, yang berdiri tegak dengan bunga mawar di rongga perutnya, seperti mengantar ke alam lain di lukisan Perfect Heaven Space. Surga di lukisan itu bertaburkan kupu-kupu dan aneka burung, yang beterbangan di atas kepala personel The Beatles yang berseragam pemain marching band, Madonna, Charlie Chaplin, dan Elvis Presley. ”Saya ingin dihibur mereka di surga,” ujar Irfan.

Aminudin menyebut karya-karya Irfan kali ini sebagai psikobiografi, yang mengajak lebih ke wilayah perasaan atau kejiwaan daripada akal. Di Indonesia, posisi Irfan mewakili kecenderungan psikorealisme, yaitu kecenderungan pada realisme yang lebih menawarkan problem kejiwaan. ”Oleh sebab itu, Irfan tidak bisa dimasukkan ke dalam surealisme Yogyakarta, misalnya, yang pernah mewabah pada akhir 1980-an,” katanya.

Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus