FATWA, bagi Majelis Ulama Indonesia adalah beban tersendiri. Selesainya Munas MUI (yang ke-3, ditutup Menteri Agama Selasa malam pekan lalu) tidak berarti selesainya urusan fatwa - yang dewasa ini banyak dianggap simpang-siur dan karenanya perlu "dibereskan". Bahkan, seolah merupakan petunjuk adanya problem, Munasbaru-baru ini sampai-sampai tak mengeluarkan fatwa. Padahal, fatwa sudah merupakan "wajah MUI". Kalimat terpenting, dalam keputusan Munas itu mengenai fatwa, agaknya adalah: ". . . mengangkat dan mengumpulkan fatwa tingkat daerah untuk mencegah timbulnya perbedaan fatwa dan pendapat antara Majelis Ulama Indonesia dan Majelis Ulama Daerah ...". Dalam 10 tahun perjalanan MUI, terkenal dua kasus pemberian hukum yang berbeda-beda. Pertama, masalah perkawinan wanita hamil tanpa nikah. MU Ja-Bar, dalam kasus itu, telah membuat fatwa yang mengejutkan: menganggap tidak sah nikah seperti itu (TEMPO, 11 Februari i984). Padahal, dalam fiqih yang paling banyak dipakai di Indonesia sejak dulu, perkawinan karena "kecelakaan" itu sudah acap dilakukan, dan tak pernah jadi soal bagi seorang penghulu atau petugas KUA yang lain. MU Sum-Bar malahan sempat membuat fatwa yang memperkuat hukum yang sudah berlaku itu. Perbedaan itu menyebabkan MUI mengangkat kasusnya ke dalam Rakernas tahun lalu, dan di situ hampir semua anggota Komisi Fatwa yang ikut serta berbeda pendapat dengan pihak Ja-Bar. Tapi, "Kalau MUI mau mencabut fatwa itu, sebaiknya jangan diumumkan - sebab akan menumbuhkan dampak negatif terhadap moral." Ini kata kata K.H. EZ Muttaqien, almarhum, ketua MUI dan ketua umum MU Ja-Bar saat itu. Pandangan seperti yang dipegang Ja-Bar, yang kebetulan pandangan mazhab Hanbali, bahkan pernah dipeluk Almarhum Buya Hamka pada tahun-tahun 70-an. Dan, bagai polemik di TEMPO yang tumbuh antara Hasbullah Bakry dan pihak, pembela pendapat itu, waktu itu pun polemik - atau sanggahan -muncul dari K.H. Nasaruddin Latif dari Departemen Agama. Menurut Nasaruddin betapa tak adilnya agama ini: membiarkan wanitanya menanggung beban derita selama sembilan bulan dan membiarkan si laki-laki melepas tanggung jawabnya, tanpa nikah. Akhirnya, dengan jujur diakui Buya Hamka bahwa pandangannya keliru. Kasus kedua adalah masalah kodok. MU Sum-Bar berfatwa: untuk binatang itu tak ditemukan dalil pengharamannya. MU NTB sebaliknya: dengan yakin mengharamkan hewan yang hidup di dua tempat itu. Lalu bersamaan dengan kehendak pemerintah untuk mengekspor kodok, MUI mencoba mempertemukan kedua pendapat. Untuk itu, semua pihak diundang, malah juga beberapa ahli dari IAIN dan lain-lain. Keputusan: "Pada prinsipnya, kodok tidak halal, kecuali menurut pendapat Imam Malik." Tapi kemudian muncul kehebohan baru, malah ada protes resmi dari MU DKI yang dulu ikut hadir. Masalahnya, putusan yang dikeluarkan MUI kemudian sedikit berbeda. MUI menyatakan adanya dua pendapat - yang menghalalkan dan mengharamkan itu - dalam nada yang seimbang malah secara eksplisit menyatakan halalnya budi daya kodok. Padahal, "Kalau sudah diputuskan haram memakannya, budi dayanya juga haram," kata Ghazali Sahlan, MU DKI. Menurut Ghazali, putusan pengharaman itu lebih kuat - mengingat hanya Imam Malik yang membolehkan. Sedangkan mazhab Malik termasuk mazhab pertama yang tumbuh pada masa yang belum mengenal (belum populer benar - Red.) usaha penilaian hadis. Lepas dari bantahan yang mungkin diberikan kepada jalan pikiran Ghazali -misalnya dari kalangan Persis, yang berpendapat seperti Imam Malik justru di masa sekarang (tanpa mengikatkan diri pada Malik) dan justru dengan bekal sikap tertentu dalam hal hadis, bagi MUI sudah cukup layak untuk hanya melihat sahnya dua pendapat itu sendiri, sebagai pendapat - kata K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L., ketua Komisi. Sedangkan soal budi daya, tidak semestinya orang mengikuti kaidah seperti yang dikemukakan Ghazali. Dalam mazhab Syafi'i sekalipun, budi daya bukan masalah. "Kalau budi daya tidak boleh, 'kan kebun binatang (yang penuh binatang yang tak halal dimakan) juga dilarang?" katanya. Adapun yang menjadi dasar keinginan mereka yang gandrung "mempersatukan" fatwa adalah ketakutan kalau-kalau terjadi kebingungan di kalangan umat. Apalagi, sejalan dengan UU Keormasan yang sudah diterima, hubungan MUI dengan MU-MU tidak lagi hanya konsultatif. Bahkan MU sendiri sudah tak ada. Yang ada: MUI Pusat, MUI wilayah, dan seterusnya. Toh para pimpinan M-UI (pusat), yang baru diangkat, belum kelihatan bulat benar pada soal apakah fatwa, karena kesatuan organisasi, lalu benar-benar harus satu - hal yang bisa terjadi pada organisasi yang berdasarkan satu aliran, tapi tidak pada yang antar aliran seperti MUI. Karena itu, sambil menunggu rapat-rapat MUI lebih lanjut, apa yang terdengar akan dilakukan organisasi itu baru terbatas pada usaha mengangkat fatwa-fatwa yang pernah ada sehingga tak terjadi ulangan fatwa antardaerah. Juga membedakan mana yang layaknya difatwakan MUI Pusat dan mana yang MUI Daerah--hal yang hanya lebih mudah secara teoretis. Musthafa Helmy Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini