SEKITAR pukul enam pagi ia bangun tidur. Langsung minum kopi dan mengisap rokok. Dengan tetap bersarung dan berkaus kutang, ia lalu berjongkok di halaman rumah sambil tangan kirinya yang penuh makanan ayam dijulurkan. Dan puluhan ayam antre mematuki makanan dari tangannya. Itulah Fuad Hassan, 56, menteri P & K yang baru, yang dilantik Selasa pekan ini, di Istana Negara. Orang yang santai, penuh humor, dan tak menyukai acara formal. "Benar, saya baru diberi tahu tadi malam. Jadi, bukan saya merahasiakan nya. Dan saya juga kaget, kok hari ini sudah disiarkan pers," kata Fuad Hassan kepada peneleponnya, Jumat malam pekan lalu di rumah Kompleks Perumahan Sekretariat Negara. Jawaban itu yang sering diucapkannya kepada para penelepon yang hampir tiap dua menit pasti ada malam itu. Fuad tampaknya repot menjawab ucapan selamat dan juga pertanyaan teman-temannya, mengapa mereka tak diberi tahu peristiwa penting itu. "Sebab, Kamis paginya saya masih mengajar di UI. Baru malam Jumat saya dipanggil Presiden, dan sekitar satu jam saya di kediaman Presiden di Cendana," tuturnya. "Dan sungguh, ya baru malam itu saya diminta jadi menteri." Lalu ia kembali mengisap rokoknya, Gudang Garam filter. Guru Besar Psikologi UI, bapak dua anak, dosen yang akrab dengan mahasiswa tak mengherankan bila banyak sahabatnya. Di rumahnya, Minggu yang lalu, penuk karangan bunga. "Saya hitung ada 87 kiriman bunga," kata Nyonya Fuad Hassan. "Ini namanya baru sesuai dengan nama jalan rumah ini, Taman Anggrek," sahut Fuad. Dan Fuad tak berubah. Senin pekan ini hari terakhir berkantor di Badan Penelitian dan Pengembangan Deplu, ia jalani seperti biasa. "Dia itu seorang humanis, kadang emosional, tapi cepat menaruh kasihan kepada orang lain," tutur Budi Matindas, bekas mahasiswa Fuad. "Dan ia tak peduli dengan statusnya sebagai atasan." Misalnya ketika mobil Enoch Markum, ketua Jurusan Psikologi Sosial UI, mogok, dan kebetulan Fuad lewat, yang belakangan itu lalu turun, ikut mendorong mobil mogok. Menjelang pukul setengah sepuluh, Fuad masih berkaus kutang dan bercelana panjang krem. Baru beberapa saat menjelang berangkat ia mengenakan baju "seragam"nya, yaitu baju putih lengan pendek. Dan dengan santainya, di ruang tamu itu pula, ia merapikan dandanannya, memasukkan bagian bajunya ke dalam celananya. "Rasanya, pas benar memakai baju ini," kata Fuad. "Boleh tidak, ya, kalau sudah bekerja sebagai menteri tetap berpakaian seperti ini?" Biasanya, untuk pertemuan resmi Fuad mengenakan setelan jas dan dasi. "Saya cuma punya sebiji baju safari, dan jarang saya pakai." Ia pernah mau melanggar kebiasaannya, gara-gara melihat orang berbaju biru dan menurut penglihatan Fuad orang itu jadi sangat simpatik. Tapi dengan baju birunya ia jadi bahan ejekan, teman-temannya, dan hanya sekali itulah baju biru itu ia pakai. Dari rumah, Senin pagi itu, Fuad langsung ke Jalan Sisingamaraja, tempat kantornya berada. Ia berkisah: "Saya ini kena tiga-S. Artinya, dari Sisingamaraja, kantor Badan Penelitian dan Pengembangan Deplu, kemudian saya dengar desas-desus saya mau di-Salemba-kan, diangkat jadi rektor UI. Eh, tahu-tahu malah di-Senayan-kan, disuruh jadi menteri P & K." Di kantor itu Fuad tak lama. Ia menerima beberapa tamu dan mengecek acara hari itu. Sebelum berangkat ke Bappenas untuk berkonsultasi dengan Widjojo Nitisastro, bekas ketua Bappenas dan menteri ekuin, ia sempat membuka almari di kantornya. "Wah, apa bisa dibereskan hari ini, ya." Soalnya, Selasa esoknya, ia sudah dilantik, dan tentunya akan langsung bertugas di Departemen P & K di Senayan. Bagi Sekretarisnya di Badan Penelitian dan Pengembangan Deplu itu, Fuad bukan bos sebagaimana lazimnya atasan. "Bapak tak pernah marah, orangnya suka melucu," tutur sekretaris itu. "Kalau saya berbuat kesalahan, beliau cuma bilang, tidak apaapa, salah itu biasa." Sebelum keluar dari ruangan, Fuad masih sempat membubuhkan tanda tangan pada map kuning bertuliskan "RHS", rahasia. "Ini isinya kawat sandi, jangan ikut 'ngintip," katanya kepada warrawan TEMPO yang mengikutinya. Lalu mobil Ford Cortina biru meluncur ke Bappenas di Taman Surapati, Jakarta Pusat, sekitar 5 km dari Sisingamaraja. Konsultasi dengan Widjojo berlangsung tak kurang dari tiga jam. Sepulangnya, ia masih ada janji dengan ketua Bappenas yang sedang merangkap menteri P & K ad interim, J.B. Sumarlin, untuk bertemu malam harinya sekitar pukul 19.00. Sekitar pukul 15.00 Fuad sudah kembali ke Sisingamaraja. Dan tepat pukul 16.00 Fuad meluncur pulang. Selama itu, selain rokok dan kopi tak ada sesuatu yang lain yang disantapnya. "Lho, saya ini cukup dengan rokok dan kopi," katanya. Di mobilnya memang selalu tersedia secangkir kopi. "Kebiasaan buruk saya itu banyak." Dan yang disebutnya kebiasaan buruk itu ternyata cuma merokok, minum kopi, dan bergadang. Tapi lanjutnya, "Ketika masih di SMP II, Solo, saya pernah menjual burung dara entah kepunyaan siapa, dan uangnya saya belikan lukisan potret Beethoven." Fuad lahir di Semarang, 26 Juni 1929. Menamatkan SD dan SMP di Solo, ia lalu pindah ke Surabaya. "Dulu dia jago pegang tambur bila ada pawai sekolah," tutur Umar Kayam, budayawan yang ketika kecil ternyata berteman dengan Fuad di Solo. Menurut Kayam, rasa humor Fuad memang tinggi. "Anak saya yang kuliah di Psikologi UI sebelum ditesnya malah diajak cerita macam-macam tentang masa kecil saya bersamanya. Yang mencuri pisang di pasar, makan di warung ambil makanan tiga bayar cuma satu, atau mencuri bel sepeda di pasar Triwindu, tempat pedagang onderdil sepeda," cerita Kayam. Di Solo Fuad mengaku bisa keluar masuk rumah wali kota Solo dengan leluasa, bahkan bisa makan pisang goreng dan minum kopi. "Saya selalu bilang kepada penjaga rumah itu, saya masih saudaranya Pak Sjamsurizal, wali kota itu," katanya. Ketika hal itu ketahuan Nyonya Sjamsurizal, justru mereka lalu jadi teman akrab sampai sekarang. Dengan cara membolos sekolah, di Solo ia menipu ayahnya, Ahmad Hassan, sekadar agar bisa ikut main musik di RRI Surakarta. Fuad pencinta biola sejak kecil. Ayahnya, seorang akuntan kantor pajak, setelah tahu bahwa anak pertamanya suka main musik, cuma bilang, "Cita-cita apa saja baik, asal jangan setengah-setengah," tutur Fuad menirukan bapak empat anak itu. Karena itu, setelah lulus SGA di Surabaya, Fuad pergi ke Jakarta untuk mengikuti tes belajar musik ke Roma, Italia. Ini terjadi pada 1950. Tapi seorang temannya di Jakarta bilang, kehidupan seorang seniman musik itu suram. Ternyata, pemuda bandel dan suka melucu ini takut menjadi suram. Ia urung ke Roma, lalu masuk Fakultas Psikologi UI, yang dulu masih bernama Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran. Pada 1958 ia menyandang gelar sarjana psikologi. Fuad, meski mengesankan seorang yang santai dan semaunya, bagi Enoch Markum, ketua Jurusan Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UI, adalah "orang yang tegas dan konseptual". Maksudnya, Fuad selalu bicara dengan definisi yang tegas. Misalnya bila bercerita tentang merpati, ia mula-mula akan mendefinisikan merpati itu apa, jadi merpati berbeda dengan mesin. Cara berpikir seperti itulah agaknya yang membuat Selo Soemardjan, guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, mengomentari disertasi Fuad Hassan sebagai "sangat ilmiah". Artinya, "sulit dipahami". Waktu itu, 1967, seluruh hadirin di Aula Fakultas Kedokteran UI yang menghadiri promosi doktor psikologi pertama di UI meledak tawanya. Disertasi itu sendiri, yang berjudul Neurosis sebagai Konflik Existensial, tentulah bukan naskah humor. Tapi jauh dari "sulit dipahami" adalah cara Fuad memberi kuliah. Menurut Enoch, Fuad suka sekali menambah cerita-cerita dalam kuliahnya. Misalnya, ketika menerangkan perbedaan persepsi tujuan hidup, Fuad berkisah tentang seorang Mexico yang suka tidur pulas sambil menyembunyikan kepalanya di balik sombreronya. Datang seorang Amerika menanyai si Mexico mengapa kok tidur. Jawabnya, karena ia tak punya pekerjaan. Si Amerika menawari pekerjaan, dan ditanggung penganggur itu bakal cepat kaya, bisa makan enak. Lalu tanya orang Mexico itu lagi: sesudah kaya dan makan enak, terus bagaimana. Terus bisa tidur enak, jawab si Amerika. Maka, sambil tersenyum si Mexico menjawab, tanpa kerja keras pun saya sudah bisa tidur enak. Dan ia pun kembali tidur. Tangkas berbicara, cepat menemukan akal, agaknya itulah yang mempertemukan Fuad dengan Tjiptaningroem, istrinya. Waktu itu Tjip bekerja di Perpustakaan Lembaga Pers, di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, sambil kuliah. Suatu hari datanglah seorang pemuda "yang manis dan ganteng" membawa biola. "Ia bilang memerlukan buku filsafat karangan Bertrand Russel," kata Tjip mengenang. Dari saat itulah Tjip tertarik dengan pemuda yang mengesankan itu, yang merupakan "perpaduan antara filsafat dan musik". Biola itu merk mahal, Stradivarius, kini disimpan di rak buku. "Itu jimat kami," kata Tjip pula. Mereka menikah pada 1957, dikarunia dua anak. Amris Fuad, yang baru saja menjadi sarjana ilmu politik hubungan internasional khusus mengenai Asia Tenggara dari Universitas Kent, Inggris. Yang kedua, perempuan, Ulfa, mahasiswi Jurusan Satra Prancis FS UI. Dan jangan berharap pernah mendengar kedua anak itu memanggil "bapak" kepada Fuad. "Fuad bagi saya dan adik saya lebih sebagai seorang sahabat. Kami memanggilnya hanya dengan menyebut nama," tutur Amris. "Kini agak risi juga memanggil hanya nama, terutama bila ada orang tua lain di dekat kami. Tapi, yah, sudah telanjur." Tentunya agak terasa aneh bila di antara tamu-tamu yang datang mengucapkan selamat kepada Fuad adalah Kiai Ichsan dari Jombang, Jawa Timur. Rombongan Kiai muncul di rumah Fuad Minggu malam yang lalu. Dan ketika mengantarkan pulang sampai ke luar rumah, Fuad berkali-kali bilang, "Mohon doa restu, Kiai." Tapi bagi Sarlito Wirawan, juga bekas murid Fuad, itu tidak aneh. "Pak Fuad itu orangnya religius," katanya. "Memang, ia tak pernah mengutip ayat-ayat Quran. Tapi bila membahas soal-soal pribadi dan keluarga, ia selalu mencarikan referensi keagamaan." Sarlito memang punya pengalaman khusus dengan Fuad, ketika yang pertama itu dalam proses menulis disertasi. Pembimbing Sarlito adalah Fuad, yang kala itu diangkat menjadi duta besar untuk Mesir. Maka, 1977, Sarlito pergi ke Kairo, dan selama dua minggu dikurung di kediaman Fuad. "Saya ini bila sudah pukul 20.00 pasti ngantuk, lalu pergi tidur," kata Sarlito. "Tapi di Kairo, karena promotor saya baru tidur bila sudah pukul 02.00 atau 03.00 dinihari, ya, saya ikut." Sebab, Fuad hanya bisa memberikan bimbingan waktu malam. Seorang sahabat dekat Fuad, sesama psikolog, adalah Nyonya Saparinah Sadli."Wah, tentu akan banyak hal yang harus dia benahi," kata Saparinah. "Saya merasa sulit memberikan komentar karena begitu dekat, sejak mahasiswa sudah akrab. Apa dia mampu apa tidak jadi menteri, yang penting berilah kesempatan dulu." Berada di dekat Fuad memang menyenangkan. Suasana jadi ramah, penuh tawa. Misalnya, ia selalu memanggil Pak Rebo, pesuruh di Fakultas Psikologi UI dengan nama akrab, Mr. Wednesday. Bagi orang yang baru pertama kali mendengar Fuad memanggil Pak Rebo, pasti terpingkal-pingkal. Fuad memang suka kumpul-kumpul. Rumahnya hampir tak pernah sepi. Ia pun suka mengadakan acara "makan malam ganti tanggal". Artinya, yang diundang tak boleh pulang sebelum pukul 00.00. Acara: ngobrol atau bilyar - kegemaran lain Fuad selain menggesek biola. Adalah Budi Matindas, bekas mahasiswa Fuad, yang agak merasa khawatir dengan jabatan baru Fuad. "Dia memang bisa tertib dengan rencana pribadinya," tutur Matindas kepada Yulia S. Madjid dari TEMPO. "Tapi sejauh yang saya tahu, Fuad lebih berbakat sebagai konsultan daripada orang lapangan." Maksudnya, lelaki dengan tinggi 177 cm, berat badan 69 kg, dan pandai bermain sulap itu, "Kurang bisa memberikan perintah, jadi komandan." Di hari setelah pelantikan, Selasa pekan ini di Istana Negara, Fuad dan istri agak kaget. Mereka berangkat dari rumah dengan mobil pribadi. Begitu pulang, Volvo B 34 baru, mobil dinas menteri P & K, sudah menunggu. Dan terpaksa menteri baru dan istri masuk mobil dinas. "Waduh, sopir saya nanti bagaimana," bisik Nyonya Fuad, dosen filologi di FS UI. Bambang Bujono Laporan A. Luqman & Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini