Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gms: gerakan minum susu

Ada tindakan pabrik susu yang membuang produksinya yang masih segar karena sulit pemasaran. untuk penang gulangannya perlu menggalakkan kampanye konsumsi susu di masyarakat. juga dilakukan di as & belanda.

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

got my hair, got my head got my brains, got my ears got my liver, got my blood i've got live, got my freedom yea . . . i got milk, i got live dari lagu iklan US Milk Marketing Board GWENDY, anak saya, terkejut melihat foto empat kolom di Kompas: beberapa truk tangki susu sedang berderet membuang 20 ribu liter susu segar ke selokan, di depan sebuah pabrik susu kental manis di Cijantung. Sebuah show of force yang sungguh mengerikan. Sebuah unjuk perasaan yang sungguh tidak berperasaan. Lalu anak saya pun protes. Saya selalu mengomel kalau ia menyisakan susunya. Tetapi saya tidak mengomel ketika 20 ribu liter susu dibuang. Kepala saya pening. Ini memang pelanggaran besar terhadap semboyan kultura-edukatif yang mulai kehilangan gaung. Sejak kecil kita telah ditanami konsep untuk tidak menyia-nyiakan makanan. Anak belum boleh bangkit dari meja makan sebelum butir nasi terakhir bersih dari piringnya. "Dewi Sri nanti akan menangis," kata nenek. Dan sekretaris kami pernah pontang-panting mencari panti asuhan untuk menyerahkan kelebihan makanan pesta. Siapa pun yang telah dididik van huis uit untuk tidak menyia-nyiakan makanan, pasti teriris hatinya melihat peristiwa pembuangan susu. "Kenapa mereka tidak memanggil saja penduduk setempat untuk membawa panci atau botol, dan membagi susu dengan cuma-cuma?" tanya istri saya. "Ya, mungkin penduduk sekitar susu tidak doyan susu." Saya mencoba tidak acuh. "Tetapi banyak sekolah dan panti asuhan di sekitar situ, yang pasti bisa membagikannya!" Ya, memang bukan soal gampang. Kalau segelas susu seperempat liter, akan diperlukan 80 ribu orang masing-masing minum segelas untuk menghabiskan jumlah yang dibuang hari itu saja. Padahal kejadian itu sudah beberapa hari terjadi. Sayang, kampanye pemilihan umum sudah lewat. Kalau tidak, pasti ada kontestan yang mau menampung. Tetapi kejadian di bulan Juli itu memang tidak mempersoalkan bagaimana menyelamatkan kelebihan susu. Membagikan susu secara gratis kepada sekolah dan panti asuhan hanya akan menambah kerja bukan? Lagi pula tidak akan ada kesan dramatis. Padahal jelas, dramatisasi dan demonstration effect inilah yang tampaknya menjadi tujuan exercise itu. Tak urung Bulog pun bangkit. Menteri Koperasi Bustanil Arifin angkat bicara: "Tindakan paling baik untuk memecahkan masalah persusuan sekarang ini adalah dengan pemberian kekuasaan kepada Bulog untuk bertindak sebagai importir tunggal susu bubuk kebutuhan dalam negeri. Pabrik-pabrik susu nantinya akan memperoleh jatah susu dari Bulog." Nah, kekuasaan mulai dibicarakan. Ini memang khas Indonesia: semua persoalan yang timbul selalu ditarik ke atas secara vertikal. Nanti persoalan yang sama, berdasar asas pemerataan, akan diturunkan lagi ke bawah secara vertikal pula. Seperti mainan yo-yo. Padahal pembuangan susu seperti ini bukan kejadian perama. Tahun lalu Pujon, dekat Malang, pun telah menjadi ajang pertumpahan susu -- tetapi ternyata belum membuat kita menemukan formula ampuh untuk memecahkan masalah. Meminjam istilah Almarhum Pak Sarino, "Kita ini salah hitung, atau salah berpikir?" Salah hitung tentu tuduhan yang akan menyinggung perasaan nasional kita. Kalkulator dengan baterai tenaga surya yang berukuran setipis kartu nama sudah tidak merupakan barang asing -- tukang kredit yang keluar-masuk kampung pun sudah punya. Jadi, salah berpikir? Barangkali. Kalau cukup rendah hati, mungkin kita berani mengakui bahwa kita telah keliru menyiasati masalah ini. Siapa sebenarnya konsumen susu? Bukan pabrik susu, tentunya. Tetapi kenapa pabrik susu yang jadi sasaran tuduhan, ketika susu perahan masyarakat tidak bisa ditampung? Mengapa tidak ada usaha untuk lebih banyak menjual susu segar kepada masyarakat sebagai the end user? Di tahun 1960-an, ketika Boyolali menjadi milk centre dan mengalirkan produk susu segar dengan melimpah, pabrik pengolahan susu yang berskala besar seperti Indomilk, Frisian Flag, dan lain-lain belum lagi ada. Tetapi kenapa ketika itu tidak terdengar isu pembuangan susu? Waktu itu, di sepanjang jalan kota-kota di Jawa Tengah, bermunculan tenda-tenda dan kios-kios susu segar. Berbagai macam kreativitas muncul untuk menyajikan susu sesuai dengan lidah masyarakat -- ada yang dicampur kopi, ada yang dicampur cokelat. Namanya pun di buat seeksotis mungkin: ada yang menawarkan 'susu harimau', campuran susu, madu, telur. "Khasiatnya agar pria yang minum bisa perkasa seperti harimau," kata yang punya warung. Penggemarnya antara lain . . . tukang becak. Sudah kehilangan kreativitaskah kita? Produksi susu sapi telah kita tingkatkan, tapi kenapa justru kita makin tergantung pada daya serap pabrik besar? Sekali lagi tampak kekeliruan orientasi. Kita selalu bicara tentang peningkatan produksi. Tetapi bila tiba giliran membicarakan konsumsi, kita tersipu-sipu. Kampanye ASI, air susu ibu, telah cukup berhasil mengembalikan payudara ibu ke mulut-mulut kecil yang berhak. Tidak dapatkah kita galakkan kampanye meningkatkan konsumsi ASS, air susu sapi? Tidak untuk sapi, tentu. Tapi tengoklah angka kematian yang cukup tinggi pada anak balita. Statistik PBB menunjukkan harapan hidup tiap 100 bayi hanya 46 pada laki-laki dan 48 pada wanita. Penyebab terbesar: rendahnya tingkat gizi. Di Amerika Serikat saja, yang masyarakatnya menyadari pentingnya susu, tidak henti-hentinya dikampanyekan gerakan minum susu. Lagu yang dikutip di atas merupakan pengiring iklan televisi dan radio mereka. Di surat kabar dan majalah mereka iklankan resep-resep masakan dan minuman dari bahan susu. Pengiklannya bukan pabrik susu, tapi sebuah dewan semacam koperasi yang menghimpun seluruh pemerah susu US Milk Marketing Board. Juga di Australia -- The Dairy Board. Di Negeri Belanda pun demikian. Tidak hanya susu, tapi juga produk hasilan susu lainnya seperti, yoghurt, mentega, dan keju. Kampanye makan tosti, misalnya -- roti berisi ham dan keju yang dipanggang, resep Yunani. "Resep Yunani, Rasa Belanda," begitu tulis iklannya. Maka di stasiun tosti jadi sarapan yang palin laris. Di rumah orang membuat tosti sebelum ke kantor atau sekolah. Alhasil Belanda tidak terlalu pusing mengekspor keju. Kita sering sinis menanggapi orang kaya yang mandi susu. Sebuah lembaga membuat riset yang seolah memberi kesan bahwa susu kaleng tidak pantas dibeli. Tetapi sudah sipkah kita dengan alternatif? Jangan salahkan pabrik susu melulu. Mungkin perlu slogan begini: "Memasyarakatkan susu dan menyusukan masyarakat".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus