got my hair, got my head
got my brains, got my ears
got my liver, got my blood
i've got live, got my freedom
yea . . . i got milk, i got live
dari lagu iklan US Milk Marketing Board
GWENDY, anak saya, terkejut melihat foto empat kolom di Kompas:
beberapa truk tangki susu sedang berderet membuang 20 ribu
liter susu segar ke selokan, di depan sebuah pabrik susu kental
manis di Cijantung. Sebuah show of force yang sungguh
mengerikan. Sebuah unjuk perasaan yang sungguh tidak
berperasaan.
Lalu anak saya pun protes. Saya selalu mengomel kalau ia
menyisakan susunya. Tetapi saya tidak mengomel ketika 20 ribu
liter susu dibuang.
Kepala saya pening. Ini memang pelanggaran besar terhadap
semboyan kultura-edukatif yang mulai kehilangan gaung. Sejak
kecil kita telah ditanami konsep untuk tidak menyia-nyiakan
makanan. Anak belum boleh bangkit dari meja makan sebelum butir
nasi terakhir bersih dari piringnya. "Dewi Sri nanti akan
menangis," kata nenek. Dan sekretaris kami pernah
pontang-panting mencari panti asuhan untuk menyerahkan kelebihan
makanan pesta.
Siapa pun yang telah dididik van huis uit untuk tidak
menyia-nyiakan makanan, pasti teriris hatinya melihat peristiwa
pembuangan susu. "Kenapa mereka tidak memanggil saja penduduk
setempat untuk membawa panci atau botol, dan membagi susu dengan
cuma-cuma?" tanya istri saya.
"Ya, mungkin penduduk sekitar susu tidak doyan susu." Saya
mencoba tidak acuh.
"Tetapi banyak sekolah dan panti asuhan di sekitar situ, yang
pasti bisa membagikannya!"
Ya, memang bukan soal gampang. Kalau segelas susu seperempat
liter, akan diperlukan 80 ribu orang masing-masing minum segelas
untuk menghabiskan jumlah yang dibuang hari itu saja. Padahal
kejadian itu sudah beberapa hari terjadi. Sayang, kampanye
pemilihan umum sudah lewat. Kalau tidak, pasti ada kontestan
yang mau menampung.
Tetapi kejadian di bulan Juli itu memang tidak mempersoalkan
bagaimana menyelamatkan kelebihan susu. Membagikan susu secara
gratis kepada sekolah dan panti asuhan hanya akan menambah kerja
bukan? Lagi pula tidak akan ada kesan dramatis. Padahal jelas,
dramatisasi dan demonstration effect inilah yang tampaknya
menjadi tujuan exercise itu.
Tak urung Bulog pun bangkit. Menteri Koperasi Bustanil Arifin
angkat bicara: "Tindakan paling baik untuk memecahkan masalah
persusuan sekarang ini adalah dengan pemberian kekuasaan kepada
Bulog untuk bertindak sebagai importir tunggal susu bubuk
kebutuhan dalam negeri. Pabrik-pabrik susu nantinya akan
memperoleh jatah susu dari Bulog."
Nah, kekuasaan mulai dibicarakan. Ini memang khas Indonesia:
semua persoalan yang timbul selalu ditarik ke atas secara
vertikal. Nanti persoalan yang sama, berdasar asas pemerataan,
akan diturunkan lagi ke bawah secara vertikal pula. Seperti
mainan yo-yo.
Padahal pembuangan susu seperti ini bukan kejadian perama.
Tahun lalu Pujon, dekat Malang, pun telah menjadi ajang
pertumpahan susu -- tetapi ternyata belum membuat kita menemukan
formula ampuh untuk memecahkan masalah. Meminjam istilah
Almarhum Pak Sarino, "Kita ini salah hitung, atau salah
berpikir?"
Salah hitung tentu tuduhan yang akan menyinggung perasaan
nasional kita. Kalkulator dengan baterai tenaga surya yang
berukuran setipis kartu nama sudah tidak merupakan barang asing
-- tukang kredit yang keluar-masuk kampung pun sudah punya.
Jadi, salah berpikir? Barangkali. Kalau cukup rendah hati,
mungkin kita berani mengakui bahwa kita telah keliru menyiasati
masalah ini.
Siapa sebenarnya konsumen susu? Bukan pabrik susu, tentunya.
Tetapi kenapa pabrik susu yang jadi sasaran tuduhan, ketika susu
perahan masyarakat tidak bisa ditampung? Mengapa tidak ada usaha
untuk lebih banyak menjual susu segar kepada masyarakat sebagai
the end user?
Di tahun 1960-an, ketika Boyolali menjadi milk centre dan
mengalirkan produk susu segar dengan melimpah, pabrik pengolahan
susu yang berskala besar seperti Indomilk, Frisian Flag, dan
lain-lain belum lagi ada. Tetapi kenapa ketika itu tidak
terdengar isu pembuangan susu?
Waktu itu, di sepanjang jalan kota-kota di Jawa Tengah,
bermunculan tenda-tenda dan kios-kios susu segar. Berbagai macam
kreativitas muncul untuk menyajikan susu sesuai dengan lidah
masyarakat -- ada yang dicampur kopi, ada yang dicampur cokelat.
Namanya pun di buat seeksotis mungkin: ada yang menawarkan 'susu
harimau', campuran susu, madu, telur. "Khasiatnya agar pria yang
minum bisa perkasa seperti harimau," kata yang punya warung.
Penggemarnya antara lain . . . tukang becak.
Sudah kehilangan kreativitaskah kita? Produksi susu sapi telah
kita tingkatkan, tapi kenapa justru kita makin tergantung pada
daya serap pabrik besar? Sekali lagi tampak kekeliruan
orientasi. Kita selalu bicara tentang peningkatan produksi.
Tetapi bila tiba giliran membicarakan konsumsi, kita
tersipu-sipu.
Kampanye ASI, air susu ibu, telah cukup berhasil mengembalikan
payudara ibu ke mulut-mulut kecil yang berhak. Tidak dapatkah
kita galakkan kampanye meningkatkan konsumsi ASS, air susu sapi?
Tidak untuk sapi, tentu. Tapi tengoklah angka kematian yang
cukup tinggi pada anak balita. Statistik PBB menunjukkan harapan
hidup tiap 100 bayi hanya 46 pada laki-laki dan 48 pada wanita.
Penyebab terbesar: rendahnya tingkat gizi.
Di Amerika Serikat saja, yang masyarakatnya menyadari pentingnya
susu, tidak henti-hentinya dikampanyekan gerakan minum susu.
Lagu yang dikutip di atas merupakan pengiring iklan televisi dan
radio mereka. Di surat kabar dan majalah mereka iklankan
resep-resep masakan dan minuman dari bahan susu. Pengiklannya
bukan pabrik susu, tapi sebuah dewan semacam koperasi yang
menghimpun seluruh pemerah susu US Milk Marketing Board. Juga di
Australia -- The Dairy Board.
Di Negeri Belanda pun demikian. Tidak hanya susu, tapi juga
produk hasilan susu lainnya seperti, yoghurt, mentega, dan keju.
Kampanye makan tosti, misalnya -- roti berisi ham dan keju yang
dipanggang, resep Yunani. "Resep Yunani, Rasa Belanda," begitu
tulis iklannya. Maka di stasiun tosti jadi sarapan yang palin
laris. Di rumah orang membuat tosti sebelum ke kantor atau
sekolah. Alhasil Belanda tidak terlalu pusing mengekspor keju.
Kita sering sinis menanggapi orang kaya yang mandi susu. Sebuah
lembaga membuat riset yang seolah memberi kesan bahwa susu
kaleng tidak pantas dibeli. Tetapi sudah sipkah kita dengan
alternatif? Jangan salahkan pabrik susu melulu.
Mungkin perlu slogan begini: "Memasyarakatkan susu dan
menyusukan masyarakat".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini