Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang menyebabkan semangat berkesenian di Yogyakarta terus menggelegak? Mungkin pada pameran Biennale Jogja X, yang berlangsung 10 Desember 200911 Januari 2010, bisa ditemukan jawabannya. Inilah satusatunya pameran seni rupa dua tahunan di negeri ini yang tak pernah jeda karena ketiadaan dana, atau birokrat kesenian yang malas, atau seniman yang bermental dilayani.
Di Yogyakarta, perupa Samuel Indratma tiap malam datang ke Taman Budaya. Dengan membiarkan rambut gimbalnya tergerai, tapi bergaya bak pelayan restoran, kepada siapa saja yang duduk di dekat sekretariat Biennale Jogja, dengan sopan ia menanyakan minuman yang mereka inginkan.
Setelah membuat kopi, teh, atau sekadar air putih, Samuel pun berganti peran. Sejumlah seniman sudah menantinya untuk mengkonsultasikan karya luar ruang yang akan mereka garap dalam biennale ini. Ada seniman street art yang masih belia, tapi ada juga pematung yang jauh lebih tua daripada Samuel, 35 tahun. ”Jabatannya keren sekarang: konsultan,” ujar Bambang Heras, pelukis dan kolega Samuel dalam kepanitiaan biennale. Jika konsultasi selesai, Bambang pun berteriak, menggoda: ”Antrean nomor lima!”
Hasilnya? Inilah pertama kalinya biennale Yogyakarta melibatkan ratusan karya luar ruang, baik berupa public art, performance art, maupun happening art. Belasan seniman street art membuat mural di dinding bekas Toko Progo, yang bertetangga dengan Taman Budaya. Ada sapu lidi berukuran jumbo dalam warna merah berdiri di trotoar sisi timur Plengkung Gading, sekitar tiga kilometer dari Taman Budaya, karya perupa Firman Jamil. Turis domestik berpose di patung gunting raksasa yang seolah menancap di aspal pojok Jalan Malioboro, atau potret wajah seniman legendaris berputar diterpa angin di Alunalun Utara persis di depan Keraton karya kelompok seniman dari Kulon Progo.
Perupa Eddi Prabandono mendirikan kloset duduk yang disapu warna kuning menjulang sekitar delapan meter di depan gedung kuno Bank Indonesia di Jalan P. Senopati. Di halaman bekas kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI di Gampingan, kelompok Sringgit membuat lukisan ilusif di atas lantai semen lukisan yang jika dilihat dengan mata burung tampak seperti anak tangga menuju ruang di bawah permukaan tanah.
Pemakai Jalan Malioboro dikejutkan oleh sekelompok orang berjalan dari arah selatan melawan arus lalu lintas ke arah utara menuju gedung DPRD. Biasanya siapa pun yang berdemonstrasi dengan sasaran gedung DPRD itu selalu mengikuti arus lalu lintas dari arah utara. Dalam happening art ini, perupa Arahmaiani menghadiahkan perangkap tikus kepada Wakil Ketua DPRD Provinsi. Peserta lain berteriak, ”Tikus, tikus.” Sembari menunjuk ke dalam gedung DPRD, Arahmaiani berujar, ”Tikusnya di dalam.”
Perupa Agung Kurniawan, yang biasa membuat karya grafis, mengerahkan 250 orang, termasuk aktor teater Butet Kartaredjasa rombongan yang membuat kaget polisi di perempatan Kantor Pos Besar. Kawasan ini dikenal dengan sebutan Yogyakarta Nol Kilometer. Mereka serempak menggeletak di trotoar bak orang mati selama enam menit dalam karya Enam Menit Senyap. Karya happening art ini untuk mengingatkan pengguna jalan bahwa ratusan orang tewas akibat kecelakaan lalu lintas setiap hari.
Yogyakarta makin terlihat sedang menggelar hajatan pesta seni rupa dengan reproduksi lukisan seniman masa lampau. Lukisanlukisan ini dihamparkan dalam ukuran raksasa di dinding gedung lawas bercorak kolonial milik Bank BNI.
Di dalam gedung, keriuhan lebih tertib. Ada empat venue yang dipakai untuk memamerkan karya 125 perupa, yakni Taman Budaya Yogyakarta, bekas kampus STSRI ASRI yang kini disulap menjadi Jogja National Museum, Sangkring Art Space milik perupa Putu Sutawijaya, dan gedung kuno milik Bank Indonesia.
Dengan tema yang dirumuskan dalam bahasa gadogado, Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa, Biennale Jogja X digarap istimewa. Selain organisasinya melibatkan struktur yang membengkak, pada kali inilah selama rentang 21 tahun penyelenggaraan pameran, digelar pameran arsip seni rupa dan pameran kelompok seni rupa yang pernah ada sejak 1960an.
Gerak kreatif itu melahirkan karya monumental yang dipilah tim kurator (Eko Prawoto, Hermanu, Samuel Indratma, dan Wahyudin) dalam kategori humanisme kerakyatan, humanisme universal, perlawanan terhadap kemapanan estetika, pergolakan antara budaya lokal dan global, dan seni rupa urban.
Bagi tim kurator, lima paradigma itu menjadi penanda zaman di jagat seni rupa Yogyakarta. Humanisme kerakyatan telah menandai semangat yang dominan di zaman Affandi, Hendra Gunawan, dan Sudjojono, yang merupakan generasi pemula seni rupa modern Indonesia hingga 1960an. ASRI, yang berdiri pada 1950an, tidak bisa tidak, juga membawa wacana itu, yang kemudian berhadapan dengan wacana modernisme yang menguat di Bandung. Tapi paradigma humanisme kerakyatan yang berbau politik ini masih muncul pada masa baru, yang diusung perupa Moelyono dan Dadang Christanto.
Represi politik rezim Orde Baru membuat arus besar seni rupa pada masa itu cenderung apolitis. Bentuk estetika dominan yang berkembang lebih mengarah ke semangat humanisme universal, antara lain dengan menguatnya seni abstrak dan dekoratif. Belakangan tesis humanisme universal ini digugat seniman generasi yang lebih muda lewat antitesis yang dikukuhkan Gerakan Seni Rupa Baru dan Seni Kepribadian Apa. Kecenderungan ini menghasilkan benturan dengan rezim politik.
Ketika ekonomi menjadi ideologi rezim politik sehingga hubungan dengan dunia luar lebih mudah pada 1980an, di satu sisi muncul perlawanan terhadap kemapanan estetika, yang melahirkan perupa semacam Eddie Hara, Heri Dono, dan Nindityo Adipurnomo, sedangkan di sisi lain timbul benturan antara budaya lokal dan global.
Paruh akhir 1990an ditandai dengan munculnya seni ruang publik, baik dengan semangat humanisme universal yang diusung kelompok Apotik Komik maupun dengan semangat humanisme kerakyatan yang diusung kelompok seniman kiri baru, Taring Padi. Seni ruang publik ini pada gilirannya menghasilkan gaya seni jalanan sebagai gejala budaya urban, yang dihasilkan perupa dari generasi Eko Nugroho dengan bentukbentuk figur komikal, hingga generasi yang lebih muda semacam Uji Handoko yang menggarap mural di seantero Kota Yogya dengan penanda ”love hate love”.
Di ruang pamer Taman Budaya tampak seniman senior berusia 50an semacam Ivan Sagito, Eddie Hara, Heri Dono, dan Dadang Christanto berusaha menunjukkan bahwa mereka masih ada di tengah perupa baru generasi seniman street art semacam Wedhar Riyadi yang baru berusia 20an dan secara agresif menorehkan debut mereka dalam dunia seni rupa. Ivan Sagito tampak berupaya menyegarkan kesan kuno karyanya yang bergaya surealis lewat karya patung berupa lima bentuk kotak dari perunggu. Dengan karya ini, misteri yang sureal berupa bentukbentuk figur surealis seperti disembunyikan dan hanya bisa diintip sebagian oleh penonton lewat rongga yang ada di setiap kotak itu.
Perupa Heri Dono, yang sebagian besar hidupnya dalam setahun habis untuk kegiatan seni rupa di luar negeri, tampil dengan kecerdikan sederhana, kecerdikan yang mampu menyita perhatian dan partisipasi penonton. Ia membuat anjungan mirip gazebo dengan empat bentuk periskop kapal selam menjulur dari atap. Dengan mengintip lubang di bagian pangkal periskop dari bahan paralon itu, penonton bisa menyaksikan diorama karya seni rupa yang pernah dibuat Heri Dono. Karya ini menjadi semacam arsip pribadinya.
Dadang Christanto, yang kini menetap di Australia, belum beranjak jauh dari karyanya yang dikenal selama ini, yang menggunakan idiom tanah. Ia mengirimkan foto dan video yang menggambarkan sekumpulan orang berlumuran lumpur dengan membawa potret orangorang yang dihilangkan oleh kepentingan politik. Adapun kawan seangkatannya, Eddie Hara, memboyong desain tato dari Swiss, tempat ia menetap sepuluh tahun belakangan ini. Desain tato itu berupa figurfigur imajinatif dan dua lukisan yang ia buat menjelang pembukaan biennale ini dengan memamerkan kemampuannya mengolah transparansi warna yang berlapislapis di atas kanvas.
Heri Dono dan Eddie Hara adalah perupa yang pada masanya bisa disebut perupa garda depan. Mereka mendobrak kemapanan estetika seniman generasi sebelumnya. Eddie pada 1980an menggelar happening art yang membuat orang terheranheran, ketika ia dan kawannya saling mengikat diri, berjalan dari satu tempat ke tempat lain di seputar Malioboro tanpa bicara selama 24 jam.
Sedangkan Heri Dono dan Dadang Christanto bersama sejumlah perupa muda lain menggelar pameran Binal Experimental Art sebagai tandingan atas kemapanan Biennale Seni Lukis Yogyakarta pada 1992. Dalam pameran, mereka menjungkirbalikkan persepsi masyarakat terhadap kemapanan seni rupa yang hanya mengizinkan seni lukis sebagai karya yang pantas dirayakan dalam biennale. Artefak sejumlah karya eksperimen masih bisa dilihat di gedung bercorak kolonial milik Bank Indonesia, dalam pameran arsip seni rupa yang digarap oleh lembaga arsip Indonesian Visual Art Archive. Misalnya Kuda Binal Heri Dono, karya seni pergelaran di Alunalun Utara Keraton Yogyakarta, atau Bebekbebek karya instalasi Harri Ong Wahyu.
Toh, kini Heri Dono, Dadang Christanto, dan Eddie Hara menjadi generasi perupa mapan di hadapan generasi perupa terbaru. Mereka kini bermainmain dengan medium agar tampak lebih segar. Ivan Sagito, misalnya, adalah sisasisa corak khas generasi perupa masa lalu yang mengagungkan aura dalam karya seni rupa, ketika kehalusan ekspresi, bahasa rupa yang njlimet, dan estetika yang tertib berhadapan secara diametral dengan karya yang digolongkan seni rupa urban yang terkesan seenaknya, tanpa beban auratik, tapi dengan penggarapan yang detail dan kemampuan teknik yang tinggi.
Tengoklah karya Yudi Sulistyo berjudul Candidate, berupa wujud mesin yang dihubungkan dengan kabel dengan dua bentuk kapsul yang mengapitnya. Di dalam kapsul berwarna biru kusam itu ada tengkorak manusia. Yudi, 37 tahun, membuat wujud mesin dan kapsul itu secara detail sehingga persis dengan mesin yang sudah berkarat dan kusam. Padahal ia hanya menggunakan materi karton. Sebelumnya, ia membuat karya tiga dimensi dari materi yang sama berupa citraan rongsokan pesawat terbang.
Periode akhir 1990an juga ditandai munculnya kembali gerakan kelompok perupa dalam lingkup lebih kecil berdasarkan kedaerahan. Yang cukup kuat gemanya adalah Kelompok Jendela, asal Sumatera Barat. Kelompok ini berhasil mengembangkan idiomidiom baru dan diterima pasar seni rupa. Karya Handi Wirman, misalnya, dengan eksplorasi bentuk yang tak biasa dihasilkan dengan teknik remehtemeh, seperti menjahit, membungkus, dan menggunakan bendabenda yang tak terpakai.
Muncul juga kelompok seni rupa multimedia Geber Modus Operandi, yang menggelar karya bertajuk Mystical Machine di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta sejak akhir 1999 hingga April 2000. Inilah pertunjukan seni rupa multimedia yang pertama dan belum ada lagi yang melakukannya. Kelompok itu pun seperti tidur hingga kini.
Di tengah keriuhan eksplorasi bentuk dan keramaian pasar, di satu ruang di bekas kampus STSRI ASRI ada tiga tengkorak kepala sapi mengambang di lumpur cokelat hamparan sawah buatan perupa Moelyono. Judulnya Senyari Bumi. Bumi Kari Senyari. Tim kurator mengkategorikan karya ini sebagai humanisme kerakyatan. Kelak generasi humanisme kerakyatan Moelyono akan menjadi sejarah dan digantikan generasi humanisme kerakyatan yang sama sekali berbeda.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo