Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tafsir Segar untuk Detektif Kesayangan Kita

Sebuah tafsir sosok Sherlock Holmes yang berbeda: lincah, kenes, dan gemar seni bela diri.

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Sherlock Holmes

Sutradara: Guy Ritchie
Skenario: Michael Robert Johnson, Anthony Peckham, Simon Kinberg
Penyusun cerita: Lionel Wigram, Michael Robert Johnson berdasarkan beberapa novel Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle
Pemain: Robert Downey Jr., Jude Law, Rachel McAdams
Produksi: Village Roadshow Pictures dan Warner Bros Pictures

Sherlock Holmes di dalam tubuh Robert Downey Jr.? Detektif Inggris abad ke-19 ciptaan Sir Arthur Conan Doyle yang berhidung lancip, bertopi, berjubah, rajin mengisap pipa tembakau? Detektif yang sesekali menghirup kokain dan heroin serta dianggap detektif paling jenius yang melahirkan cikal bakal forensik itu? Lalu Dr Watson yang gembil, yang terus-menerus mempertanyakan metode Holmes; satu sosok yang mewakili sosok pembaca itu diperankan oleh aktor seksi Jude Law? Hmmm….

Tapi ini karya sutradara Guy Ritchie, yang sebelumnya dikenal dengan film Lock, Stock and Two Smoking Barrels; Revolver; dan RocknRolla. Bersama satu tim penulis skenario Michael Ro­bert Johnson, Anthony Peckham, Simon Kinberg dan satu tim penyusun cerita, Guy menafsir ulang sosok detektif ini dan menggali kembali apa yang sebetulnya diinginkan Conan Doyle.

Bagi mereka yang membaca keempat novel dan rangkaian cerita pendek seri Sherlock Holmes mungkin sudah telanjur mendapatkan kesan bahwa Holmes adalah seorang detektif jenius yang serius dan dingin seperti halnya lelaki Inggris di zamannya.

Bagian inilah yang ingin dijungkirbalikkan oleh Ritchie. Film ini tidak hanya ingin menyajikan Holmes yang cerdas, teliti, dengan mata setajam elang dalam memecahkan kasus, tapi dia juga lelaki yang gemar berolah fisik. Di dalam ring tinju, Holmes mampu mengalahkan seorang lelaki bertubuh raksasa lebih karena siasat yang jitu daripada karena tumpukan otot. Conan Doyle memang pernah menyebut kecintaan Holmes pada seni bela diri, meski itu tak dijelajahi lebih lanjut oleh yang empunya cerita. Ritchie kemudian mencongkel sisi yang tak pernah diutak-atik sineas lain.

Watson digambarkan sebagai dokter yang bersiap akan menikah dengan Mary, tunangannya, sedangkan Holmes terus-menerus mengajak Watson dalam petualangannya menyusuri misteri Lord Blackwood, penjahat yang dituduh mempraktekkan ilmu hitam. Lord Blackwood (dengan penampilan Mark Strong yang lezat) dijatuhi hukuman gantung karena membunuh lima orang; tapi sebelum itu, dia berbisik kepada Holmes bahwa akan ada tiga orang lagi yang tewas meski dia sudah dihukum.

Tugas Holmes dalam film ini adalah mencari tahu bagaimana ketiga orang tersebut tewas satu per satu; dan bagaimana Blackwood yang sudah mati itu yang menyatakan dia mati adalah Dr Watson pula ternyata ”bangkit dari kuburnya”.

Kita tak akan menemukan keahlian Holmes membaca jejak kaki; atau sepatu yang penuh debu sehingga pelakunya pasti baru menginjak kawasan London tertentu atau segala cikal bakal ilmu forensik berdasarkan deduksi ala Sherlock Holmes klasik. Sesekali kita menikmati kecerdasan Holmes membedakan berbagai aroma kimia dan parfum perempuan; tapi Guy Ritchie mementingkan ”tanda tangan” sutradara dalam film ini: komedi yang cerdas. Suka atau tidak, Holmes menjadi sosok yang berbusa, cinta kehidupan, dan masih belum lupa akan perhatiannya yang mendalam pada Irene Adler (Rachel McAdams), satu-satunya perempuan yang dia anggap mampu mengimbangi kecerdasan dia.

Pilihan Ritchie untuk lebih menjelajahi ketergantungan Holmes kepa­da Watson (dan sebaliknya); serta perasaan Holmes terhadap Irene Adler (yang pada novel digambarkan sebagai pe­rempuan cerdas yang sudah bersuami) dan memasukkan dialog-dialog yang nakal itu membuat kita paham, sejak awal Ritchie lebih menggunakan sosok Holmes sebagai inspirasi. Para penggemar fanatik Conan Doyle akan menjerit, kehilangan Holmes, yang sudah terbangun dalam benak pembaca, diobrak-abrik oleh Ritchie.

Tapi tafsir adalah sebuah pekerjaan merdeka. Sejauh apa kita bisa menerima tafsir Ritchie? Robert Downey Jr. memang bukan seseorang yang pernah terbayangkan memerankan detektif langsing berhidung lancip itu; tapi sama seperti kerewelan orang terhadap Daniel Craig sebagai James Bond dulu, ternyata kita harus mengakui. Robert Downey Jr. meyakinkan kita untuk sebuah sosok baru: Holmes yang lincah dan segar di abad yang baru.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus