Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Merebut Kembali Ruang Publik

Mal-mal menawarkan kenyamanan yang tidak dijumpai di ruang-ruang terbuka publik. Diperlukan revitalisasi ruang publik.

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN seratusan unit pusat perbelanjaan di Jakarta, praktis orang-orang kelas menengah dan menengah atas kota ini tak perlu terbang ke Singapura untuk sekadar minum kopi. Pertumbuhan mal menakjubkan, kemampuan konsumsi lapisan masyarakat itu istimewa, dan ini berarti tidak ada lagi kebutuhan mereka yang bakal luput dari perhatian para pengusaha bisnis retail tingkat dunia itu.

Jakarta adalah patron bagi sebagian besar kota di daerah. Tapi, di antara demonstrasi konsumerisme yang dahsyat ini, sekonyong-konyong kita mendapati tiga kota menempuh jalan yang tak biasa dilalui kota-kota lain (meminjam istilah penyair Robert Frost: the road less travelled). Ketimbang mendirikan yang baru, mereka menemukan dan menggunakan ruang-ruang terbuka publik yang selama ini tersedia tapi terabaikan untuk mewujudkan gagasan kreatif.

Memakai ruas-ruas jalan dan koridor sungai, ketiga kota ini telah memainkan peran selaku produsen yang aktif, ketimbang konsumen yang pasif menyambut kehendak perusahaan-perusahaan retail itu. Di Jawa Barat, Bandung menyelenggarakan Festival Helar; di Jawa Timur, Jember melangsungkan Festival Fashion; dan di Kalimantan Timur, Samarinda mengadakan Festival Mahakam. Mereka kreatif, karena tak sekadar menghidupkan kembali tradisi yang sudah berakar, tapi juga menciptakan sesuatu yang baru.

Apakah ini memperlihatkan bahwa persaingan—boleh dikatakan pertarungan—ruang terbuka publik tak selalu berakhir dengan kekalahan ruang publik (ditinggalkannya ruang-ruang publik oleh masyarakat)?

Ruang terbuka publik—sebut saja ruas jalan, titik simpul kota (seperti taman, hutan kota, atau perempatan jalan), koridor sungai, ataupun tepian/batas (seperti pantai atau danau)—dan pusat perbelanjaan besar ibarat dua raksasa yang tidak akur: yang satu seakan memansukhkan yang lain. Dengan dana perawatan dan perhatian pemerintah daerah yang minim, ruang-ruang terbuka publik tidak lagi menarik hati. Melihat kenyamanan yang ditawarkan pusat-pusat perbelanjaan besar, otomatis masyarakat berpaling dari taman kota.

Dan lihatlah bagaimana mal-mal itu kemudian mengimitasi istilah yang biasa dipakai oleh ruang-ruang publik dengan sebutan plaza, square, bahkan town square. Tentu saja mereka tidak berhenti pada penamaan semata. Mal menyediakan diri untuk semua kegiatan, termasuk menjadi situs aneka aktivitas, dari festival makanan hingga lomba ketangkasan anjing dan kucing. Mal-mal telah menyerupai ruang publik, namun ada satu karakter ruang publik yang tidak dapat ditiru oleh pusat-pusat perbelanjaan yang agresif itu. Ia ruang terbuka dalam arti kiasan dan sesungguhnya: pengunjungnya berasal dari pelbagai kelas masyarakat.

Tak seperti mal, ruang publik tidak menyeleksi pengunjung secara halus. Ruang publik adalah bagian dari esensi demokrasi: tidak diskriminatif kepada siapa saja. Sayang sekali kalau pemerintah daerah mengabaikan aset yang sangat istimewa ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus