Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Hilang Kerajaan Tertelan Zaman

Ada 278 kerajaan di Indonesia pada 80 tahun silam. Hampir semua hilang akibat perubahan sosial dan pemerintahan.

10 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penobatan Raja Charles III membuat kerajaan kembali jadi perbincangan.

  • Indonesia memiliki 278 kerajaan dan aristokrasi pada pertengahan abad XX.

  • Sisa kerajaan terlihat dari bentuk kabupaten.

Penobatan Raja Charles III membuat perhatian dunia kembali tertuju pada kerajaan. Situs web ilmiah 360info, misalnya, membuat laporan panjang tentang peran kerajaan dalam masyarakat demokratis saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusantara pernah didominasi kerajaan. Bayu Dardias Kurniadi, peneliti sejarah dan politik dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan terdapat 278 kerajaan dan aristokrasi saat Jepang menginvasi Hindia Belanda pada 1942. Dalam beberapa dekade berikutnya, hanya tersisa Kesultanan Yogyakarta yang masih memiliki pengaruh politik. Sisanya, kalau tidak hilang, sekadar menjalankan tradisi nenek moyang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayu Dardias Kurniadi mengatakan penyebab utama keruntuhan kerajaan-kerajaan tersebut adalah pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10 Juli 1945 memilih bentuk negara republik ketimbang monarki. 

"Singkatnya, pendiri bangsa tak lagi menghendaki pemerintahan tradisional," kata Bayu Dardias kepada Tempo, Selasa, 9 Mei 2023. Hanya enam dari 61 peserta yang memilih bentuk monarki. "Mereka anggota keluarga kerajaan."

Sejumlah anggota keluarga kerajaan Gowa dan tokoh agama mengikuti peringatan Maudu Adaka Ri Gowa (Maulid di Gowa) di Balla Lompoa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 27 Oktober 2021. ANTARA/Abriawan Abhe

Pasca-proklamasi, kebanyakan raja memihak Belanda, yang datang untuk menguasai kembali Indonesia. Hanya segelintir yang berdiri bersama Sukarno dan Mohammad Hatta, di antaranya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat serta Kesultanan Gowa. Peran besar Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam Perang Kemerdekaan membuat pemerintah Indonesia memberikan keistimewaan kepada Yogyakarta, terutama dalam bidang politik, yaitu mempertahankan monarki mereka.

Sementara itu, kerajaan lain praktis tinggal nama. Bayu Dardias mengatakan warisan 277 kerajaan tersebut di antaranya adalah pembagian wilayah. Sebagian besar kabupaten di Indonesia dibentuk berdasarkan luas kerajaan-kerajaan lama. Contohnya, Kabupaten Gianyar dan Buleleng yang menempati bekas lahan kerajaan Gianyar dan Buleleng di Bali. "Itulah sebabnya bentuk kabupaten di Indonesia tak beraturan," ujarnya. Berbeda dengan, misalnya, Amerika Serikat dan Australia yang garis demarkasi wilayahnya cenderung lempang. Kabupaten melanjutkan bentuk wilayah swapraja pada zaman Hindia Belanda.

Pemerintah negara yang baru seumur jagung itu merangkul para raja, di antaranya menjadikan mereka kepala daerah. Raja Gowa XXXVI, Sultan Aiduddin, yang menyerahkan seluruh wilayah kerajaannya kepada republik, berbeda dengan Kesultanan Yogyakarta yang mempertahankan tanah mereka, diangkat menjadi bupati pertama Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi (saat itu baru ada delapan provinsi).

Seiring dengan berjalannya waktu, Bayu Dardias melanjutkan, banyak mantan raja yang mengundurkan diri dari jabatan kepala daerah. “Karena sebagai raja mereka biasa dilayani, sedangkan ketika menjadi bupati atau gubernur harus melayani,” ujar doktor ilmu politik lulusan Australian National University ini.

Kemunduran kerajaan-kerajaan di Nusantara juga disebabkan oleh berbagai faktor lain. Misalnya, Kesultanan Gowa takluk oleh Belanda lewat Ekspedisi Sulawesi Selatan pada 1905 dan menjadi daerah jajahan. Sedangkan kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Timur hancur ditelan Revolusi Sosial pasca-proklamasi.

Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, mengatakan Revolusi Sosial juga berkobar di Jawa Tengah. Solo dengan Kesunanan Surakarta Hadiningrat-nya sempat hendak dijadikan daerah istimewa seperti Yogyakarta. "Tapi dibatalkan setelah muncul gerakan anti-swapraja dan feodalisme," kata Sri Margana.

Faktor lain yang membuat kerajaan-kerajaan itu perlahan sirna adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Kekuasaan kerajaan diwariskan melalui garis keturunan sebagai hak penguasaan atas tanah. Hak itu tercabut lewat UU Agraria yang mengatur bahwa semua tanah swapraja diambil negara. Para bangsawan hanya boleh memiliki tanah seluas 5-7,5 hektare.

Istano Basa Pagaruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, 13 April 2022. ANTARA/Aditya Pradana Putra

Meski tak lagi memiliki pengaruh politik, para ahli waris kerajaan mempertahankan tradisi mereka. Kerajaan Pagaruyung, misalnya. Kesultanan di Sumatera Barat ini dihancurkan Belanda lewat Perang Padri pada abad XIX. Namun, hingga kini, mereka masih memiliki pemimpin adat, yaitu Sultan Muhammad Farid Thaib Tuanku Abdul Fatah, yang didaulatkan pada September 2018. 

Ikon mereka tak lain adalah Istana Pagaruyung di Kabupaten Tanah Datar yang juga menjadi ikon Sumatera Barat. Sutan Muhammad Yusuf Tuanku Mudo Rajo Disambah, anggota keluarga kerajaan Pagaruyung, mengatakan mereka masih menjalin hubungan baik dengan keturunan anggota kerajaan lain yang dulu berada di bawah kekuasaan Pagaruyung, yang terbentang hingga pantai timur Sumatera dan Tapanuli Selatan. "Setiap Kesultanan Pagaruyung buat acara, selalu ada utusan mereka yang datang," kata Yusuf kepada Tempo.

ILONA ESTERINA PIRI | FACHRI HAMZAH (PADANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus