Yazir Marzuki memotret 33 Candi dengan gaya dokumenter sejati. "Saya berusaha merekam keindahan," katanya. Tapi Yazir berhasil justru ketika membiarkan emosinya terbang lepas. FOTOGRAFER Amerika Garry Winogrand pernah berkata, "Saya memotret dunia untuk melihat seperti apa wajah dunia dalam foto." Winogrand, yang pada 1950 dan 1960 menemukan bahasa baru dengan kameranya, menyadari bahwa dunia realita dan dunia yang direkam oleh lensa tak selalu persis. Perbedaan tersebut umpama perbedaan antara sebuah wajah dan bayangannya dalam cermin: serupa tapi tak sama. Sekilas, pemikiran Winogrand bertentangan dengan mekanisme fotografi itu sendiri. Kamera diciptakan di akhir abad ke-19 sebagai instrumen yang dapat merekam benda dengan tajam dan akurat. Tak heran bila pada awalnya, obsesi fotografer sekadar memindahkan wujud-wujud dunia ke dalam bentuk film dengan setia. Yang baru disadari kemudian ialah bahwa lensa kamera sering mengacak obyek yang direkamnya. Seperti sebuah cermin, lensa kamera bisa menonjolkan sebuah ciri, hidung yang pesek atau kerut-kerut dahi, misalnya, sementara mengaburkan sifat yang lain. Di antara dua kutub ini dunia fotografi bergerak. Orang pun tak bosan-bosannya bertanya: apakah fotografi science yang serba persis atau seni yang terus bergerak? Karya-karya Yazir Marzuki yang digelar di Galeri Yasri, Jakarta 6-25 Juni, menjadi ilustrasi dari paradoks ini. Sesuai dengan judulnya, 33 Candi menampilkan foto-foto candi yang bertebaran di Pulau Jawa: dari megahnya Borobudur sampai reruntuhan Lor. Candi bukan hal yang asing bagi Yazir Marzuki. Pada 1956, ia membuat film dokumenter tentang Prambanan sementara Borobudur ditayangkan di televisi Belanda setelah memenangkan penghargaan Festival Film Asia pada 1978. Latar belakang pria kelahiran Rengat, Riau, ini memang seni dan film. Selain belajar di dua sekolah seni rupa tersohor- St. Martin School of Arts di London dan Academie des Beaux Arts di Paris- ia mendapat beasiswa dari Yayasan Rockefeller untuk menuntut ilmu di Universitas New York serta ikut latihan di Dewan Film Nasional Kanada. Pengaruh itu tampak dalam karya fotografisnya. Yazir memotret dengan gaya dokumenter sejati: langsung, tanpa dipoles, dan dingin. Kecenderungan ini semakin tegas mengingat bahwa selain alasan pribadi, Yazir memotret candi-candi bekerja sama dengan para arkeolog Belanda. Di sini Yazir berhadapan dengan permasalahan utamanya: candi-candi yang dipotretnya sudah cukup polos dan dingin. Akibatnya, foto dan 33 Candi terkadang terkesan kaku. Kendati Yazir berhasil dalam cita-citanya untuk "merekam keindahan", sayangnya keindahan itu bisu. Yazir lebih berhasil ketika ia, sengaja atau tidak, membiarkan emosi dan rasa humornya lepas. Misalnya dalam Pohon dan Kalasan dan Bingkai Batu yang bukan cuma menunjukkan kemampuan Yazir membingkai dunia. Di dua foto ini, kita terlibat dalam perasaan Yazir dan ikut bersamanya dalam perjalanan menembus ruang dan waktu. Kita merasakan apa yang dirasakan embah kita ratusan tahun lalu, ketika ia duduk takjub di bawah pohon memandang Kalasan yang seram. Sementara itu, Capung dan Kharisma mengungkapkan arti sebuah patung, bukan cuma bagi kas negara tapi juga bagi manusia dan alam yang hidup di sekelilingnya. Sebaliknya di Panataran, Yazir mengajak kita berolok-olok. Relief candi yang terletak di Blitar itu menggugah simbol-simbol kontemporer seperti dalam Toyota dan KLM pada dirinya. Dalam berhumor, Yazir menarik kita kembali ke alam modern. Teliti foto Lapisan Terakota: di dinding Candi Brahu itu ada coretan "Cahaya Embun Pagi, 1973". Distorsi-distorsi dalam 33 Candi mengingatkan kita bahwa pada akhirnya dunia gemar bermain-main dengan pancaindera manusia. Bukankah orang Budha dan Hindu menganggap dunia ini maya, kabur dalam wujud? Sia-sia obsesi manusia "menangkap" realitas, karena realitas bergerak terlalu cepat, bahkan untuk kamera yang paling canggih. Maka, dalam beberapa karya Yazir ketika emosi dan candanya terbebaskan dari kungkungan rasional, kita kembali pada pemikiran Winogrand: fotografer bermain dengan tafsiran baru dari bentuk lama, bukan sekadar mereproduksi dunia. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini