Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengikuti El-Maut

Retno Maruti menampilkan ulang garapannya, yakni Savitri, yang pertama kali dipentaskan 33 tahun lalu. Bercerita tentang kesetiaan seorang perempuan, yang rela mengikuti ajal sang suami.

9 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAVITRI masygul menatap roh Satyawan menjauh darinya. Ia tak kuasa melawan pencabut nyawa, Batara Yamadipati, membawa Satyawan, suami terkasihnya. El-maut berupa pasukan bertopeng seram berhadapan dengan bedayan-bedayan cantik, pecahan jiwa dan perasaannya sendiri.

Dewa telah menentukan kematian. Usia pernikahan mereka hanya 12 bulan. Savitri masih mencintai Satyawan. Satu-satunya cara adalah mengikuti roh Satyawan hingga dunia akhir.

Pergolakan emosi Savitri meminta kembali roh sang suami dari Yama menjadi titik kontemplasi Retno Maruti. Savitri pernah mendapat penghargaan penulisan naskah tari terbaik Dewan Kesenian Jakarta pada 1978. Maruti menggelar pentas ulang tari ini di Gedung Kesenian Jakarta sekaligus menandai 35 tahun Padnecwara dua pekan lalu.

Maruti mengatakan, dibandingkan dengan garapan pertama, pergelaran tari langendriyan ini sangat berbeda. ”Interpretasinya menjadi lebih luas, detail, dan dinamis,” ujar Maruti. Dulu, tak satu pun penari laki-laki terlibat. Tapi kini komposisinya seimbang: sembilan penari perempuan dan sembilan penari laki-laki.

Koreografi tari gaya Surakarta dipilih untuk penari perempuan, sedangkan penari laki-lakinya melakonkan gaya Yogyakarta. Maruti ingin membuat perpaduan dua karakter. Semenjak seniman tari S. Kardjono meninggal, menurut Maruti, tari klasik versi Yogyakarta jarang sekali muncul. ”Saya pingin membangkitkan gaya Yogya,” ujar Maruti. Gaya Yogya dan Solo memang seperti saudara kembar. Versi Surakarta lebih lembut mengalir dibanding gaya Yogya, yang tegas dan patah-patah. Versi Yogya mengimbangi Surakarta yang lembut itu.

Akan halnya pengrawit Blacius Subono dipercaya membikin lirik yang ditembangkan para penari. Ia menyuguhkan gending yang tak lazim. Tak patuh lagi kepada perhitungan patet yang ketat. Segala aturan gending macapat ia terobos. ”Saya tidak bisa lagi menyebutkan nama gending-gending itu. Sudah berubah semuanya,” ujar Bono. Apalagi gaya Yogya dan Surakarta sudah campur-baur.

Kisah Savitri dicuplik dari epos Mahabharata. Bercerita tentang kesetiaan Dewi Savitri, putri Raja Aswapati, sebagai istri kepada suaminya. Yamadipati sang el-maut bersedia mengabulkan apa saja permintaan Savitri asalkan bukan menghidupkan kembali Satyawan.

Namun Savitri tetap gigih mengikuti roh Satyawan (Agus Prasetya). Savitri merayu Batara Yama (Widaru Krefianto) dengan takzim. Permintaan pertama, Savitri memohon kesembuhan mata bagi mertuanya dan mengembalikan kerajaan yang telah dikuasai musuh. Permintaan itu dikabulkan.

Permintaan kedua, Savitri memohon diberi anak yang banyak dan berguna bagi bangsa. Yama juga mengabulkan permintaan itu. Namun di sini Savitri bertanya, bagaimana bisa Dewa mengabulkan permintaan kedua jika Satyawan tetap dibawa menuju dunia akhir. Yama akhirnya luluh atas keteguhan dan kecerdikan Savitri untuk mengembalikan suaminya. Yamadipati pun tak mampu melawan kekuatan cinta.

Pergolakan Savitri mengikuti roh sang suami tentu menjadi bagian yang tersulit dilakonkan. Tiga malam pertunjukan Savitri diperankan bergantian oleh Maruti dan putrinya, Rury Nostalgia. Keteguhan hati Savitri mendapatkan kembali roh yang digenggam Batara Yama harus terasa. ”Dramatisasi dan pengadeganan harus menggambarkan perseteruan batin tokoh melawan takdir. Di sini inner si penari harus muncul kuat,” ujar Maruti.

Di sinilah Savitri menjadi garapan Maruti yang filosofis. Pertunjukan berdurasi 80 menit ini bisa membawa kita ke sebuah renungan. Pikiran kita, misalnya, bisa melayang ke tradisi sati di India atau Bali dulu istri-istri yang ikut mati membakar diri saat ditinggal sang suami. Apakah cerita Savitri bertolak dari tradisi semacam itu? Apakah kesetiaan demikian buta? Apakah tindakan Savitri sampai jauh mengikuti dan mengejar roh suaminya itu memang cinta yang masuk akal? Tapi tentu tak perlu terlalu kritis menonton pentas yang indah ini.

Ismi Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus