DI halaman depan Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki saya tertegun. Betulkah di situ ada pameran? Tidak ada poster besar, tidak ada kain rentang. Untung, saya tertolong oleh secarik poster kecil tertempel sederhana pada panel di serambi yang lengang itu. Di pintu, saya memperoleh katalog: secarik kertas 21 x 24 cm dilipat dua. Dalam kata pengantarnya - sekitar 30 baris - tidak sepatah kata tentang orang yang bernama Trisno Sumardjo, kapan, serta bagaimana ujung-pangkal dan malang-melintangnya dalam seni lukis kita. Pengantar katalog dibekali sebuah kutipan pernyataan Trisno Sumardjo. Yakni, "Saya tidak berpretensi untuk menciptakan suatu keindahan fisik lukisan, melainkan ingin menghadirkan kejujuran, fitri batin. Sebab, kejujuranlah yang menjadi tiang penopang kesenian, sehingga buah keseman yang lahir tidak dipaksa-paksakan, dibikin-bikin." Tapi alam daftar lukisan tidak dicantumkan tarikh. Sekilas terpikir: barangkali Pameran Peringatan Trisno Sumardjo 10-17 April ini tahap dalam proses melupakannya? Trisno Sumardjo lahir di Desa Tarik Surabaya, pada 6 Desember 1916. Meninggai di Jakarta pada 21 April 1969, ia dimakamkan di pekuburan Karet. Selain pelukis, ia adalah sastrawan yang menulis cerita pendek, lakon, esai, dan sajak. Ia menerjemahkan karya William Shakespeare, Boris Pasternak, dan Edgar Allan Poe. Di samping pengulas seni, ia giat dalam keredaksian majalah Seniman (1947-1948) terbitan SIM (Seniman Indonesia Muda), Indonesia (1950--1952), Seni (1954), dan Gaya (1969). Ia juga pegiat organisasi kebudayaan. Ia ketua pertama (1968-1969) Dewan Kesenian Jakarta. Sebelumnya, Trisno Sumardjo pernah pula menjadi Sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia, anggota BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional), dan pendiri (bersama Zaini dan Oesman Effendi) Yayasan Seni dan Desin. Pameran peringatan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta itu memajangkan 34 lukisan cat minyak dan cat air, serta 32 coretah hitam-putih. Kecuali dua lukisan koleksi DKJ dan sebuah koleksi Ajip Rosidi, karya-karya itu tidak diterangkan asal-usulnya. Trisno Sumardjo agaknya memandang seni sebagai ungkapan jiwa, sehingga baginya kejujuran itu "tiang penopang" seni. Pandangan ini tidak dengan sendirinya berarti bahwa seni itu soal jiwa semata-mata dan dunia obyektif bukan soal sama sekali, sehingga untuk pokok lukisannya Trisno mengambil sembarang obyek atau segala macam obyek. Pameran ini sendiri memperlihatkan pokok yang sangat terbatas. Lebih dari 70% karya yang dipamerkan adalah pemandangan. Kebanyakan pemandangan alam. Tetapi terdapat juga pemandangan desa atau kampung, pemandangan kota, dan pemandangan bandar atau pelabuhan. Sudah itu terdapat sejumlah potret. Umumnya potret satu orang, dan hanya sebagian kecil memperlihatkan kelompok orang. Alam benda sedikit sekali, dan hanya sebuah lukisan mengambil hewan sebagai pokok (Kucingku). Sekiranya boleh menyimpulkan hanya dari pameran ini saia, "jiwa" yang diungkapkan Tnsno adalah Jiwa yang bertahan terutama dengan pemandangan (terutama pemandangan alam) dan orang (terutama individu). Pada Trisno Sumardjo, pandangan bahwa lukisan itu ungkapan jiwa juga tidak berarti rupa obyektif dunia nyata bisa diabaikan saja sama sekali. Ia melukis obyek. Kita bahkan melihat dalam sketsa hitam-putit Telaga Cabong catatan d sana-sini: "akasia", "jagung", "hijau", "semak-semak merah", dan lain-lain Bukan berarti dalam melukis telaga itu Trisno Sumardjo tidak akan menyimpang Penyimpangan-penyimpangan dapat ditafsir sebagai hasil kerja jiwa. Dalam pikiran Trisno, bolet jadi, lukisan adalah pertemuan subyek (jiwa) dan obyek, yang memperlihatkan hal-hal kejiwaan - sekaligus memberi informas tentang obyek. Dalam pameran ini dapat disidik sedikitnya dua macam penggambaran. Pertama memperhatikan garis yang kejur, tegang, atau kaku, seperti tampak dalam kebanyakan karya. Warna-warna berat, muram, atau tak berseri, sosok-sosok tampak pejal dan berat. Sebagian orang akan melihat dalam penggambaran ini kenaifan dan kurang keterampilan. Sebagian lagi, mungkin, akan melihat dan merasakan "keprimitifan", atau bahkan "sifat magis". Dalam penggambaran kedua, tampak garis atau sapuan yang luwes, lemas mengalun dan bergelung, dan warna-warni terang. Sungai Yang Tse, koleksi Ajip Rosidi, adalah contoh paling jelas. Di sini sapuan kuas mengalun seperti menari. Alam seolah bergerak dan berdenyut, dihidupkan dan disatukan oleh satu daya, satu irama mengalir. Warna kuning, jingga, hijau, di samping biru dan cokelat. Di beberapa bagian, permukaan kanvas dibiarkan putih. Sebagian orang akan melihat vitalisme ahas paham tentang arus hidup yang mengaliri alam semesta, atau mungkin sejenis mistisisme. Apakah penggambaran pertama berubah menjadi penggambaran kedua, menyertai perkembangan kemahiran Trisno? Ataukah dua penggambaran itu merupakan dua kecenderungan yang selalu hadir dalam seni lukis Trisno serta berpadu dengan bermacam cara? Tanpa informasi tarikh, kita tidak dapat menduga. Yang jelas, sebuah pameran peringatan tidaklah cukup hanya berbekal sebuah koleksi. Apalagi mengenai Trisno Sumardjo, pelukis yang kontroversial di kalangan pengulas dan penggemar lukisan. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini