Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Paman lengser di bukopin

Pameran lukisan karya barli sasmita winata di gedung bukopin. ia mengembangkan diri sebagai pelukis sekaligus pendidik. punya gaya sendiri dan memiliki konsistensi pribadi.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK semua orang menyukai Barli. Apalagi kalangan seniman yang suka mengawang, besar omong, dan menyangka dirinya berbobot - tentu menganggap Barli Sasmitawinata tidak berhasil sebagai pelukis. Padahal, Barli seangkatan Affandi. Bahkan pada 1935 keduanya - bersama Hendra Gunawan, Sudarso, dan Wahdi - membentuk kelompok kecil yang secara intensif melakukan kegiatan melukis bersama dan saling mengasah keterampilan. Boleh dibilang, yang namanya "Kelompok Lima" itu merupakan satu inspirasi terbentuknya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yag dimotori antara lain oleh S. Sudjojono dan Agus Djaja. Sebuah arus baru dan tidak searah dengan kecenderungan masa itu yang romantis naturalis: berindah-indah sembari melupakan realitas yang digambarkan. Ketika memasuki pamerannya di Gedung Bukopin Jakarta sepanjang pekan lalu (12-17 April), alangkah baiknya kita melihat Barli dalam sosoknya yang lebih utuh. Bukan dari satu sisinya. Sebab, sebagai pelukis, seperti dikatakannya sendiri, "Saya memang tidak semelejit Affandi." Tapi sebagai pendidik dalam bidang seni rupa, Barli (kini 67 tahun) menanamkan banyak jasa. Lebih dari sekadar berha-, sil mengembangkan dasar latihan menggambar yang sangat penting bagi keterampilan seorang calon pelukis, dari sanggarnya di Jalan Rangga Gempol, Bandung, telah muncul nama-nama yang ikut meramaikan khazanah sejarah seni rupa kita. Umpamanya A.D. Pirous, Srihadi S., Yusuf Affendi (kini dosen Seni Rupa ITB). Di masa pendudukan Jepang, Popo Iskandar, Abas Alibasjah, dan Suparto juga termasuk yang sempat mengenyam arahan Barli. Konsistensi adalah bahasa Barli. Dalam perkara pendidikan, ia bertahan sebagai pegawai Kementerian P & K 1957 - 1987. Sepanjang itu, ia antara lain menjadi dosen (selama 29 tahun) di Universitas Padjadjaran, setahun mengajar di Seni Rupa ITB, dan 1960-an pernah pula sebagai dosen tamu di Universitas Andalas. "Saya memang tak sepenuhnya mencurahkan perhatian ke kanvas pribadi saya sebagai pelukis," tuturnya. Sepanjang kariernya yang sudah setengah abad, koleksi karyanya paling sekitar 1.000 buah lebih sedikit. "Saya juga berkonsentrasi sebagai pendidik," katanya. Pada zaman Jepang, di Keimin Bunka Shidoso ia tampil sebagai ketua bagian seni rupa cabang Bandung. Pada 1948, bersama Mochtar Apin, Sukondo Bustaman, dan Karnedi, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Seni Lukis Jiwa Mukti. Lembaga ini sempat ia tinggalkan, ketika bersekolah ke Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Amsterdam (1951 - 1956). Kelanjutan Jiwa Mukti adalah yang sekarang bernama Studio Pendidikan Seni Rupa Rangga Gempol, di Jalan Rangga Gempol, Bandung. Saat ini, di Rangga Gempol paling tidak ada 376 siswa. Ada anak-anak (300 orang), calon peserta tes masuk seni rupa ITB (40 orang), dan siswa yang melukis karena hobi (16 orang). Yang 20 orang adalah siswa peserta jenjang sertifikat, dididik selama tiga tahun dalam tiga tahap - dari dasar menggambar bentuk dengan pens sampai ke pengenalan anatomi manusia dan pematangan. Konon, beberapa mahasiswa Seni Rupa ITB yang tidak lulus ujian menggambar bentuk, ada yang kemudian ambil kursus di Rangga Gempol. Dalam lukisannya, Barli juga konsisten. Yaitu dalam sikapnya untuk mengandalkan kekuatan pada garis-garisnya yang khas Haagscheschool (Belanda) - mengalir tegas, membentuk volume. Ketika pada tahuntahun terakhir ini ia memanfaatkan arang, keterampilannya tampak menonjol. Dan tengoklah Gadis Desa (1983), dalam ukuran 104 X 70 cm (harganya Rp 2 juta). Atau pada Nenek dari Pliatan (1987), 120 X 95 cm (Rp 2 juta). Kalau mau melihat kefasihannya menggunakan warna, bisa dilihat umpamanya pada Perahu Bali II (cat minyak, 140 X 100 cm, seharga Rp 3 juta). Selebihnya adalah realisme biasa, yang bagaimanapun tetap memiliki peminatnya sendiri. Pamerannya kali ini rupanya cukup menggembirakan. Di antara 57 karya itu, sebelum hari penutupan, 28 buah sudah dibeli orang. Untuk Gadis Pemetik Teh (cat minyak, 100 X 85 cm) berhasil mencapai nilai Rp 85 juta - kemudian disumbangkan ke Yayasan Jantung. Maka, Paman Lengser - julukan Barli yang pada akhir 1940-an terkenal sebagai pemeran Paman Lengser dalam Lutung Kasarung - boleh pulang ke Bandung dengan tersenyum. Mohamad Cholid & Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus