Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menjebak borobudur

Pameran foto candi borobudur dari abad ke 18-20 di erasmus huis, jakarta. selain karya adolf schaefer digelar juga karya paul spies. dari foto-foto itu dapat ditelusuri sejarah fotografi di indonesia.

31 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADOLF Schaefer pertama kali tiba di Batavia pada 1844. Menurut ukuran saat itu, ia beruntung. Biaya pelayaran dan uang sakunya ditanggung Pemerintah Belanda. Maka, pria asal Dresden (Jerman) itu bebas berkeliaran dalam wilayah Hindia Belanda. Satu tugasnya membuat fotografi arca-arca Jawa-Hindu koleksi Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia. Kemudian, pada 1900, sebuah komisi pemerintah menganjurkan pemugaran Candi Borobudur. Selama ratusan tahun, air hujan dan bencana alam mengancam candi yang dibangun dinasti Syailendra pada abad ke-8 Masehi itu. Setelah terlupakan -- karena dua abad kemudian pusat kekuasaan bergeser ke Jawa Timur -- Borobudur disebut lagi di abad ke-18 dalam Babad Tanah Jawi. Untuk mengembalikan kejayaan candi tentu perlu pemetaan rinci. Kendati berbagai gambar dan ilustrasi Borobudur sudah dibuat oleh seniman Eropa, instrumen yang mampu mereproduksi tetap kamera fotografi. Schaefer segelintir manusia di zamannya yang memiliki dan tahu menggunakan teknologi baru itu. Di antara yang dibawanya kamera berbentuk sebuah kotak kayu -- yang fungsinya menangkap pantulan cahaya melalui teropong gelas. Alat ini mampu merekam alam benda berwujud gambar. Proses yang disebut daguerreotype itu diciptakan pada 1839 oleh pelukis Prancis bernama Louis Jacques Mande Daguerre. Ia menemukan lembaran timah yang dilapisi perak dan peka dengan pantulan cahaya yang "dijebak" dalam kotak kamera ("kamar" dalam bahasa Latin). Dulu orang memerlukan waktu lama, bahkan bertahun-tahun, untuk memindahkan obyek dari alam ke kanvas, tapi dengan daguerreotype prosesnya singkat. Selain bisa direproduksi berkali-kali tanpa mengurangi kualitasnya, gambar dari daguerreotype "tidak bohong". Kamera merekam apa adanya. Karena sifat itulah, awalnya fotografi sebagai alat dokumentasi. Cuma, bagi Schaefer, ada yang rumit. Ia acap kali sulit membuat foto-foto relief Borobudur, karena panjang lensa yang ada saat itu 200-300 milimeter. Lorong-lorong di Borobudur itu sempit. Akibatnya, ia tak bisa mengambil jarak yang cukup dari obyeknya. Walhasil, dua tahun berkutat dengan kamera yang berat dan berkaki tiga itu, guru fotografi di Den Haag tersebut hanya menghasilkan sekitar 57 foto daguerreotype. Di antaranya foto galeri Latitawistara yang hampir roboh. Kendati Schaefer bukan fotografer pertama di Hindia Belanda, dengan tampilnya "joeroe photo" yang dipakai pemerintah kolonial ini, dapat ditelusuri sejarah fotografi di Indonesia. Apalagi yang bekerja dalam proyek tersebut ada Kasihan Cephas (1844-1912). Indo blasteran Jawa ini juru foto pada Keraton Yogyakarta. Dan tak mustahil Kasihan merupakan fotografer pertama di Indonesia. Pada 1891, Asosiasi Benda-Benda Kuno, Linguistik, dan Etnografi menugasi dia agar memotret "dasar tersembunyi" Borobudur. Hasilnya: sekitar 50 foto pahatan, stuktur, dan arca. Dibanding Schaefer, Kasihan lebih cerdik. Murid fotografer Van Kinsbergen ini tidak memotret Borobudur sebagai suatu bangunan saja. Ia menyertakan figuran lokal berpakaian Jawa sehingga karyanya lebih realistis dan sedap dipandang. Orang setengah pribumi ini berhasil membuat fotografi (ketika itu dicemooh oleh artis-artis "serius" bukan sekadar medium tepat dan rinci) yang berseni. Malah fotografer H.L. Leydie Melville dan J.J. de Vink, yang turut dalam proyek pemugaran itu (1907-1911), mencontoh kepiawaian Kasihan. Gambar-gambar Borobudur yang dibuat pertama kali itu peristiwa penting setelah 6 tahun fotografi ditemukan. Ada 69 foto candi itu, dari abad ke-18 sampai 20, pada 22 Maret lalu sampai 12 April ini dipamerkan di Erasmus Huis Jakarta. Didukung dana Rp 6,6 juta, dan belum pernah dipamerkan di tempat lain, "Borobudur Dalam Foto -- Di Masa Lampau dan Kini" membawa sebagian besar dari koleksi Universitas Leiden. Selain karya Schaefer tadi, juga digelar hasil lucid Paul Spies (bukan saudara Walter Spies). "Alasan kami menampilkan foto-foto Borobudur dari masa lampau untuk menunjukkan fotografi masuk ke Indonesia relatif singkat, sejak ditemukan. Penggunaannya juga bertepatan dengan pemugaran monumen visual terbesar Indonesia itu," kata Prof. Dr. Jacob Vredenbregt, penyelenggara pameran. "Dan sebelum diserahkan untuk Museum Borobudur di Yogyakarta, foto-foto ini akan dipamerkan dulu di Jepang dan Muangthai," ujar Kepala Perwakilan Universitas Leiden untuk Asia Tenggara itu. Yudhi Soerjoatmodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus