BOS konglomerat, sepulang dari pertemuan dengan Presiden Soeharto di Tapos, Bogor, awal Maret yang lalu, lantas menghitung-hitung saham. Berapa besar saham yang akan dilimpahkan kepada koperasi untuk memenuhi imbauan Pak Harto? Dan, pekan ini, seolah ada lomba di antara para konglomerat membagi sebagian sahamnya kepada koperasi. Memang, bukan saham mayoritas yang disumbangkan. Tapi, ini merupakan langkah baru dari para bos konglomerat. William Soeryadjaya, misalnya. Sabtu pekan lalu, pengusaha yang bangkit dari industri otomotif ini mengumumkan, akan menghibahkan 2,5 juta saham pribadinya, senilai Rp 37,5 milyar. Artinya, koperasi karyawan Astra, yang mendapat 2 juta lembar senilai Rp 29,7 milyar, tidak perlu membayar sepeser pun. Begitu pula beberapa koperasi lainnya. Mereka akan kebagian 500 ribu lembar saham (senilai lebih dari Rp 7,4 milyar) dengan cuma-cuma. Seluruh saham itu benar-benar dihibahkan. "Kekayaan yang saya miliki merupakan karunia Tuhan. Jadi, sudah sepantasnyalah kalau sebagian saya berikan kepada orang lain," kata Om Wilem berkaca-kaca. Entah, koperasi lain mana yang beruntung mendapatkan sebagian dari "karunia" itu. William menyerahkan pembagiannya kepada Pemerintah. Agaknya, bukan cuma bos Astra yang membagi kekayaan. Eka Tjipta Widjaja, pemimpin 150 perusahaan yang tergabung dalam Sinar Mas Group, juga berniat memenuhi imbauan Pak Harto. Bedanya, Eka tak akan menghibahkan saham seperti William. Ia menjual 1% saham Bank Internasional Indonesia (BII), dan pabrik kertas PT Tjiwi Kimia dengan harga yang berlaku di pasar perdana (Rp 1,88 milyar). Sayang, arah yang ditempuh Eka belum jelas. Sampai saat ini masih belum ditetapkan, koperasi mana yang ditunjuk untuk membeli saham-saham Eka itu. Padahal, tawaran raja minyak goreng ini pun tak kalah menggiurkan dibandingkan dengan tawaran William. Sebab, menurut Eka, selain pihaknya akan memberikan pinjaman berbunga 3% -- untuk membayar saham-saham tersebut -- koperasi dijamin akan meraih untung. Kalau rugi? "Untuk sementara, akan kami bebaskan dari kewajiban membayar cicilan, sekaligus bunganya, hingga kedua perusahaan tersebut kembali meraih laba," ujarnya. William dan Eka boleh dibilang baru berencana. Sementara itu, Pak Harto, sudah menang satu langkah. Sabtu pekan lalu, di kantor Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Presiden menyerahkan 10% saham PT Teh Nusamba Indah (PT Tehnus) kepada tiga koperasi. Itu baru tahap pertama. Sebab, Pak Harto, sebagai pelindung PT Tehnus, berjanji akan menjual 40% sahamnya secara bertahap. Koperasi memang beruntung kali ini. Mereka membeli dengan harga pari, Rp 1.000 per lembar. Pembelinya adalah 29 KUD (15%), 4 koperasi karyawan (15%), dan Unit Usaha Petani Teh alias UUPT (70%). Total, ada 383 ribu lembar saham senilai Rp 383 juta yang dilempar PT Tehnus kepada koperasi. Tapi, rupanya bukan hanya karena harga pari, koperasi beruntung. Sistem pembayaran yang kelewat lunak juga sangat melegakan para pengurusnya. Bayangkan saja. Selain tanpa bunga, pinjaman berupa saham ini boleh dicicil dalam waktu yang tak terbatas. Jadi, kalau sekali waktu PT Tehnus tak membagi dividen karena merugi, maka koperasi tak perlu mencicilnya. PT Tehnus -- yang memiliki empat pabrik pengolahan -- boleh dibilang, memang baru tahun lalu meraih laba. Pabrik PT Tehnus di Tasikmalaya, misalnya, tahun lalu masih merugi Rp 116 juta. Dan baru dua bulan pertama 1990 ini, ia menghasilkan laba Rp 116 juta. Sedangkan tiga pabrik lainnya sudah berhasil meraih laba sejak tahun lalu. "Pada tahun 1988, kami masih menyubsidi Rp 27 juta untuk keempat pabrik tersebut," kata Bob Hasan, Ketua PT Nusamba Group. Alasannya, di tahun-tahun itu, teh yang dikirim petani tak bisa memenuhi kapasitas pabrik yang mampu mengolah 23 ton teh sehari. "Maklum, ketika itu, masih banyak petani yang lebih suka menjual hasil petikannya kepada tengkulak," tuturnya. Tapi, lain dulu lain sekarang. PT Tehnus -- yang 80% sahamnya dimiliki oleh Yayasan Dharmais, Dakab, dan Supersemar, serta sisanya oleh Bob Hasan dan Sigit Soeharto -- kini mampu bekerja 88% dari kapasitas. Dan kenyataan itu, tentu saja, menggembirakan Presiden, yang juga mengetuai ketiga yayasan tersebut. Ia mengimbau agar petani tidak tergiur lagi pada iming-iming tengkulak. "Jangan mau sebab beda harganya hanya sedikiit... sekali," ujarnya sambil tersenyum. Sementara itu, sekalipun membeli dengan harga yang lebih rendah, PT Tehnus memberikan jaminan-jaminan yang tidak diberikan tengkulak. Salah satu contohnya, selain penyediaan pupuk yang langsung dikirim ke kebun, pucuk teh hasil petikan pun tak perlu diantar ke pabrik. Makanya, "Kalau masih ada yang menjual ke tengkulak, tanpa jaminan apa-apa, ya, kebangetan," kata Pak Harto. Tapi, terlepas dari langkah Nusamba, Om Wilem, ataupun Eka Tjipta, segalanya kini terlihat gamblang. Selemah apa pun posisi koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi, jelas, tak bisa diremehkan. Begitu pula koperasi-koperasi di luar perusahaan. Kendati tidak memiliki kaitan produksi, mereka pun -- dengan tidak kentara -- turut menunjang ketenteraman lajunya perusahaan para konglomerat. Sebab, seperti yang dituturkan Presiden di Tapos, jika kalangan ekonomi lemah ini tumbuh besar, maka tidak akan terjadi gejolak sosial. Atau dengan kata lain, proses produksi para konglomerat akan berjalan lancar, tanpa gangguan. Budi Kusumah, Linda Djalil, Yopie Hidayat (Jakarta), dan Hasan Syukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini