Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Buntu menembus embargo

100.000 lusin celana ekspor Indonesia kena tindakan embargo AS. Uupaya untuk mencairkan embargo itu gagal. Karenanya asosiasi pertekstilan Indonesia (API) mengancam membatalkan perundingan bilateral.

31 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINDAKAN embargo yang dikenakan AS sejak awal Maret atas sekitar 100.000 lusin celana ekspor Indonesia ternyata tak bisa dicabut lagi. Ronald Sorini, Chief Negotiator Textile United States Trade Representative (USTR), yang datang ke Jakarta Jumat pekan lalu tak bisa dirayu. Pejabat USTR, setingkat dubes dan bernaung di bawah Presiden George Bush, itu hanya memberikan jawaban diplomatis: "Sangat disayangkan bahwa embargo itu terjadi dan mengagetkan kami sendiri." Sorini mengakui bahwa para pejabat Departemen Perdagangan Indonesia telah berunding soal embargo itu. Tapi, katanya, pemerintahan George Bush akan teguh menerapkan perjanjian tekstil. "Sekarang, batas kuota 647 (celana panjang pria dan serat campuran) telah tercapai. Akan sulit bagi AS untuk memberikan keringanan," kata Sorini. Namun, Dubes USTR itu berjanji akan mencari jalan keluarnya bersama Departemen Perdagangan RI. Embargo tadi agaknya hanya bisa diselesaikan dengan carry forward, yakni mengalihkan ke dalam kuota-kuota untuk periode 1990-1991, yang akan dimulai 1 Juli mendatang. Dengan tindakan embargo ini, pihak AS rupanya ingin memberi pelajaran. "Kita perlu mengetahui 'harga' dari tindakan embargo ini. Perlu diketahui bahwa untuk Indonesia embargo jarang terjadi?" tutur Sorini. Itu berarti, barang-barang tersebut akan tersandera sekitar empat bulan. Embargo ini jelas akan dibayar mahal, terutama oleh para industriwan atau eksportir tekstil. "Barang sisa kuota akan menumpuk, dan hal ini akan mempengaruhi produksi," kata Wien Dewanta, pimpinan perusahaan Fit-U Garment di Bandung. Tambah lagi, Departemen Perdagangan belakangan membekukan pemberian visa ekspor untuk beberapa jenis produk tekstil. "Dampak berantainya akan terasa sampai ke industri tekstil di hulu," kata Ketua API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) Ian Daskian. Bank-bank yang memberikan kredit kepada para industriwan tekstil, seperti BRI, konon sudah gelisah. Menghadapi hal ini, para industriwan/eksportir ternyata berbeda pendapat. Anggota API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) mengusulkan supaya perjanjian bilateral dengan AS yang berlaku sampai 1992 diputus saja. Jika perjanjian dihentikan, Indonesia bisa membuat perjanjian perdagangan baru dengan AS dalam jalur multilateral (meliputi beberapa negara anggota GATT) yakni dengan sistem MFA (Multi Fiber Arrangement). "Pasar MFA itu besar karena menguasai 80% perdagangan tekstil dunia," kata Safioen, Direktur PT Great River. Memang, kata Musa Saehe, Presdir PT Argo Pantes dan PT Dharma Manunggal, dengan perjanjian bilateral itu Indonesia banyak dipojokkan. "Indonesia dibawa masuk ke sekian banyak kategori tekstil," katanya. Di samping itu, Indonesia juga dirugikan karena dasar perhitungan 1984 membuat pertumbuhan kuota terlalu rendah. Padahal, kemampuan Indonesia sudah tinggi. Namun, usul API itu ternyata mengundang kritik dari AMI (Asosiasi Apparel Manufaktur Indonesia). "Perjanjian bilateral dengan AS itu janganlah dikambinghitamkan," kata Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan AMI, Wien Dewanta, S.H. "Sekalipun ekspor Indonesia kini sudah meningkat pesat, janganlah keburu nafsu gagah-gagahan untuk membatalkan perjanjian bilateral," kata Ketua Harian AMI, Dr. C.C. Tan. Menurut Tan, kemampuan Indonesia sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara. Buktinya, kuota belum terisi seluruhnya. Bagaimana tanggapan Pemerintah terhadap usul API dan AMI tadi? "Perlu dipikirkan apakah, setelah kita membatalkan perjanjian bilateral, kita masih bisa mengekspor ke AS," ujar Direktur Ekspor Hasil Industri Departemen Perdagangan, Soemardjono Gunaryo. Usul API itu dianggap Pemerintah sebagai suara masyarakat pertekstilan. "Tapi, kebijaksanaan akhir tentu di tangan Menteri," ujar Direktur Jenderal Paian Nainggolan. Paian mengakui bahwa perjanjian bilateral dengan AS memang mengandung kelemahan teknis. Misalnya, soal kategori 647 (celana panjang pria dari serat campuran) dan 648 (slack wanita) yang masih dipisahkan oleh Indonesia. Di negara ASEAN lainnya keduanya sudah digabung. Kedua negara tetap akan meneliti penyebab kasus ini dengan melacak penyebab overshipment (pengapalan yang melampaui) kuota. Menurut Paian Nainggolan, usaha pelacakan telah ditelusuri sejak September 1989. Adanya overshipment, menurut seorang anggota pengusut, terjadi karena jumlah industri dan eksportir tekstil di Indonesia meningkat pesat. Jumlah eksportir 1987 tercatat 300, meledak menjadi 750 perusahaan tahun lalu. Sampai akhir pekan lalu, Departemen Perdagangan konon sudah mencurigai 11 perusahaan yang memalsukan visa ekspor untuk 48.000 lusin. Max Wangkar, Yudhi Soerjoatmodjo, Rustam F. Mandayun, Ardian T. Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus