Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kembalinya Sang Perampok

Edi Haryono mementaskan Perampok. Naskah yang pernah dipentaskan Rendra pada 1976.

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEN Zuraida duduk di sebuah boks. Ia memerankan Nyai Adipati Lumajang yang gelisah. Panggung sederhana. Hanya sepancang pilar-pilaran untuk mengimajinasikan interior Kadipaten Lumajang. Lampu berganti. Tempat Ken Zuraida gelap. Lampu kini menyorot trap level di sebelahnya, yang berlatar bambu-bambu. Di situlah "hutan Mataram", tempat Raden Legowo, putra Nyai Adipati Lumajang, menahbiskan diri menjadi perampok. "Raden Legowo telah mati. Kini aku adalah Joko Geger," kata Faiz Hasiroto, yang berperan sebagai Raden Legowo.

Sepanjang lebih tiga jam, adegan silih berganti antara Lumajang dan hutan Mataram. Adegan mengalir, menceritakan bagaimana Legowo merampok orang kaya di hutan Mataram demi membiayai pesantren yang dipimpin gurunya, Sunan Giri Prapen. Sedangkan di Lumajang, sang ibu gundah gulana.

Adegan berjalan paralel. Masing-masing dengan intrik dan konfliknya sendiri-sendiri. Di Lumajang, sang Nyai ditipu anak keduanya, Sudrajat (Angin Kamajaya), yang menginginkan takhta. Sudrajat memberi informasi bahwa kakaknya telah mati, yang menyebabkan sang Nyai kaget dan meninggal. Sedangkan di hutan, Raden Legowo terlibat kericuhan internal. Ia tak suka anak buahnya melakukan kekerasan dengan membakar desa.

Begitulah Perampok, drama yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 29 dan 30 Agustus lalu. Drama yang naskahnya ditulis W.S. Rendra dan dipentaskan Bengkel Teater pada 1976 itu kini dihidupkan lagi oleh Edi Haryono bersama Teater Kewajaran Kedua. Pementasan ini diselenggarakan untuk memperingati lima tahun wafatnya Rendra, yang berpulang pada 6 Agustus 2009. Memang, dengan materi para pemain yang baru, drama ini terasa bertempo lambat dan belum menggedor benar.

"Tidak ada perubahan dari pementasan tahun 1976, termasuk gayanya," ujar Edi. Menurut Edi, naskah ini ditulis Rendra setelah ia diminta Goethe-Institut mementaskan satu naskah drama dari Jerman. Naskah yang dipilih Rendra berjudul The Robber atau Die Rube, yang ditulis Friedrich Schiller pada 1781.

Die Rube bercerita tentang konflik antara kakak dan adik bangsawan, Karl dan Franz Moor. Franz mengadu domba sang kakak dengan ayahnya, yang lebih menyayangi Karl. Karl kemudian membentuk kelompok perampok. Di tengah pelariannya, ia terpaksa membunuh puluhan orang-tindakan yang luar biasa disesalinya. Sampai suatu saat Karl berhadapan dengan Amalia, tunangannya, yang meminta Karl membunuhnya karena ia menyadari bahwa Karl tidak akan berpisah dengan gerombolannya.

Edi mengatakan, setelah memilih naskah ini, Rendra membacanya di kamar mandi. "Lama ia tidak keluar-keluar. Begitu keluar, ia bilang naskah ini berisi tentang kematian yang ditulis bertele-tele," katanya. Rendra lalu memutuskan menulis naskah sendiri, yang berjudul Perampok. "Ketika dipentaskan, orang-orang Goethe kala itu senang sekali," ucap Edi, yang juga orang dekat Rendra.

Edi mengakui ada yang lebih suka menyebut naskah ini lebih tepat disebut saduran Rendra dari The Robber yang ditulis Schiller. Namun, menurut dia, Perampok adalah sebuah naskah sendiri yang berbeda dengan The Robber. "Rendra tidak mengambil dari The Robber karena ia malah mengkritik naskah itu. Ia tinggalkan naskah tersebut, lalu ia bikin sendiri," katanya.

Naskah Perampok, yang berlatar Kerajaan Mataram, memang membuktikan kedalaman Rendra atas riak-riak sejarah Mataram. Toh, saat Sudrajat dihantui arwah sang ibu, kita tiba-tiba bisa teringat bagaimana Hamlet dihantui arwah ayahnya. Harus diakui kepiawaian Rendra yang lain adalah kemampuannya menyuguhkan konflik di dua tempat dengan set yang tak bertele-tele. Dalam drama garapan Edi Haryono itu, hanya dengan dua kelompok level-yang berganti-ganti disorot lampu-imajinasi kita cukup bisa beralih dari Lumajang ke Mataram.

Ratnaning Asih, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus