Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pas atau Tak Pas, Itulah Soalnya

Enam puluhan karya seni rupa ”disebar” dari lantai dasar sampai lantai empat Pacific Place. Sebuah upaya mempertemukan karya seni rupa dan publik yang tidak biasa.

24 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MERESPONS ruang dengan wajan. Itulah kreativitas seorang perupa bernama Teguh Ostenrik.

Atrium Mal Pacific Place, Jakarta, selama Agustus ini bukan lagi ruang kosong menjulang tinggi dari lantai dasar hingga lantai 6. Ruang itu diisi 500 wajan atau penggorengan, digantung dengan senar, tak beraturan: ada yang rendah, tinggi, di samping—terkesan wajan itu terbang memenuhi ruang. Wajan itu tak utuh lagi. Ada yang bolong di tengah, di pinggir; ada yang bolong satu, dua, atau lebih. Padahal ini wajan baru, belum ada bekas minyak goreng atau bekas panas api.

Jelas, ”perusakan” wajan ini disengaja. Teknis, inilah cara Teguh mengurangi berat wajan, sehingga sang senar tak terlalu terbebani, mengurangi risiko senar putus. Ini penting: di lantai dasar itu pengunjung mal lalu-lalang. Bisa menimbulkan masalah, andai saja seorang pengunjung kejatuhan sebiji wajan itu. Yang bukan teknis, lubang-lubang itu membuat wajan terasa menyatu dengan ruang atrium—ini solusi pintar untuk membuat 500 wajan yang diberi judul Wok with Me itu menjadi terasa akrab dengan atrium, dan seluruh lingkungan di area tersebut.

Inilah salah satu karya seni rupa dalam pameran bertajuk A Maze Public Art Project, pameran proyek seni rupa publik yang simpang-siur. Pameran ini bagian dari acara yang lebih akbar yang disebut Bazar Art Jakarta 2009, dari awal hingga 30 Agustus, di Mal Pacific Place.

A Maze Public Art Project tak hanya di atrium Pacific Place. Sekitar 60 karya instalasi, mural, patung, obyek, foto, dan karya seni video dari 50-an perupa dipajang di ruang-ruang di lantai dasar hingga lantai 4. Acara yang diselenggarakan oleh majalah Bazaar, dengan kurator Rizki Djaelani, A. Rikrik Kusmara, dan Annisa ini, bagaimanapun, memberikan suasana beda.

Bagi saya, ruang lingkungan tempat karya dipajang menjadi lebih nyaman bilamana karya dan ruang membentuk relasi yang saling menunjang. Contoh yang mencolok—karena ukuran ruangnya yang mahabesar—karya instalasi wajan Teguh Ostenrik itu. Dari ruang yang melompong, atrium itu menjadi berkesan, memberikan rasa akrab. Dan karena atrium ini menyentuh sebagian besar ruang di lantai mana pun, menjadi pusat, wajan-wajan ini membantu kita untuk mendapatkan imaji bahwa semua ruangan menjadi ruang pameran. Ini secara tak langsung membantu karya-karya yang kurang pas peletakannya tidak menimbulkan kejanggalan atau rasa risi.

Dua patung instalasi karya Inge Rijanto di lantai 3, misalnya. Rendez-Vouz 2 (tiga orang bersantai minum-minum) dan Chilling Out (lelaki bertopang di botol bir segede orang) bukanlah karya yang buruk. Namun, karena penempatan yang terasa tersisih, dua karya berukuran manusia ini kurang mengundang perhatian. Baru ketika kita menengok ke arah atrium, suasana sebuah ”ruang pameran” hadir, dan ya dua karya ini memang layak diamati.

Juga karya-karya yang ditaruh di jembatan penghubung deretan gerai di lingkar luar dan dalam (dari dalam mal ini terasa sebagai bangunan berbentuk kerucut yang tak tajam, melainkan mendekati bentuk silinder) di tiap lantai terasa terkucil. Misalnya Sad Story of Jaran Kepang, dan karya Joko Dwi Avianto This Building Needs Power di lantai 1.

Adalah sejumlah mural, di lantai dasar dan lantai 1, yang terasa menyatu dengan ruang. Ini karena suasana Pacific Place dibentuk antara lain oleh reklame-reklame besar yang mencolok: reklame yang menampilkan figur-figur yang karena medianya (elektronik) mempunyai daya pikat kuat secara visual. Itu sebabnya karya-karya mural langsung terasa menjadi bagian dari mal. Begitu kita amati, segera terasa beda antara reklame dan karya seni rupa yang menjadi bagian ”A Maze” tadi.

Paling mengundang perhatian karena membuat kontras dengan lingkungan yang warna-warni adalah mural karya Ade Darmawan, First Lesson, yang hitam putih. Karya ini menggambarkan sebuah kelas yang para siswanya duduk di lantai, dan pelajaran pertama di situ adalah menirukan sang guru (yang seusia siswa) menjulurkan lidah. Dan bukan lidah biasa, melainkan lidah bercabang. Sebuah kritik untuk dunia pendidikan kita? Bisa saja begitu: pendidikan yang hanya membuat siswa membeo, dan tanpa memiliki integritas, tak bisa dipegang kata-katanya.

Adalah Superhero karya tiga dimensi Hitam Manis. Sosok ini segera mengingatkan kita pada tokoh-tokoh hero dalam komik masa kini. Hitam Manis menggambarkan sang hero dalam posisi terbang. Bermedia pelat besi dengan pengelasan kasar, memberikan peluang menjadikan seluruh tubuh sang hero dipenuhi ornamen, goresan-goresan tanpa bentuk jelas, dan beberapa huruf membentuk kata. Rupanya hero kita ini bernama Kyai Jagad—itulah bunyi tulisan pada paha kanannya. Tulisan lain antara lain: ”love”, ”amoy”. Jadi, inilah hero yang ”kiai” tapi pop. Kalau sosok ini terasa akrab dengan suasana mal, pada hemat saya, karena bentuk tokoh komik itu cocok dengan suasana mal: Superhero dan mal terasa berasal dari zaman yang sama.

Dengan alasan menemukan suasana yang pas itulah, saya kira, sebagian besar karya dipajang di lantai dasar. Selain ruang ”kosong” lantai dasar lebih luas dibandingkan dengan lantai-lantai di atasnya, di ruang dasar inilah lazimnya diadakan bazar atau festival yang diisi oleh pedagang yang bukan penyewa tetap mal. Di sini biasanya dijajakan tempat tidur, almari, dan barang mebel lain sampai mobil.

Maka kita lihatlah Memo, karya tiga dimensi Faisal Habibie. Sebuah meja dan kursi dari kayu ramen. Bentuk mebel ini tak asing di tempat karena di sinilah biasanya para pedagang tidak tetap diberi tempat. Dan kalau mebel ini menjadi karya seni rupa, lihatlah kursi yang ditumpangkan terbalik di permukaan meja. Ini seperti warung-warung yang tutup, yang lalu meringkas kursi-kursi di permukaan meja. Tapi amatilah, ternyata kursi itu bukan sekadar ditumpangkan, melainkan melekat pada meja: kursi itu tak punya dudukan. Juga karya Eddi Prabandono, Table Scandal, mengingatkan pada mebel. Inilah karya yang menghadirkan sepeda beneran yang digandengkan dengan bangku sekolah beneran. Pada saya, ini mengingatkan siswa sekolah dasar yang harus membawa bangku sendiri karena sekolah tak mampu menyediakannya. Maka karya ini pun berkisah tentang kemuraman: sepeda dengan tas butut dan sebuah buku di boncengannya, yang harus menanggung berat meja sekolah.

Karya Chen Wenling dan Bunga Jeruk (masing-masing adalah Valiant Struggle 8 dan Global Warming) mengingatkan pada keramik-keramik yang biasanya dipajang untuk dijual di lantai dasar mal. Karya tiga dimensi kedua perupa ini berupa bentuk babi dan beruang es. Warna putih mengingatkan kita pada porselen vas bunga yang dijual di mal-mal. Lalu Funatic karya S. Teddy D., 20 benda berbentuk kerucut yang di bawahnya cembung, dideretkan lima-lima dalam empat deret. Ke-20 kerucut itu berwarna-warni: seperti mainan anak-anak yang juga sering kita temukan dijual di lantai dasar mal. Yang pas dipajang di mal karena cocok dengan suasana reklame elektronik adalah 14 karya foto Indra Leonardi—foto para perupa dengan latar yang menurut Indra sesuai dengan ”karakter” karya masing-masing.

Yang agak janggal bahwa ”benda” ini ada di mal adalah Sisyphus karya Agapetus A. Kristiandana: sosok lelaki kekar dan gundul berada di dalam lingkaran sebuah ban kendaraan besar, dalam posisi mendorong. Karya ini terasa sebagai benda asing di sini. Juga terasa tidak pas kehadirannya adalah karya Hanafi, Gergaji Ukuran, bidang datar dengan bentuk gergaji raksasa, lalu di sisi lain sesosok bentuk lelaki jongkok memegang meteran.

Tampaknya, hanya wajan-wajan Teguh itu yang benar-benar pas dalam A Maze Public Art Project ini. Bukan soal ”mutu”, melainkan lebih sebagai menyiasati sebuah ruang untuk menghadirkan karya. Bisa saja karya itu sudah ada sebelumnya, dan kebetulan cocok. Dalam ”A Maze” kali ini memang ada beberapa seperti sudah disebutkan (karya Bunga Jeruk, Faisal Habibie, Chen Wenling, antara lain). Dan sebenarnya, di ruang pameran pun penataan itu perlu: tidakkah memasang sebuah lukisan terbalik tanpa sengaja di ruang pameran adalah sebuah persoalan? Kecuali ini kesengajaan sebagai respons terhadap dinding atau ruang pameran itu.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus