Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LINCOLN
Sutradara:Steven Spielberg
Skenario:Tony Kushner
Berdasarkan buku Team of Rivals: The Political Genius of Abraham Lincoln oleh Doris Kearns Goodwin
Pemain: Daniel Day-Lewis, Sally Field, David Strathairn, Joseph Gordon-Levitt, James Spader, Hal Holbrook, Tommy Lee Jones, John Hawkes
Produksi: Steven Spielberg dan Kathleen Kennedy
Kita tak akan bisa menyebut diri manusia jika kita tak menyembuhkan diri dari penyakit bernama perbudakan!"
Presiden Abraham Lincoln (Daniel Day-Lewis) menggebrak meja. Lelaki berwajah cekung, berusia 56 tahun, Presiden Amerika Serikat ke-16 yang lembut, bersuara parau, selalu tenang, dan menghadapi hujatan lawannya dengan senyum bijak itu akhirnya muntab. Di hadapan kawan-kawannya yang sebagian mulai ragu dan sesekali patah semangat dalam perjuangan meloloskan Thirteenth Amendment to the United States Constitution atau Amendemen 13, yang berisi pemberantasan perbudakan, Lincoln akhirnya kehilangan kesabaran.
Tapi itu adalah hari-hari akhir ketika mereka masih membutuhkan beberapa suara. Dan itu juga hari-hari ketika Lincoln menghadapi protes istrinya, Mary Todd (Sally Field), yang depresif atas kehilangan Willie, putra mereka, akibat penyakit tifus.
Lincoln bukan sebuah film biopik, sama sekali tak mengisahkan Abe dari lahir hingga tewas di tangan John Wilkes Booth. Film ini mengisahkan empat bulan terakhir perjuangan Lincoln dan partai Republiken serta pendukungnya untuk meloloskan Amendemen 13, hingga kematiannya. Film dimulai saat Amerika sudah letih didera Perang Saudara (1861-1865), ketika Amerika Utara (pihak yang membela persatuan Amerika dan ingin menumpas perbudakan), yang disebut Union, tengah menghajar pihak Negara Bagian Selatan yang memutuskan berpisah (disebut kelompok Confederate).
Sutradara Steven Spielberg tidak menggunakan adegan kilas balik atau penjelasan konteks apa pun. Dia tak peduli apakah penonton paham mengapa perang itu terjadi dan amendemen apa yang sedang diperjuangkan Lincoln. Spielberg betul-betul sengaja membiarkan penontonnya harus memahami sejarah Amerika, akar permasalahan Perang Saudara, dan posisi Abraham Lincoln sebagai sosok populer yang masih dihormati hingga akhir hayatnya. Mereka yang sama sekali tidak peduli dan tidak memahami atau bahkan tidak mau pusing untuk mempelajari latar belakang sejarah Lincoln pasti akan bosan dan menganggap ini film yang isinya cuma debat dan pidato berkepanjangan.
Tapi, jika mereka sabar sedikit, akan terlihat, di antara upaya Lincoln dan timnya meloloskan amendemen bersejarah itu, Spielberg dan penulis skenario Tony Kushner memperlihatkan sisi lain yang tak pernah kita ketahui tentang Lincoln. Selain dia adalah wajah yang menghiasi uang Amerika dan salah satu Presiden Amerika yang paling populer, Lincoln merupakan lelaki biasa yang gemar menggosok sepatunya sendiri dan menggendong anak lelakinya serta seorang ayah yang menyembunyikan rasa pedih kehilangan anak lelakinya yang lain. Lincoln juga digambarkan sebagai presiden yang turun ke medan perang, berbincang dengan tentara, dan mendengarkan keluhan dua tentara Afro-Amerika (di masa itu masih disebut "negro", yang kini tak boleh digunakan lagi) tentang perbedaan gaji serta fasilitas tentara kulit putih dan kulit berwarna. Pidato Lincoln di Gettysburg, yang menjadi salah satu pidato Presiden Amerika yang paling bersejarah, cukup digambarkan dengan salah satu tentara yang mengutipnya dengan lancar bahwa "semua manusia diciptakan sama".
Dari sini, Spielberg menggelindingkan kisahnya, bagaimana Lincoln yang tampak lembut, tenang, sesekali menyajikan anekdot di depan kawan ataupun lawan, dan cekikikan atas anekdotnya sendiri itu merentangkan strategi untuk mendapatkan 20 suara lagi untuk meloloskan amendemen tersebut. Problem utama: meski semua anggota legislasi Republiken sudah menyatakan setuju dengan Amendemen 13, mereka tetap membutuhkan beberapa suara dari kalangan Demokrat.
Inilah bagian seru dari film yang, tampaknya, terdiri atas perang verbal, debat, kasak-kusuk, dan pertengkaran di dalam gedung parlemen. Lincoln ternyata seorang pemimpin yang tak keberatan untuk memanipulasi lawan dan melakukan kesepakatan politik di bawah meja demi mengejar cita-cita penghapusan perbudakan di tanah Amerika.
Di rumah, Lincoln harus menghadapi sang istri, Mary Todd—yang mendapat sebutan mesra Molly dari sang Presiden—yang semakin murka kepada suaminya karena dia menganggap sang suami membiarkan putra sulung mereka ke medan perang untuk kemudian meregang nyawa. Pertengkaran dalam keluarga yang intens dan penuh rasa sakit ini tidak hanya menyentuh, tapi juga membuat kita paham apa yang dilalui sang Presiden yang kehilangan putranya yang kecil dan menghadapi istri yang menuduhnya tak cukup berkabung.
"Aku ingin bergulung ke dalam tanah, ke dalam peti mati anak kita. Bahkan hingga hari ini…," jawab Lincoln dengan suara bergetar. "Setiap hari, aku masih merasakan itu. Jadi jangan kautuduh aku tak berkabung."
Monolog yang perih, yang sekaligus memperlihatkan bahwa sesungguhnya Lincoln adalah penyendiri yang tahu, betapapun kawan-kawannya mendukung cita-cita Amerika yang membela hak asasi manusia, dia tetap seorang ayah yang sendirian, berkabung atas kepergian anaknya.
Daniel Day-Lewis adalah sebuah anuÂgeÂrah. Tokoh Lincoln semula akan diperanÂkan Liam Neeson. Namun aktor yang mengÂalami musibah pribadi itu memutuskan mundur dari proyek film besar ini dan tawaran diberikan kepada Daniel Day-Lewis, yang langsung saja masuk ke sosok Lincoln.
Bukan saja skenario Tony Kushner berhasil menciptakan dialog yang memancarkan zamannya, para politikus yang menggunakan kosakata dari bahasa Inggris formal di abad ke-19 sekaligus mampu menerobos ruang dan waktu agar penonton masa kini bisa melahapnya dengan nikmat. Dan Day-Lewis mengucapkan rangkaian kalimat demi kalimat itu dengan penuh kedalaman dan emosi yang intens, yang membuat penonton mengikat diri pada sosoknya hingga akhir film.
Meski pemain lain, seperti James Spader (sebagai William N. Bilbo yang menekan para anggota legislatif agar memilih Amendemen 13), David Strathairn (sebagai Secretary of State William H. Seward), dan Tommy Lee Jones (sebagai Thaddeus Stevens), tampil dengan segala sinar, fokus kita memang tetap pada Daniel Day-Lewis, yang berhasil meniupkan roh ke dalam Abraham Lincoln, yang selama ini hanyalah nama dalam buku sejarah Amerika.
Akhir dari film ini, yang sengaja tidak memvisualkan adegan penembakan Lincoln saat ia tengah menyaksikan pertunjukan teater, justru menarik karena merupakan sebuah keputusan yang menghindari eksploitasi fisik dan darah pada sosok yang sangat dicintai warganya itu. Di tangan Spielberg, di tubuh Daniel Day-Lewis, Lincoln yang tewas kemudian lahir kembali.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo