Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengintip Hilal di Siang Bolong

Mengamati hilal tak harus pada sore hari. Pada siang hari pun dimungkinkan berkat teknologi teleskop digital. Masih bertentangan dengan hukum agama.

30 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMADAN tinggal sepekan. Tak jarang dalam menentukan awal Ramadan dan 1 Syawal terjadi perbedaan. Ini karena ada dua metode yang digunakan, yakni rukyatul hilal dan hisab. Keduanya punya landasan fikih masing-masing.

Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan sebagai tanda dimulainya awal bulan pada kalender Hijriah. Adapun rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit muda setelah terjadinya ijtimak atau konjungsi. Rukyat boleh dilakukan dengan mata telanjang ataupun dengan alat bantu optik, seperti teleskop. Biasanya rukyat dilakukan menjelang matahari terbenam karena intensitas cahaya hilal pada siang hari lebih redup ketimbang cahaya matahari. Penampakannya pun sangat tipis.

Saking tipisnya, cahaya bulan muda itu hampir mustahil dilihat oleh mata telanjang. Sedangkan dengan menggunakan teleskop konvensional, menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin, juga tetap sulit. Terlebih bila pengamatan hilal dilakukan pada ketinggian di bawah 4 derajat. "Karena intensitas cahaya hilal dan cahaya senja di ufuk hampir sama," katanya.

Pada prinsipnya, cahaya hilal dan cahaya senja berasal dari matahari. Panjang gelombang keduanya sama sehingga sulit dibedakan. Teleskop konvensional tak memiliki teknologi yang bisa mengatur tingkat kekontrasan agar hilal tampak lebih terang dibanding cahaya senja. Namun, dengan teknologi di era serba digital, bahkan untuk melihat hilal pada siang bolong pun dimungkinkan.

Di Observatorium Bosscha, Bandung, Muhammad Yusuf, ahli teleskop robotik dan praktisi pengamatan bulan sabit siang hari, menunjukkan teleskop digital terbarunya kepada Tempo. Pada saat itu waktu menunjukkan pukul 8 pagi dan matahari bersinar cerah. Teleskop untuk meneropong bulan ditempatkan di lantai atas Bosscha dengan atap yang bisa dibuka-tutup. Teleskop itu terhubung dengan laptop.

Yusuf lantas memperlihatkan gambar berwarna hitam di layar laptopnya dengan banyak bintik putih. Di antara bintik-bintik putih itu tampak lengkungan putih sangat tipis. Mirip bulan sabit. "Lihat itu. Ini bulan sabit muda yang tertangkap lensa teleskop," ujar Yusuf . Bulan sabit muda ini memiliki iluminasi atau intensitas pencahayaan 0,3 persen dengan elongation 6 derajat. Walau tipis, bulan sabit muda itu masih terlihat jelas.

Bulan sabit muda adalah bulan sabit paling tipis yang dapat dilihat di langit sebelah barat setelah terjadi konjungsi, yaitu saat bulan, bumi, dan matahari berada pada satu garis dalam satu bidang garis edar matahari. Meski ketiga anggota tata surya ini dalam satu garis, tak selalu menyebabkan terjadi gerhana. Sebab, bulan memiliki kemiringan tertentu yang membuatnya tak selalu benar-benar sejajar.

Konjungsi dapat terjadi kapan saja; pagi, siang, sore, atau malam hari. Hanya, tak jarang pengamatan bulan sabit muda ini gagal. Penyebabnya antara lain karena kesalahan manusia, seperti kesalahan dalam pemasangan peralatan, alat yang digunakan masih sederhana, dan bisa juga lantaran cahaya bulan sabit terlalu tipis untuk ditangkap oleh lensa kamera ataupun teleskop.

Yusuf enggan menyebut bulan sabit muda yang sering ia amati pada siang hari itu sebagai hilal-sebagai tanda dimulainya awal bulan pada kalender Hijriah. Sebab, menurut dia, belum ada kesepakatan yang menjadi rujukan soal apa itu hilal. Pengamatan bulan sebelum magrib atau rukyat qoblal ghurub juga tak sesuai dengan hukum Islam karena tidak bisa memastikan pergantian bulan kalender.

Meski begitu, Yusuf tetap mengamati bulan sabit muda itu dengan teleskopnya. Yang menarik, ia tak perlu memicingkan mata untuk mengintip bulan lewat teleskop. Ia juga tak perlu terpapar sinar matahari karena dilakukan pada siang bolong. Malah pemuda lulusan Astronomi Institut Teknologi Bandung ini cukup duduk anteng di tempat teduh dekat teleskopnya sembari mengamati layar laptop. Pergerakan teleskop ia kendalikan sepenuhnya melalui laptop itu.

Teleskop yang digunakan adalah William Optics 66 ZSD, Skyris 445M, Filter IR 850 nm, yang dilengkapi panjang fokus 388 milimeter dan diameter lensa 6,6 sentimeter. Untuk mengurangi cahaya dari samping, Yusuf memasang baffle terbuat dari karton dupleks sepanjang 2 meter. Bentuknya seperti corong yang dipasang pada teleskop. Benda ini membuat teleskop terlihat sangat panjang.

Pada awal 2000-an, para astronom mulai menggunakan metode baru dalam mengamati bulan sabit muda. Pengamatan tak hanya dilakukan pada sore hari, tapi juga pada siang hari. Alasannya, langit pada siang hari dianggap lebih jernih. Untuk membuat kontras cahaya digunakan filter merah di kamera. Kemudian kamera dipasang pada teleskop sebagai pengganti mata manusia untuk kemudian diolah menggunakan perangkat lunak pengolah citra.

Supaya gambar dari teleskop yang masuk ke laptop memiliki kontras cahaya yang pas, diperlukan aplikasi khusus. Yusuf membuat sendiri aplikasi tersebut. "Belum ada nama resminya," katanya. Jadi sebut saja aplikasi bikinan Yusuf ini Bosscha Camera Control. Aplikasi ini berfungsi mengolah gambar menggunakan rumus algoritma yang biasa dipakai dalam dunia kedokteran.

Aplikasi tersebut tak bisa langsung diterapkan untuk mengamati bulan. Perlu dilakukan penyesuaian. Yusuf merampungkan rumus yang tepat pada aplikasinya ini sekitar dua tahun lalu. "Sebenarnya semua rumusnya ada dalam matematika, tapi jarang dipakai dalam dunia astronomi," ujar Yusuf, yang mulai mengamati bulan sabit muda pada 2008.

Rumus algoritma yang digunakan adalah Clahe (contrast-limited adaptive histogram equalization). Clahe dapat membantu meningkatkan kontras lebih baik. Dalam bidang kedokteran, Clahe digunakan pada alat roentgen. Hanya, terdapat masalah yang sama antara dunia kedokteran dan pengamatan bulan sabit muda. "Kami sama-sama harus mengolah gambar yang tingkat kontrasnya sangat tipis sekali," kata Yusuf.

Cara kerja aplikasi ini sederhana. Tangkapan gambar hasil pengamatan siang hari dibersihkan dari noise. Setelah bersih, gambar ditumpuk, kemudian diatur kontrasnya dengan histogram stretching. Terakhir digunakan rumus Clahe untuk menambah tingkat kontras lebih tinggi. Jumlah gambar yang ditumpuk tak terbatas. Dari tumpukan gambar inilah terlihat bulan sabit muda yang dicari.

Thomas Djamaluddin mengapresiasi penemuan aplikasi Bosscha Camera Control ini. Dia berharap penelitian dilanjutkan terutama untuk mempermudah pemantauan bulan sabit muda pada sore hari. "Siang hari kan tak bisa dijadikan sebagai penentu pergantian bulan," ujarnya. Thomas menambahkan, teramatinya bulan sabit muda pada siang hari juga bukan jaminan akan terlihat hilal saat magrib.

Pengamatan yang dilakukan salah satu anggota International Astronomical Center, Jim Stamm, pada 2010 bisa menjadi contoh. Pada siang hari, sekitar pukul 13.00 dengan langit biru cerah, Stamm tak melihat bulan sabit muda. Ia malah berhasil melihatnya pada siang hari pukul 14.40 dan 16.50 ketika warna langit lebih biru keputihan. Bulan sabit muda juga masih terlihat hingga pukul 17.10. Setelah itu hilang.

Pengamatan hilal adalah masalah kontras antara bulan dan cahaya latar depan. Apa yang dilihat Stamm pada pukul 13.00, cahaya bulan sabit masih kalah dari cahaya langit. Ketika bulan dan matahari makin rendah, sekitar pukul 14.40-17.10, langit lebih pucat. Masih biru tapi lebih putih. Bulan sabit kemudian meredup disertai intensitas hamburan cahaya langit yang berkurang. Saat itulah kontras bulan sabit meningkat dan terlihat lebih terang dibanding cahaya langit sehingga terlihat.

Ketika matahari menjelang terbenam sampai terbenam, cahaya bulan sabit melalui atmosfer yang lebih tebal. Warnanya makin kuning-merah. Sementara itu, atmosfer pun mulai menghamburkan cahaya kuning-merah. Kontras cahaya bulan sabit menurun lagi alias bulan sabit kalah terang dibanding cahaya langit. Akibatnya, bulan sabit tidak terlihat. Masalah inilah yang diharapkan Thomas Djamaluddin bisa segera dipecahkan dengan adanya penemuan baru seperti aplikasi Bosscha Camera Control itu.

Tri Artining Putri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus