Kamis, 3 September. Untuk pertama kali seorang raja meninggal di zaman Indonesia merdeka, ketika kekuasaannya tak lagi menyentuh ke luar tembok Puro. Dalam usia 67 tahun Mangkunagoro VIII pada hari itu pukul 10 lebih lima menit pagi, karena serangan jantung, mengembuskan napas terakhir di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Maka, sejarah pun bertanya-tanya, masih akan diteruskankah dinasti Mangkunegaran. Hingga tahun 1987 menutup diri, ternyata belum juga diangkat seorang raja baru. Di Puro Mangkunegaran (di sini sejak dulu tak pernah dikenal istilah keraton atau istana) memang tak ada tradisi putra mahkota langsung menggantikan raja. Mereka yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Sri Mangkunagoro diangkat oleh musyawarah kerabat Puro, dan di zaman Belanda tentu saja harus mendapat persetujuan bangsa asing yang bercokol di sini. Di zaman republik kini musyawarah keluarga besar hanya mengangkat seorang "kepala keluarga" baru, yakni Gusti Pangeran Haryo Sujiwo - putra keempat. Mangkunagoro VIII bukan contoh keluarga bangsawan yang hanya mengambil keuntungan karena keturunan. Ia tokoh yang mengikuti zaman: berpangkat mayor jenderal (kehormatan) di zaman TNI masih disebut ~KR, menjadi penasihat dalam KMB 1949. Sebagai seorang raja, ternyata ia hanya punya seorang permaisuri sebelum memiliki seorang garwa ampil atas desakan dan pilihan permaisuri sendiri. Lebih dari itu, ia pun memimpin bisnis Mangkunegaran, antara lain Hotel Mangkunegaran Palace dan bisnis kayu dan rotan. Almarhum memiliki 8 anak, seorang meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini