DARI sekian banyak Piala Citra FFI Yogya, satu di antaranya tetap "bebas" karena pemenangnya tidak ada. Yang dimaksudkan adalah Citra untuk cerita asli. Tahun ini piala itu terpaksa disimpan kembali karena tidak ada naskah unggulan. Sejak cerita asli ikut dinilai, tiga tahun lampau, baru tercatat dua pemenang: Arifin C. Noor (Serangan Fajar, 1982) dan Asrul Sani (Sorta, 1983). Bila Dewan Juri kali ini tidak meloloskan satu naskah pun, bisa ditafsirkan bahwa nilainya berada di bawah cerita asli kedua film itu. Benarkah begitu? Sutradara Arifin C. Noor berpendapat "Walau memang tidak meningkat, mutu cerita saat ini tidak terlalu buruk. Hanya, katakanlah, mandek." D. Djajakusuma, sutradara kawakan itu, mengakui, "Cerita asli kurang digali karena produser memang maunya demikian." Walau demikian, ia tidak - menyalahkan produser yang, tentu saja, lebih memperhitungkan segi komersial sebuah cerita. Hanya, pesannya, "Janganlah memberi bumbu berlebihan, akibatnya cerita malah menjadi kabur." Tampaknya Djajakusuma mengisyaratkan tentang adanya bumbu seks dan kekerasan yang, menurut Arifin, "Telah mengepung film-film yang baik" Bagaimana pendapat produser dan para pengamat? Terutama harus dimaklumi, hak memilih cerita ada pada produser karena modal mereka dipertaruhkan untuk itu. Soalnya, bagaimana mereka menggunakan hak ini: mendikte atau luwes. Seingat Djajakusuma, dahulu kalau memilih cerita, "Penulis, sutradara, dan produser selalu kompak bahumembahu." Sekarang? "Pengaruh produser terlalu kuat," katanya. Tiga produser yang dihubungi TEMPO dalam wawancara terpisah sama-sama mengungkapkan bahwa ide cerita terasa kurang tapi mereka tidak bisa mengatakan sebabnya. "Terlalu banyak faktor," tutur Hendrik Gozali dari Garuda Film. Dia, yang sejak lama mempekerjakan tim khusus untuk mengolah cerita dan skenario, rupanya tidak melihat faktor pasar sebagai yang paling menentukan. Sebaliknya dengan Eddy Suhendro, produser pelaksana Gramedia Film. Ia menyebut peran pasar, yang dikuasai distributor, sebagai pihak yang banyak mempengaruhi pemilihan cerita film. Jadi, bukan produser. Apakah Eddy bermaksud mencari "kambing hitam" untuk filmnya yang terlalu banyak bumbu seperti Kadarwati Pastilah tidak. Urusan pasar ini adalah urusan klasik yang tidak kunjung selesai digarap dunia film Indonesia. Malah dikhawatirkan, film itu sendirilah yang digarap oleh kehendak pasar, apalagi sekarang ketika ekonomi dilanda resesi dan karcis bioskop semakin mahal saja. Dan masalahnya justru menjadi rumit karena film Indonesia belum berkembang menjadi industri yang mapan seperti Hollywood dulu atau kerajaan film Shaw yang megah di Hong Kong. Jalan memang masih terlalu panjang. Yang tiap kali Jadi pertanyaan ialah apakah dalam melayani kehendak pasar, film harus dikomersialkan sampai nyaris kehilangan harga. Jawabnya terpulang pada sineas dan produser. Sukses komersial Tiga Dara, Krisis, Inem Pelayan Sexy, dan Kabut Sutra Vngu secara gamblang membuktikan bahwa kreativitas orang film Indonesia bukan saja mampu melayani, tapi bahkan sanggup mendikte pasar. Ditinjau dari segi cerita, ketiga film ltU tidaklah luar biasa, tapi engolahan filmisnya harus diakui baik sekali. Tidak heran bila Eddy Suhendro menyatakan, "Problematika kita sekarang bukan pada cerita, tapi pada teknik penceritaan." Di situlah memang kuncinya. Tapi kecenderungan produser untuk mengulangi sukses yang sama dengan gaya latah membuat film bertema sama tampak sukar dibendung. Akibatnya, mutu merosot dan pasar menjadi jenuh, seperti yang dikatakan Haris Lesmana dari Nusantara Film. Mengambil contoh film Kelainan Cinta yang "berani" tapi kurang disenangi, ia yakin masa jaya tema seks hampir usai. Produser film Kartini ini siap menguji kehendak pasar dengan produksinya terbaru Detik-Detik yang Indah, sedangkan Hendrik Gozali menampilkan Kupu-Kupu Putih. Jika produser sibuk mereka-reka pasar, apakah sineas juga mesti begitu? Turino Djunaedi, yang pernah sukses dengan Bernapas dalam Lumpur, menegaskan dalam kondisi sekarang idealnya, "Produser bertugas memilih cerita yang baik, dan sutradara bertugas mengubah cerita itu menjadi film yang baik." Cuma disayangkannya titik temu antara produser dan sutradara sulit terjadi, antara lain karena produser lebih condong kepada perhitungan dagang yang sering kali hanya menyuguhkan impian. Atau "lebih banyak khayalan," seperti kata kritikus film Rosihan Anwar. Ditegaskannya, ini ulah produser, bukan karena sineas miskin ide. Menanggapi kebiasaan jiplak-menjiplak cerita, Rosihan berkilah, "Itu terjadi di mana-mana." Soalnya kini, "Apakah cara seperti itu akan terus-menerus dilakukan?" Mudah-mudahan tidak. Karena itu, semangat menulis cerita asli perlu digugah lagi. Karena itu, ada Ponirah dan Sunan Kalijaga. Tapi bicara soal mutu, Dewan Juri punya kriteria sendiri, sementara produser punya modal, dan distributor punya selera pasar. Masing-masing tidak bisa digugat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini