Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Merekam Geisha di Tanah Amerika

Sebagian besar pengambilan gambar dilakukan di AS. Sebuah kampung Jepang dengan warga internasional.

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beginilah kota yang tertangkap kamera itu. Rumah-rumah tumbuh berdesakan dan lorong-lorong sempit dipenuhi arus manusia. Sesekali becak yang ditarik manusia meluncur laju, berbagi tempat dengan pejalan kaki. Sejumlah bangunan pertokoan, kedai minum teh, hingga tempat-tempat pertemuan elite menghias wajah kota. Tak lupa puluhan tiang listrik berwarna hitam muncul di sejumlah sudut kota, lengkap dengan lengan-lengan berisi kabel yang menghubungkan seantero kawasan. Tersedianya listrik pada 1930-an adalah lambang kemewahan. Dan semua itu milik hanamachi—komunitas geisha—di Miyako. Dan di sinilah kisah Nitta Sayuri lahir.

Sayuri adalah tokoh utama dalam film Memoirs of a Geisha arahan sutradara Rob Marshall. Sebuah kisah tentang metamorfosis geisha yang diangkat dari novel terkenal dengan judul sama karangan Arthur Golden, terbit pada 1997. Novel ini laris-manis dan selama dua tahun menjadi best seller di New York Time karena telah terjual sebanyak 4 juta kopi untuk versi bahasa Inggris dan diterbitkan dalam 32 bahasa.

Agar film ini dapat dilahap seperti karya aslinya, Marshall tahu betul bagaimana menerjemahkan keindahan novel Memoirs of a Geisha—yang dikenal sangat detail dan deskriptif—dalam bahasa gambar.

Berdasarkan riset yang teliti, Golden menggambarkan kawasan hanamachi yang ia bayangkan terletak di Kyoto Gion. Di sana Golden menceritakan hiruk-pikuk hanamachi, lengkap dengan okiya (rumah geisha beserta sosok induk semangnya), ochaya (kedai minum teh lengkap dengan ruang pertemuan yang kerap menjadi tempat geisha beraksi), atau kaburenjo (lokasi khusus pertemuan para geisha).

Agar detail arsitektur, interior, hingga suasana hanamachi tertangkap kamera secara utuh, Marshall memilih membangun sendiri kawasan hanamachi.

Awalnya memang ada keinginan produser dan sineas untuk mengambil lokasi film yang beranggaran US$ 80 juta ini di salah satu kota tua di Jepang. Tapi sayang, tidak ada satu pun kota tua di sana yang terbebas dari kontaminasi kehidupan modern. Akhirnya, setelah seluruh anggota tim produksi berkeliling Tokyo dan merekamnya untuk sebuah riset, mereka memutuskan ”membangun sendiri” satu pojok kampung Jepang di Amerika.

Akhirnya, sebuah peternakan kuda di Ventura Farm—kira-kira satu jam perjalanan dari pusat kota Los Angeles, Amerika—menjadi pilihan. Marshall langsung melibatkan kawan dekatnya, John Myhre, yang sempat membantunya dalam film musikal Chicago (2002) dan bahkan meraih Piala Oscar sebagai production designer untuk film yang sama.

Membangun sebuah kawasan hanamachi persis seperti yang terungkap dari novel adalah pekerjaan berat. Sebab, selain harus membangun sejumlah bangunan besar, rumah, dan pertokoan, wajah kota buatan ini harus memenuhi elemen sebuah kawasan komunitas geisha yang berkembang.

Di poros kawasan ini terdapat jembatan yang menjadi elemen kunci, karena di sinilah Chiyo—Sayuri cilik—bertemu dengan Ketua. Pertemuan singkat yang menjadi bara, melecut semangat Chiyo menjadi seorang geisha. ”Jembatan ini penting dalam membangun cerita,” demikian tutur Ken Watanabe, pemeran tokoh Ketua.

Untuk membangun kota itu, dibutuhkan 14 minggu dan 175 anggota kru. Hasilnya, sekurangnya 40 bangunan menyembul dari kota tiruan seluas 1.600 meter persegi. Sebuah sungai sepanjang 10 meter membelah kota, tak lupa sebuah jembatan kayu melengkung sepanjang 3 meter menghubungkan kedua tepi sungai.

Pohon khas Jepang, seperti pohon cedar, sakura, bambu hitam, kemudian langsung diterbangkan dari Jepang. Marshall mendapat bantuan dekorator jempolan Gretchen Rau, veteran film The Last Samurai. ”Suasana kota Jepang era 1930-an lahir begitu puitis lewat tangan Rau,” Marshall mengungkapkan.

Lantaran matahari terus menyengat kawasan Ventura Farm, Marshall menemui kesulitan merekam suasana hanamachi saat musim dingin atau semi. Untuk itu, seluruh kota buatannya ditutupi kain tipis, yang sering disebut dengan teknik kain sutra. Sebuah lampu sorot ukuran raksasa dipasang di sebuah tower.

Agar hasilnya maksimal, seluruh tim inti proyek ini, terdiri dari 10 orang, langsung diterbangkan ke Jepang untuk melakukan eksplorasi ke sejumlah daerah yang disebut dalam novel. Mereka di antaranya John De Luca, Pietro Scalia, John Myhre, Colleen Atwood, John Williams, Patricia Witcher, Boby Cohen, Robin Swicord, Dion Beebe, yang pernah bekerja dengan Marshall dalam film Chicago. Hanya editor Pietro Scalia dan John William, yang menangani musikal, yang menjadi squad anyarnya.

Dalam empat pekan kunjungan, mereka mengunjungi sejumlah tempat yang dianggap dapat membangun karakter film berdurasi 145 menit ini. Mereka melihat gambaran kuil, museum, pabrik kimono, melihat bagaimana seorang maiko-geisha didandani mulai dari make-up, tatanan rambut, hingga melihat pertunjukan kabuki. ”Kami juga melihat bagaimana geisha melayani para tamu di rumah teh Ichiriki yang elite,” Marshall menjelaskan.

Selain membangun kawasan komunitas geisha, Marshall juga membangun tiga rumah dengan desain interior lengkap. Pertama adalah rumah okiya, rumah Chiyo pertama kali menjejakkan kaki di Miyako, lalu suasana sekolah geisha. Ruangan lainnya, kamar utama milik Hatsumono, lengkap dengan kotak penyimpanan kimono. ”Hubungan antara arsitektur dan interior yang tepat dapat mendukung karakter pemain,” kata set decorator Rau.

Sebagian besar pengambilan gambar digelar di Amerika. Mulai di California, San Francisco, hingga taman bunga Descando dekat Pasadena. Sedangkan di Jepang, sejumlah kuil seperti Kiyomizutera—kuil Buddha—dan kuil Shinto Fujimi Inari melengkapi wajah Jepang yang eksotis.

Selain arsitektur, interior, film Memoirs of a Geisha tidak dapat dilepaskan dari pakaian tradisional Jepang, kimono, karena pakaian yang dipakai secara berlapis-lapis ini juga dapat merujuk pada status sosial hingga mengikuti perubahan empat musim utama di Jepang. Kyoko Akihara dalam The World of Geisha (Periplus, 2000), misalnya, menulis bahwa pada musim panas geisha akan memakai yukata dari katun dengan pakaian dalam sederhana tanpa aksesori.

Bahkan, untuk seorang geisha, kimono yang dikenakan pun memiliki perbedaan. Misalnya, untuk seorang geiko-geisha yang berusia dewasa dan telah melewati ritual mizuage—ritual pelelangan keperawanan—kimono yang dipakai tidak berwarna-warni. Aksesori serta dandanan rambutnya pun terbilang sederhana.

Sedangkan maiko-geisha magang mengenakan kimono berwarna cerah dengan obi—ikat pinggang lebar—berwarna terang dibalut aksesori beragam dan meriah, misalnya sejumlah hiasan dari batu koral, giok, atau perak. Kimono maiko menyapu lantai, sedangkan kimono geiko hanya mencapai mata kaki.

Untuk pekerjaan yang satu ini, Marshall mempercayakan pada Colleen Atwood, yang sempat membantunya dalam urusan costume designer film Chicago. Secara khusus, Atwood mempelajari arsip di Fashion Institute di Tokyo dan foto-foto sejumlah surat kabar periode 1920-1950. Sebab, film Memoirs of a Geisha berlatar belakang Jepang era 1920 hingga pasca-Perang Dunia II.

Atwood dan 30 stafnya bekerja sembilan bulan menyiapkan kimono pemeran utama. Mereka menggunakan teknik cetak sablon untuk menambah atau meniru hiasan kain antik pada kain baru. Tim ini juga memakai teknik jumputan, stensil, lukis tangan, dan sulam untuk kimono biru-abu-abu Sayuri bermotif air terjun yang mengalir dari obi hingga ke tepi kimono. ”Kimono yang dipakai di akhir film ini adalah kimono terindah,” demikian pengakuan Atwood. Hasilnya, kita kemudian melihat sebuah perkampungan Jepang masa lalu di tanah Amerika.

Cahyo Junaedy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus