SUATU subuh di tahun 1978, di sebuah paviliun kecil di Jalan Dempo, Jakarta Timur. Wanita dengan tubuh agak gembrot itu, entah mengapa, tiba-tiba memutuskan untuk jogging. Tapi karena halaman rumahnya begitu sempit, ia turun ke jalan, menyusuri Jalan Dempo dan Taman Masjid Matraman. Dan sejak saat itulah, setiap pagi, ibu dari 5 orang anak itu menggelinding dengan setia di jalanan. Dengan kemahiran berbahasa Inggris dan Prancis, Mia Ismangun, wanita itu, mempunyai pergaulan cukup luas di kalangan orang-orang asing di Jakarta. Lewat salah seorang sahabatnya, seorang bule, ia kemudian diterima menjadi anggota sebuah klub rekreasi orang-orang asing yang bernama HHH, Hash House Harrietts. Di dalam HHH, wanita kelahiran Solok, Sum-Bar (1938) ini, lalu mengenal banyak teori jogging. Teman-teman seklubnya menyodorkan berbagai buku perihal lari sehat itu. Tak kurang dari setahun lamanya ia menelan isi buku-buku tadi sambil mempraktekkannya. Sampai akhirnya ia tahu Pemda DKI sering mengadakan lomba lari bagi umum -- dan dia pun terjun. Prestasi awalnya adalah dalam Lomba Proklamathon II, Juli 1979. Memang belum banyak peserta wanita waktu itu. Namun tak sedikit kaum pria yang tersisih sebelum mencapai jarak 5 km yang harus ditempuh. Dan Nyonya Mia Ismangun muncul di garis finis sebagai juara kelompok umur (KU) 20 tahun ke atas. Prestasi ini dilanjutkannya dengan kedudukan juara III pada Lomba Maraton Jakarta I, 1980. Sekali ini juara di atasnya adalah pelari nasional Starlet dan Lelyana. Setahun kemudian pamornya melonjak lagi dalam urutan II di bawah Starlet dengan catatan waktu 4 jam 30 menit -- 15 menit lebih baik dari prestasinya terdahulu. Drop out jurusan Anthropologi (tingkat III) UI ini mengaku belum pernah menjadi atlet di masa remajanya. "Hanya saya sekarang telah menemukan resepnya," katanya. Ia melaksanakan carbo-loading, satu resep makanan bagi para pelari. Menurut riset Paul Slovik, ilmuwan dari Oregon Research Institut resep itu sangat cocok untuk pelari maraton atau pemain ski jarak jauh. Dalam resep itu ditentukan, enam hari sebelum lari, atlet diharuskan tidak melahap makanan berkadar karbohidrat, seperti nasi, roti, gula dan sebagainya. Yang boleh ditelan hanya yang tidak mengandung zat hidrat, misalnya keju, ikan dan susu. "Walau puasa begitu, latihan lari harus jalan terus. Memang sempoyongan," kata Mia menceritakan pengalamannya. Baru pada hari ke-4 -- tatkala sekujur tubuh sampai ke tulang telah bebas dari zat karbohidrat -- latihan lari distop. "Kemudian tiga hari istirahat, makan sebanyak mungkin, khususnya makanan berkadar karbohidrat. Tak usah takut kegemukan, karena enerji yang akan dipakai untuk lari 45 km bukan sedikit," sambung Mia. Sementara lari, Mia minum air jeruk campur sedikit garam yang disuplai oleh Ismangun, suaminya (53 tahun). "Paling sedikit 3 liter harus disediakan untuk itu," kata Ismangun, yang berambut gondrong dan berkumis putih. Suami setia ini biasa mengikuti istrinya lari dengan mobil VW Station berwarna merah lembayung. "Minum teh campur gula percuma," sambung Mia "minuman itu 2 jam kemudian baru meresap ke darah. Sedangkan air jeruk dan garam cepat meresap ke darah." Dengan resep ini, Mia mengaku tidak merasa letih selama mengikuti lari Proklamathon II. Mia juga menemukan berbagai cara untuk mengatasi macam-macam gangguan selama lari. Misalnya, kalau terasa kejang perut, ia akan lari agak membungkuk sambil menekan dan menggosok-gosok bagian yang kejang. "Kebanyakan pelari alam di Jakarta, maksud saya yang tidak bernaung dalam klub, tidak tahu bagaimana teknik lari serta pantangan yang harus dijalankan," katanya. Ia pernah melihat misalnya, pelari yang makan-makan waktu mencapai setengah putaran di Grogol atau Pluit. "Begitu mereka lari lagi, langsung colaps dan harus diangkut oleh ambulans," ungkapnya. Dua tahun yang lalu, Mia memang tak punya saingan di nomor 20 tahun ke atas. Tapi kini ia harus mulai memperhitungkan lawan. Titiek Lestari dari UMS misalnya yang kini berusia 21 tahun. "Satu dua tahun lagi, Merry Manuhutu dan Helena, atlet-atlet PASI yang ikut ke Hongkong Marathon, sudah akan masuk KU 20 tahun ke atas," kata Mia. Prestasi mereka, maklum masih muda, memang jauh di atas Mia. Misalnya dalam Lomba 28 km, Minggu 8 Maret, 3 orang atlet PASI mencatat waktu setengah jam lebih cepat dari prestasi Mia (2 jam 48,5 menit). "Tapi saya tidak merasa terancam oleh mereka, " katanya lebih lanjut. Sampai saat ini, Mia telah berhasil mengumpulkan 5 buah piala juara, 18 buah medali emas, 3 perak dan 1 perunggu. Targetnya adalah lari sampai tua. Apalagi ia pernah melihat seorang wanita Korea yang berusia 70 tahun, masih ikut lari maraton di Jakarta. "Tampaknya masih berusia 50 tahun," kata Mia. Soal kalah menang, kini baginya biasa. "Kalah dari atlet yang lebih baik, saya tetap sportif. Asal jangan kalah karena dicurangi, " ungkapnya. Ia teringat sebuah Lomba Lintas Alam 8 km, bulan lalu di Bandung. Setahunya, pelari yang terdepan adalah KU, 40 tahun. Setiap melapor pada pos pengawasan, Mia dieritahu siapa yang paling depan. "Setahu saya, tidak ada wanita yang menyalib saya, walau saya sering disoraki," tuturnya "tahu-tahunya sampai difinish petugas bilang saya nomor dua! " Mia penasaran. "Saya sudah kayak kerbau masuk lumpur, diperlakukan seperti itu, sedang orang yang dikatakan juara itu sepatunya masih bersih!" katanya. Gara-gara protes Mia, juara yang dicalonkan panitia itu kemudian menghilang. Kabarnya ia juara tahun sebelumnya. Mia juga pernah ikut Lomba Lintas Alam di Bogor dan keluar sebagai juara. Sayang sampai sekarang belum sempat makan pengalaman Mancanegara. Pernah memang mendaftar ikut marathon Hongkong. Panitia setempat sudah oke, tapi tak ada sponsor yang sanggup mendukungnya. "Sedangkan PB PASI tidak dapat mengirim saya, karena saya dikatakan bukan atlet satu klub PASI," katanya menjelaskan. Namun kini, setelah ia menjadi anggota Ikami (Ikatan Master Indonesia), ada yang menyebut-nyebut Mia sudah didaftarkan untuk mengikuti Lomba Mini Marathon (20 km) di Roma Juni dan bulan berikutnya di Singapura. Kini setiap hari Mia terus berlatih. Dikawal suaminya dengan mobil, ia menggelinding menyusur Jalan Diponegoro, Kuningan, terus ke arah Pelabuhan Udara Halim. Jarak itu ditempuhnya selama 3 jam. Rute lain yang biasa dilakukannya adalah Jakarta-Bogor lewat Parung, atau Jakarta-Bogor lewat Cibinong. "Latihan di jalan-jalan memang berbahaya," komentar suaminya "paling baik menyusuri jalur kanan, berlawanan dengan arah kendaraan. Kalau lari di sebelah kiri, konsentrasi terganggu, bisa-bisa disambar kendaraan." Sejak 1979, Mia menulis catatan untuk evaluasi prestasinya dalam buku harian khusus bagi pelari maraton. (Daily Log and Calender). Ia merekam berapa mil yang dilalapnya setiap hari. Kalau hujan misalnya, ia masih sempat menempuh 19 mil. Tapi kalau hujan turun sebelum start, latihan dibatalkan. Sementara itu, sebagai seorang muslimat, ia tak menghindari puasa. Di bulan Ramadhan, sementara keluarganya berbuka puasa, ia tetap berlari beberapa kilometer setelah meneguk air putih. Sampai pekan lalu, dalam catatannya jarak yang sudah ditempuhnya 1.699 mil. Di samping lari, Mia juga harus menyelesaikan urusan rumah-tangga. Ia tak punya pembantu. Kebetulan pula usaha suaminya sedang merosot. Terpaksa ia ikut menyingsingkan lengan baju memikirkan asap dapur. Jadi guide, atau "kadang-kadang saya menjadi semacam babysitter untuk orang tua, yaitu untuk keluarga orang asing di Jakarta," katanya pada Max Wangkar dari TEMPO. Akibat lari, ia mengaku tidak pernah diganggu penyakit lagi. "Batuk dan flu hilang sendiri bila saya sudah lari. Pokoknya lari adalah saat yang paling membahagiakan," katanya bersungguh-sungguh. "Segala beban keruwetan rumah-tangga juga bisa lupa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini