LOMBOK: CONQUEST, COLONIZATION AND UNDERDEVELOPMENT, 1870-1940
Alfons van der Kraan, Heinemann Educational Books (Asia) Ltd
Singapura, 1980, 277 + XIV hal.
LOMBOK sebagai nama pulau di kawasan Nusa Tenggara sering kita
dengar. Namun masih sedikit yang kita ketahui tentang
sejarahnya. Daerah yang di kalangan penduduk aslinya juga
dikenal dengan nama Tanah Sasak atau Selaparang itu (Lombok
mulanya nama desa di pantai timur, dan mulai digunakan menyebut
seluruh pulau pada abad ke-16 oleh pelaut Portugis), memang agak
terabaikan dalam penulisan sejarah nasional. Juga dalam buku
Sejarah Nasional Indonesia dari Departemen P dan K yang
digembar-gemborkan sebagai 'buku standar' itu.
Buku karya Alfons van der Kraan, lektor bidang Sejarah
Perekonomian Universitas Murdoch, Perth, diharapkan dapat
mengisi kekosongan informasi tersebut. Terdiri dari tujuh bab:
The Old Regime The East Sasak Revolt The Escalation of Dutch
Aggression The Fall of the House of Karangasem The
Establishment of Dutch Rule The Developmentof Underdevelopment
(judul bab yang cukup ironis!) serta Forms of Peasant
Resistance. Aspek sosial-ekonomi masyarakat Sasak dibahas cukup
mendetil, di samping masalah politik.
Hukum Camput
Kraan memulai uraiannya dengan sekedar deskripsi daerah Lombok
dan masyarakatnya, serta Islamisasi Lombok pada abad ke-16 oleh
Pangeran Prapen, putra Susuhunan Ratu Giri, dibantu dua
perwangsa (bangsawan) Sasak, Raden Sumuliya dan Raden Salut.
Masyarakat Sasak terbagi menjadi kelompok Waktutelu, umumnya
dianut rakyat jelata yang masih belum sepenuhnya meninggalkan
tradisi Hindu. Serta kelompok Waktu-lima, merupakan kalangan
santrinya dan umumnya dianut kaum perwangsa.
Pada awal abad ke-17 pengaruh Kerajaan Karangasem (Bali) masuk
ke Lombok Barat, dan satu setengah abad berikutnya kekuasaan
raja Bali tertanam pula di Lombok Timur (Lombok Barat dan Lombok
Timur secara alamiah dibatasi Sungai Babak, Sungai Dalem dan
hutan). Dan pada 1849 Ratu Agung Agung Ktut memaklumkan dirinya
sebagai Raja Selaparang (Karangasem Lombok) di Mataram, sebagai
cabang Dinasti Karangasem di Bali.
Hubungan orang Sasak yang diperintah dengan orang Bali yang
memerintah tidaklah begitu harmonis. Penguasa Bali menganggap
seluruh tanah sebagai milik raja dan bangsawan, sedang rakyat
nanya sebagai pekerja. Rakyat dibedakan menjadi pengayah dan
sepangan. Yang pertama mengolah druwe dalem (tanah raja), dan
yang kedua mengolah druwe jabe (tanah bangsawan). Lagi pula
penguasa Bali menerapkan hukum camput pada masyarakat Sasak,
yaitu jika seseorang meninggal tanpa mempunyai anak lelaki maka
raja mewarisi seluruh miliknya, termasuk istri dan anaknya!
Di samping itu kaum perwangsa merasa tersisih kedudukannya oleh
kaum triwangsa dan punggawa (bangsawan Bali). Demikianlah orang
Sasak merasa diperlakukan sebagai panjak (istilah Sasak untuk
budak), sehingga perasaan tidak puas menjalar bagaikan api dalam
sekam. Militansi rakyat Sasak makin terpupuk dengan masuknya
aliran tarikat Naqsyabandiyah yang dibawa para haji dari Mekah
tahun 1880-an. Yang menjadi guru aliran mistik ini kebanyakan
Raden dan Mami (dua gelar tertinggi bangsawan Sasak).
Keresahan itu mencapai puncaknya ketika pada 22 Juni 1891 Raja
Selaparang Ratu Agung Agung Ngurah meng instruksikan rakyat
Sasak menunaikan apeti getih kewajiban milisi) ke Karang asem
yang sedang berperang melawan Dewa Agung dari Kerajaan
Klungkung. Oleh karena hal itu tidak diacuhkan oleh rakyat, 8
Agustus laskar Bali menyerbu kota Praya yang dianggap biang
keladi pembangkangan. Praya sebagian dibumihanguskan,
penduduknya dibunuh dan ditawan.
Akibatnya seluruh Lombok Timur bergolak, dipelopori para
perwangsanya: Mami Bangkol dan Mami Sapian dari Praya, Mami
Mustiaji dari Kopang, Mami Nursasi dan Mami Kertawang dari
Sakra, Mami Ginawang dari Batukliyang, Raden Widana dari
Jonggat, Raden Wiranom dari Pringgabaya, Raden Melayu Kusuma
dari Masbagik dan Raden Sribanom dari Rarang. Raja Selaparang
dibantu oleh kemenakannya, Anak Agung Jilantik, penguasa
Karangasem. Di tengah berkecamuknya perang tersebut, pemerintah
Hindia Belanda melakukan intervensi.
Pada waktu itu politik Negeri Belanda terhadap "negeri di
seberang lautan" (istilah bagi daerah jajahan) diarahkan pada
sektor pertanian dan pertambang an. Ini berkat kemenangan kaum
liberal di bawah Johan Thorbecke di parlemen Belanda 1848 yang
menyebabkan pesatnya industrialisasi. Untuk mencari bahan baku
industri, pemerintah Hindia-Belanda bernafsu menguasai daerah
luar Jawa. Patut diketahui, sebagian besar tanah air kita di
luar Jawa pada awal abad ke-19 samasekali belum terjamah
kekuasaan Belanda. Lombok memang menjadi incaran Belanda,
terutama setelah kontrolir F.A. Liefrinck pada tahun 1886
melaporkan bahwa Lombok cukup kaya dengan hasil bumi dan barang
tambang.
Tiga Perlawanan Rakyat
Ketika pecah perang antara orang Sasak dan orang Bali, residen
Buleleng mengusulkan kepada Gubernur Jenderal C.
Pynacker-Hordijk di Batavia agar Belanda mengirimkan bantuan
militer kepada rakyat Sasak (surat tertanggal 11 September
1891). Namun usul M.C. Dannenbargh itu ditolak Gubernur
Jenderal, dengan alasan tentara sedang dipusatkan menghadapi
Perang Aceh. Lagi pula, kata Gubernur Jenderal, suatu Mohammedan
State yang timbul jika rakyat Sasak menang lebih sukar dihadapi
(surat tertanggal 7 Oktober 1891).
Merasa tidak puas dengan jawaban tersebut, Dannenbargh bertindak
sendiri dengan mengadakan kontak terhadap para perwangsa Sasak.
Cita-citanya untuk mengintervensi Lombok baru terlaksana ketika
kedudukan C. Pynacker-Hordijk sebagai Gubernur Jenderal
digantikan oleh J.C. van der Wijck (Oktober 1893) yang sepaham
dengan Dannerbargh.
Pada 5 Juli 1894 tentara Belanda mulai mendarat di Ampenan.
Namun serbuan ini dapat dipukul mundur oleh Ratu Agung Agung
Ngurah pada bulan Agustus. Hal ini disusul oleh serangan balasan
Belanda secara besar-besaran pada bulan-bulan berikutnya.
Tentara Bali bertahan dengan gagah perkasa dan semangat puputan
yang terkenal. Akhirnya pada bulan November 184 jatuhlah
Mataram dan Cakranegara ke tangan Belanda, dan dengan
dibuangnya Ratu Agung Agung Ngurah ke Batavia berakhir pulalah
dinasti Selaparang Karangasem-Lombok. Namun nasib rakyat Sasak
tidak berubah. Yang berubah hanyalah warna kulit penguasanya.
Pecahnya pemberontakan rakyat Sasak terhadap penguasa Bali pada
1891 menyebabkan para pengayah dan sepangan tidak lagi
menganggap tanahnya sebagai druwe dalem dan druwe jabe,
melainkan sebagai hak milik mereka sepenuhnya. Ketika Belanda
menguasai Lombok, Belanda merasa berhak atas druwe dalem
(sebagai konsekuensi kemenangannya). Dan atas pertimbangan
politik Belanda tetap mempertahankan "hak" perwangsa atas druwe
jabe. Hal inilah yang menyebabkan perlawanan yang terus-menerus
dari rakyat Sasal terhadap Belanda.
Kesadaran Sejarah
Alfons van der Kraan menguraikan tiga bentuk perlawanan rakyat
Sasak gerakan mesianis (datu-datuan), gerakan yang berasaskan
mistik serta gerakan perlawanan akibat besarnya pajak. Umumnya
perlawanan tersebut dilakukan rakyat jelata, sementara para
pewangsa agaknya "berkoalisi" dengan penjajah. Memang salah satu
akibat penjajahan kolonial di Lombok, tanah semakin banyak
dikuasai kaum aristokrat Bali dan Sasak. Ketika penjajahan
berakhir, 63,9% tanah menjadi milik kaum bangsawan. Sementara
itu kehidupan rakyat semakin buruk (pauperized).
Sebelum sampai kepada Bab Kesimpulan, Kraan memberikan analisa
yang patut kita simak: "The Indonesian war of independence . . .
has had no appreciable effect on Lombok's social structure. Now,
as in the colonial era, the island's peasant population is
oppressed and exploited by and through the Balinese and Sasak
aristocracies . . . The peasant is becoming still further
impoverished, land ownership is becoming ever more concentrated,
and the food situation is still worsening. " (h. 185).
Uraian pengarang buku ini memberikan gambaran bagi kita, betapa
masih jauhnya usaha sebagian rakyat kita dalam membebaskan diri
mereka dari kemiskinan. Sudah tentu sila 'Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia', yang sering kita dengungkan itu,
antara lain mengandung pengertian pembagian kekayaan negara yang
pantas antara sesama warganegaranya. Di sinilah barangkali
perlunya dibina kesadaran sejarah. Apa yang terjadi pada hari
ini merupakan produk dari kejadian masa silam, dan apa yang kita
perbuat hari ini akan menjadi sejarah di masa depan.
Nia K. Sholihat Irfan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini