Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sejarah tanah salak atau...

Singapura: heinemann educational books, 1980 resensi oleh: nia k. sholihat irfan. (bk)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOMBOK: CONQUEST, COLONIZATION AND UNDERDEVELOPMENT, 1870-1940 Alfons van der Kraan, Heinemann Educational Books (Asia) Ltd Singapura, 1980, 277 + XIV hal. LOMBOK sebagai nama pulau di kawasan Nusa Tenggara sering kita dengar. Namun masih sedikit yang kita ketahui tentang sejarahnya. Daerah yang di kalangan penduduk aslinya juga dikenal dengan nama Tanah Sasak atau Selaparang itu (Lombok mulanya nama desa di pantai timur, dan mulai digunakan menyebut seluruh pulau pada abad ke-16 oleh pelaut Portugis), memang agak terabaikan dalam penulisan sejarah nasional. Juga dalam buku Sejarah Nasional Indonesia dari Departemen P dan K yang digembar-gemborkan sebagai 'buku standar' itu. Buku karya Alfons van der Kraan, lektor bidang Sejarah Perekonomian Universitas Murdoch, Perth, diharapkan dapat mengisi kekosongan informasi tersebut. Terdiri dari tujuh bab: The Old Regime The East Sasak Revolt The Escalation of Dutch Aggression The Fall of the House of Karangasem The Establishment of Dutch Rule The Developmentof Underdevelopment (judul bab yang cukup ironis!) serta Forms of Peasant Resistance. Aspek sosial-ekonomi masyarakat Sasak dibahas cukup mendetil, di samping masalah politik. Hukum Camput Kraan memulai uraiannya dengan sekedar deskripsi daerah Lombok dan masyarakatnya, serta Islamisasi Lombok pada abad ke-16 oleh Pangeran Prapen, putra Susuhunan Ratu Giri, dibantu dua perwangsa (bangsawan) Sasak, Raden Sumuliya dan Raden Salut. Masyarakat Sasak terbagi menjadi kelompok Waktutelu, umumnya dianut rakyat jelata yang masih belum sepenuhnya meninggalkan tradisi Hindu. Serta kelompok Waktu-lima, merupakan kalangan santrinya dan umumnya dianut kaum perwangsa. Pada awal abad ke-17 pengaruh Kerajaan Karangasem (Bali) masuk ke Lombok Barat, dan satu setengah abad berikutnya kekuasaan raja Bali tertanam pula di Lombok Timur (Lombok Barat dan Lombok Timur secara alamiah dibatasi Sungai Babak, Sungai Dalem dan hutan). Dan pada 1849 Ratu Agung Agung Ktut memaklumkan dirinya sebagai Raja Selaparang (Karangasem Lombok) di Mataram, sebagai cabang Dinasti Karangasem di Bali. Hubungan orang Sasak yang diperintah dengan orang Bali yang memerintah tidaklah begitu harmonis. Penguasa Bali menganggap seluruh tanah sebagai milik raja dan bangsawan, sedang rakyat nanya sebagai pekerja. Rakyat dibedakan menjadi pengayah dan sepangan. Yang pertama mengolah druwe dalem (tanah raja), dan yang kedua mengolah druwe jabe (tanah bangsawan). Lagi pula penguasa Bali menerapkan hukum camput pada masyarakat Sasak, yaitu jika seseorang meninggal tanpa mempunyai anak lelaki maka raja mewarisi seluruh miliknya, termasuk istri dan anaknya! Di samping itu kaum perwangsa merasa tersisih kedudukannya oleh kaum triwangsa dan punggawa (bangsawan Bali). Demikianlah orang Sasak merasa diperlakukan sebagai panjak (istilah Sasak untuk budak), sehingga perasaan tidak puas menjalar bagaikan api dalam sekam. Militansi rakyat Sasak makin terpupuk dengan masuknya aliran tarikat Naqsyabandiyah yang dibawa para haji dari Mekah tahun 1880-an. Yang menjadi guru aliran mistik ini kebanyakan Raden dan Mami (dua gelar tertinggi bangsawan Sasak). Keresahan itu mencapai puncaknya ketika pada 22 Juni 1891 Raja Selaparang Ratu Agung Agung Ngurah meng instruksikan rakyat Sasak menunaikan apeti getih kewajiban milisi) ke Karang asem yang sedang berperang melawan Dewa Agung dari Kerajaan Klungkung. Oleh karena hal itu tidak diacuhkan oleh rakyat, 8 Agustus laskar Bali menyerbu kota Praya yang dianggap biang keladi pembangkangan. Praya sebagian dibumihanguskan, penduduknya dibunuh dan ditawan. Akibatnya seluruh Lombok Timur bergolak, dipelopori para perwangsanya: Mami Bangkol dan Mami Sapian dari Praya, Mami Mustiaji dari Kopang, Mami Nursasi dan Mami Kertawang dari Sakra, Mami Ginawang dari Batukliyang, Raden Widana dari Jonggat, Raden Wiranom dari Pringgabaya, Raden Melayu Kusuma dari Masbagik dan Raden Sribanom dari Rarang. Raja Selaparang dibantu oleh kemenakannya, Anak Agung Jilantik, penguasa Karangasem. Di tengah berkecamuknya perang tersebut, pemerintah Hindia Belanda melakukan intervensi. Pada waktu itu politik Negeri Belanda terhadap "negeri di seberang lautan" (istilah bagi daerah jajahan) diarahkan pada sektor pertanian dan pertambang an. Ini berkat kemenangan kaum liberal di bawah Johan Thorbecke di parlemen Belanda 1848 yang menyebabkan pesatnya industrialisasi. Untuk mencari bahan baku industri, pemerintah Hindia-Belanda bernafsu menguasai daerah luar Jawa. Patut diketahui, sebagian besar tanah air kita di luar Jawa pada awal abad ke-19 samasekali belum terjamah kekuasaan Belanda. Lombok memang menjadi incaran Belanda, terutama setelah kontrolir F.A. Liefrinck pada tahun 1886 melaporkan bahwa Lombok cukup kaya dengan hasil bumi dan barang tambang. Tiga Perlawanan Rakyat Ketika pecah perang antara orang Sasak dan orang Bali, residen Buleleng mengusulkan kepada Gubernur Jenderal C. Pynacker-Hordijk di Batavia agar Belanda mengirimkan bantuan militer kepada rakyat Sasak (surat tertanggal 11 September 1891). Namun usul M.C. Dannenbargh itu ditolak Gubernur Jenderal, dengan alasan tentara sedang dipusatkan menghadapi Perang Aceh. Lagi pula, kata Gubernur Jenderal, suatu Mohammedan State yang timbul jika rakyat Sasak menang lebih sukar dihadapi (surat tertanggal 7 Oktober 1891). Merasa tidak puas dengan jawaban tersebut, Dannenbargh bertindak sendiri dengan mengadakan kontak terhadap para perwangsa Sasak. Cita-citanya untuk mengintervensi Lombok baru terlaksana ketika kedudukan C. Pynacker-Hordijk sebagai Gubernur Jenderal digantikan oleh J.C. van der Wijck (Oktober 1893) yang sepaham dengan Dannerbargh. Pada 5 Juli 1894 tentara Belanda mulai mendarat di Ampenan. Namun serbuan ini dapat dipukul mundur oleh Ratu Agung Agung Ngurah pada bulan Agustus. Hal ini disusul oleh serangan balasan Belanda secara besar-besaran pada bulan-bulan berikutnya. Tentara Bali bertahan dengan gagah perkasa dan semangat puputan yang terkenal. Akhirnya pada bulan November 184 jatuhlah Mataram dan Cakranegara ke tangan Belanda, dan dengan dibuangnya Ratu Agung Agung Ngurah ke Batavia berakhir pulalah dinasti Selaparang Karangasem-Lombok. Namun nasib rakyat Sasak tidak berubah. Yang berubah hanyalah warna kulit penguasanya. Pecahnya pemberontakan rakyat Sasak terhadap penguasa Bali pada 1891 menyebabkan para pengayah dan sepangan tidak lagi menganggap tanahnya sebagai druwe dalem dan druwe jabe, melainkan sebagai hak milik mereka sepenuhnya. Ketika Belanda menguasai Lombok, Belanda merasa berhak atas druwe dalem (sebagai konsekuensi kemenangannya). Dan atas pertimbangan politik Belanda tetap mempertahankan "hak" perwangsa atas druwe jabe. Hal inilah yang menyebabkan perlawanan yang terus-menerus dari rakyat Sasal terhadap Belanda. Kesadaran Sejarah Alfons van der Kraan menguraikan tiga bentuk perlawanan rakyat Sasak gerakan mesianis (datu-datuan), gerakan yang berasaskan mistik serta gerakan perlawanan akibat besarnya pajak. Umumnya perlawanan tersebut dilakukan rakyat jelata, sementara para pewangsa agaknya "berkoalisi" dengan penjajah. Memang salah satu akibat penjajahan kolonial di Lombok, tanah semakin banyak dikuasai kaum aristokrat Bali dan Sasak. Ketika penjajahan berakhir, 63,9% tanah menjadi milik kaum bangsawan. Sementara itu kehidupan rakyat semakin buruk (pauperized). Sebelum sampai kepada Bab Kesimpulan, Kraan memberikan analisa yang patut kita simak: "The Indonesian war of independence . . . has had no appreciable effect on Lombok's social structure. Now, as in the colonial era, the island's peasant population is oppressed and exploited by and through the Balinese and Sasak aristocracies . . . The peasant is becoming still further impoverished, land ownership is becoming ever more concentrated, and the food situation is still worsening. " (h. 185). Uraian pengarang buku ini memberikan gambaran bagi kita, betapa masih jauhnya usaha sebagian rakyat kita dalam membebaskan diri mereka dari kemiskinan. Sudah tentu sila 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia', yang sering kita dengungkan itu, antara lain mengandung pengertian pembagian kekayaan negara yang pantas antara sesama warganegaranya. Di sinilah barangkali perlunya dibina kesadaran sejarah. Apa yang terjadi pada hari ini merupakan produk dari kejadian masa silam, dan apa yang kita perbuat hari ini akan menjadi sejarah di masa depan. Nia K. Sholihat Irfan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus