Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya, mimpi itu menjadi kenyataan. Membuat film tentang legenda Cina memang telah menjadi impian Ang Lee sejak kecil. Kisah-kisah Tiongkok Lama yang didapatkannya dari cerita orang tuanya, buku, dan film-film kungfu yang disaksikannya begitu mempesonakan Lee saat itu. ''Membuat film seperti itu selalu menjadi fantasi saya," kata Ang Lee.
Namun, ternyata ia harus menyimpan lama impiannya itu. Lee mengaku dirinya bukan seorang petualang yang berani mengambil risiko. Ia perlu menunggu waktu yang lama mengumpulkan keberaniannya. Hingga akhirnya, bekal pengalaman dan keandalannya sebagai sutradara membesarkan hatinya untuk mewujudkan mimpinya. Crouching Tiger, Hidden Dragon adalah penjelmaan mimpinya.
Dalam menggarap film yang diadaptasi dari bagian novel Wang Dulu ini, Lee menggamit pemain berdarah Cina dari berbagai negara, misalnya Michele Yeoh (Malaysia), Chow Yun Fat (Hong Kong), Zhang Zi Yi (Cina). Pemilihan pemain ini semata dilakukan untuk menangkap imajinasinya tentang Cina. Selain itu, ia juga menolak menggunakan dialog dalam bahasa Inggris. ''Menggunakan bahasa Inggris dalam hal ini tak ubahnya menyaksikan John Wayne berbicara Cina dalam film Barat," katanya.
Crouching Tiger memang menjadi pertaruhan nama Ang Lee. Sebelumnya dia dikenal sebagai sutradara Cina yang lebih dikenal sebagai pembuat film Barat seperti Sense and Sensibility, film tentang keluarga aristokrat Inggris berdasarkan novel abad ke-19 karya Jane Austen, yang mengisahkan kehidupan sebuah keluarga Inggris.
Film lainnya adalah Ice Storm. Film yang diadaptasi dari novel Rick Moody itu dianggap berhasil menyuguhkan wajah masyarakat Amerika pada dekade 1970, yang menghadapi perubahan besar sosial kala itu. Film yang dibintangi Kevin Kline, Sigourney Weaver, Joan Allen, dan Christina Ricci itu adalah potret yang nyata dari kacaunya tatanan nilai masyarakat Amerika pada masa menjelang puncak skandal Watergate.
Melalui kedua film itu, Lee dijuluki sebagai sutradara pelintas batas kultural. Sebabnya, Lee merupakan sutradara kelahiran Taiwan yang memiliki kultur yang sangat jauh dari Amerika, tapi dapat menggambarkan Inggris abad ke-19 dan suasana Amerika tahun 1970-an dengan sempurna.
Namun, prestasi itu tidaklah turun dari langit. Ang Lee menempuh jalan panjang untuk mencapai kegemilangan karirnya itu. Setamat dari National Taiwan College of Arts pada 1975, pria kelahiran Taipei 23 Oktober 1954 ini terbang ke Amerika Serikat untuk meneruskan pendidikannya di Universitas New York. Hasilnya sempurna. Tugas akhirnya, Fine Line film berdurasi 40 menit ditetapkan sebagai film terbaik di angkatannya. Seusai pendidikan itu, sesungguhnya ia berniat pulang ke tanah airnya. Tapi karena bujukan seorang agen untuk berkarir di Amerika, Lee mengagalkan rencana yang sudah dibuatnya itu.
Pilihan yang tidak keliru. Debutnya diawali dengan film Pushing Hands (1991), yang bertutur tentang kekikukan seorang ayah saat mengunjungi anaknya yang tinggal di New York dan menikah dengan wanita Amerika. Film ini langsung merebut tiga penghargaan dalam Festival Film Taiwan dan film terbaik Festival Film Asia Pasifik di Seoul, Agustus 1992. Begitu pula dengan film keduanya, The Wedding Banquet (1993), yang mengungkap konflik benturan nilai modern-tradisional dalam keluarga Taiwan di New York. Film ini bercerita tentang seorang homoseks Taiwan yang harus berpura-pura menikah dengan wanita Cina semata untuk menyenangkan orang tuanya.
Melalui film inilah namanya tiba-tiba melejit ke antero jagat. Wedding memperoleh penghargaan Golden Bear pada Festival Film Berlin dan menyabet penghargaan sutradara terbaik dalam Festival Film Seattle. Film garapan ini juga masuk dalam nominasi pada Golden Globe and Academy Award. Secara komersial, film ini juga berhasil meraup pendapatan sekitar 30 kali lipat dari biaya produksi sebesar Rp 1,5 miliar. Sukses yang sama diikuti Eat Drink Man Woman (1994), film yang lagi-lagi berkisah tentang perbedaan dunia antara seorang ayah dan anak-anaknya yang menempuh jalan hidupnya sendiri-sendiri. Film ini sekaligus menggenapkan triloginya tentang father knows best atau sosok ayah yang merasa serba tahu sehingga merasa punya hak mengatur anak-anaknya. Trilogi ini, menurut Ang Lee, merupakan sebuah penggambarannya tentang kepedihan seorang sosok ayah. Sebuah pengalaman yang pernah terjadi pada masa remajanya, saat ia banyak mengecewakan ayahnya terutama dalam soal pendidikan. Untuk memerankan ayah dalam ketiga filmnya itu, Lee selalu menggunakan aktor Sihung Lung, yang dianggapnya memiliki karakter seorang ayah yang tertekan.
Lantas apa harapannya dengan film terbarunya ini? Lee menyatakan keinginannya agar filmnya ini juga disaksikan oleh masyarakat Cina. Sebab, menurut dia, film ini sama sekali tidak mengandung unsur politik. ''Saya pikir film ini akan menarik bagi orang-orang di mainland (Cina daratan)," kata Ang Lee.
Untuk itu, ia rela mengikuti persyaratan yang diajukan badan sensor Cina. Sosok Lo, panglima perang Xinjiang, yang memiliki gaya bicara dengan aksen Barat, disulihsuarakan oleh penutur asli Mandarin. Ang Lee memang menjaga benar mimpi yang baru diwujudkannya itu. Dan inilah mimpinya, yang hanya akan dibuatnya sekali dalam hidupnya.
Irfan Budiman (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo