Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membereskan Utang Garuda
Sayap-sayap Garuda Indonesia tak lagi diberati utang. Maskapai penerbangan Indonesia itu berhasil menyepakati restrukturisasi utang senilai US$ 1,2 miliar bersama pemerintah, Kamis lalu.
Proses restrukturisasi utang Garuda sudah berjalan sejak setahun lalu. Menurut Direktur Utama Garuda, Abdul Gani, seluruh utang Garuda ke Angkasa Pura I dan II dan sebagian utang ke Bank Mandiri akan diubah menjadi obligasi konversi yang bisa ditukar dengan saham. Sementara itu, utang Garuda ke pemerintah belum diputuskan bisa diubah menjadi obligasi konversi atau tidak.
Selain mengubah utang-utang lokal menjadi obligasi konversi, Garuda juga berhasil menata ulang perjanjian sebagian utang luar negerinya. Utang sewa pesawat Airbus kepada European Credit Agency (ECA) senilai US$ 610 juta, misalnya, bisa direstrukturisasi, dari semula harus lunas dalam delapan tahun kini boleh 16 tahun. Sedangkan utang ke kreditur asing lainnya, senilai US$ 460 juta, masih terus dinegosiasikan.
Dengan penataan ulang itu, sanggupkah Garuda membayar? Abdul Gani memberi jaminan. Selama 1993-1998, arus kas operasional Garuda memang masih negatif, tapi mulai 1999 sudah plus US$ 71 juta. Tahun ini, berdasarkan business plan yang disusun, Garuda akan mendapatkan laba setelah pajak US$ 58 juta.
Bisa? Moga-moga saja.
Dua Vitamin untuk BRI
Bank Rakyat Indonesia mendapat darah segar. Tak hanya infus modalnya akan segera cair, jabatan direksinya pun telah dirombak. Selasa lalu, kursi direktur utama bank rakyat kecil ini diserahkan Djoko Santoso Moeljono kepada Rudjito. Tampilnya Rudjito dari Bank Mandiri di luar perkiraan. Sebelumnya Presiden Abdurrahman menyorongkan nama Prijadi Praptosuhardjo, tapi akhirnya gagal. Dalam kabinetnya, Rudjito akan dibantu enam orang baru di jajaran direksi.
Tugas utama Rudjito adalah menjadikan BRI sebagai bank peraih laba dalam tiga tahun mendatang. Tugas berat, memang, karena sejak Mei lalu, BRI mengalami perdarahan Rp 200 miliar per bulan. Namun, Rudjito tidak diharapkan menjadi pesulap. Minggu ini pemerintah akan menginfus tambahan modal Rp 10,5 triliun sebagai bagian dari program rekapitalisasi perbankan. Tahap pertama rekapitalisasi itu merupakan bagian dari seluruh vitamin yang disiapkan untuk BRI sebanyak Rp 29 triliun lebih dalam tiga bulan ke depan.
Dengan injeksi modal dan tenaga baru itu, BRI akan kembali ke konsep lamanya sebagai bank pemberi kredit kecil. Tahun ini BRI akan menyalurkan kredit pinjaman sebesar Rp 30 triliun. Delapan puluh persen uang itu akan disalurkan untuk kredit pedesaan. "Saya akan terus memperbesar kredit mikro dan memperkecil kredit perusahaan besar," kata Rudjito.
Memburu Harta Lewat BIS?
Dalam satu hal, Bank Indonesia (BI) kini bisa menyejajarkan dirinya dengan bank-bank sentral lain di dunia: menjadi anggota Bank of International Settlement (BIS), semacam bank sentralnya bank-bank sentral di dunia. Jumat lalu, BI mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memakai dana cadangannya guna mengurus biaya keanggotaan BIS.
Sebenarnya BI mendapat tawaran sejak November lalu. Tapi menjadi anggota kelab eksklusif antarbank sentral di dunia ini tidak gratis. Bank Indonesia harus membeli 3.000 lembar saham BIS senilai US$ 42 juta. Karena itu, BI baru memenuhi ajakan setelah mempunyai surplus cadangan sebesar Rp 9 triliun dalam neracanya. Dan untuk membelanjakannya, BI harus pula mendapatkan izin dari DPR.
Menurut Deputi Senior Gubernur BI, Anwar Nasution, iuran keanggotaan itu tak akan hilang. Meski BIS bukan lembaga komersial, anggotanya akan mendapatkan dividen dari saham yang dimilikinya. Sebagai anggota, BI dapat melakukan tukar informasi serta dapat menentukan standar aturan perbankan, seperti rasio kecukupan modal (CAR). "Kita juga bisa memanfaatkan fasilitas keuangan dari lembaga tersebut," katanya.
Pemain pasar uang sekaligus anggota Komisi IX DPR, Theo F. Toemion, berpendapat menjadi anggota BIS membuka peluang bagi BI untuk mengakses sejumlah rekening di luar negeri yang selama ini sulit ditembus. "Termasuk rekening para mantan pejabat dan keluarganya," kata Theo. Apa iya? Kalau segampang itu, la kok tidak dari dulu?
Larisnya Saham Bank Buana
Saham Bank Buana Indonesia (BBI) kabarnya laku keras. Saham bank papan tengah itu mulai ditawarkan kepada publik, pekan lalu. Konon, pesanan terhadap saham BBI lima kali lebih besar dari jumlah yang ditawarkan. Menurut Sjahrir, Presiden Direktur Sjahrir Securities, salah satu penjamin emisi penawaran umum BBI, investor asing dari Hong Kong dan Singapura tercatat sebagai pemesan saham terbanyak.
Tingginya permintaan terhadap saham BBI kata Sjahrir karena bank ini tetap meraup laba, sekalipun di masa krisis. Laba bersih tahun "krisis" 1999 hampir Rp 280 miliar, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Ia yakin, pada pencatatan saham di pasar sekunder Jumat nanti, saham BBI akan diserbu pembeli.
Haruskah ikut-ikutan memborong? Endarto Weltam, analis dari Industrial Bank of Japan (IBJ), menyarankan untuk menahan diri. Menurut Endarto, pemborong saham BBI dalam penawaran umum merupakan para pemain lama. Mereka cuma memindahkan portofolio lama ke saham BBI, yang merupakan pilihan terbaik dari saham-saham bank lain yang buruk. Tapi itu tak berarti saham BBI akan cemerlang. Di masa sulit seperti sekarang, prospek bisnis perbankan belum akan berkilau.
Membuka Pintu Fiskal
Pungutan pajak ke luar negeri atau bisa disebut dengan fiskal akan segera dihapus. Sinyal itu dilontarkan Menteri Negara Pariwisata dan Kesenian, Djaelani Hidayat, Selasa lalu. Bahkan Presiden Abdurrahman sendiri dalam rapat kabinet telah menyetujui usulan itu.
Namun, pembebasan pajak itu akan dilakukan bertahap. Beberapa bulan ke depan, Batam akan menjadi pintu pertama ke luar negeri yang bebas fiskal. Baru pada 2001 semua pintu akan dibebaskan. Dari hasil fiskal ini setiap tahun negara menerima tak kurang dari Rp 1 triliun.
Menurut Djaelani, penghapusan fiskal merupakan konsekuensi dari penekenan kesepakatan kerja sama Asia Pasifik (APEC). Dalam salah satu pasal kesepakatan itu disebut bahwa negara harus menghilangkan hambatan dalam lalu lintas barang ataupun orang.
Tapi, jangan keburu gembira. Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan, Machfud Sidiq, mengaku belum menerima perintah dari Menteri Keuangan untuk menghapus fiskal. "Kami malah berencana menaikkannya," kata Machfud.
Lo, mana yang benar?
Freeport Merugi
Anak bertingkah, bapak yang kena tuah. Gara-gara berbagai kejadian yang menimpa PT Freeport Indonesia, raksasa perusahaan tambang Amerika Serikat, Freeport McMoran Copper & Gold Inc. (FMCG) mengalami kerugian. Selasa lalu, FMCG dilaporkan merugi US$ 18,6 juta dalam triwulan kedua tahun ini. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, FMCG bisa menjaring laba US$ 19 juta.
Kerugian ini disebabkan oleh cuaca buruk yang menghambat pengapalan tembaga dan emas dari PT Freeport Indonesia di Papua. Selain itu, biaya produksi juga melambung akibat dilarangnya batuan pucuk atau overburden dibuang ke Danau Wanagon, setelah longsor dua bulan lalu.
Dalam tiga bulan terakhir, volume penjualan tembaga PT Freeport Indonesia turun hingga 28 persen, menjadi 256,2 juta pon. Sementara itu, volume penjualan emas jatuh 44 persen, hingga 330.500 ons. Padahal kenaikan biaya produksi tembaga berlipat tiga. Freeport McMoran menyebutkan, pada triwulan ketiga nanti pasokan dari Indonesia diharapkan kembali membaik hingga 380 juta pon tembaga dan 460 ribu ons emas.
Perbaiki dulu yang rusak, baru bicara keuntungan!
Pemerintah Utang kepada Rakyat
Pemerintah akan menjual surat utang langsung kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah mengundang sejumlah tokoh keuangan, Selasa dan Rabu pekan ini, untuk memberi masukan.
Obligasi di dalam negeri tampaknya akan menjadi obat generik bagi pemerintah untuk meraup dana segar dari publik, sekaligus mengerem inflasi. Untuk tahap pertama, direncanakan akhir tahun ini, pemerintah akan menawarkan obligasi senilai Rp 1 triliun. Secara bertahap, obligasi akan terus ditawarkan hingga mencapai sekitar Rp 20 triliun.
Hasil penjualan obligasi pemerintah kali ini akan langsung masuk ke bujet untuk membiayai belanja negara. Pemerintah pernah menawarkan obligasi serupa, beberapa tahun setelah kemerdekaan. Obligasi ini berbeda dengan surat utang yang dipakai untuk program rekapitalisasi perbankan. Untuk biaya rekapitalisasi perbankan, sejak Februari lalu pemerintah telah mengizinkan bank-bank menjual obligasi sekitar Rp 2 triliun, tapi hingga kini yang laku baru Rp 6 miliar.
Fuad Rahmany, Ketua Debt Management Office, belum berani mengungkapkan kapan kepastian obligasi ini akan ditawarkan. "Kita masih melihat jenis dan bentuknya," katanya. Namun, ia yakin dengan bunga tetap 12 persen saja, pasar sudah akan menerima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo