Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hukum rimba? Ya, simak saja pernyataan Ridwan kepada TEMPO, Rabu pekan lalu. "Hukum di negara ini sudah tidak jalan. Lebih bagus kita pake hukum rimba," tuturnya. Lewat lembaga advokasi masyarakat yang dipimpinnya, Ridwan sudah mendaftarkan orang-orang yang akan dibelanya.
Salah seorang dari mereka bernama Amsar bin Limun. Amsar mengadukan tanahnya yang diserobot pada 1970. Tanah yang terletak di Pondokpinang, Kebayoran Lama itu pada 1970 dibeli Amsar sebanyak tiga petak seluas 4,1 hektare. Beberapa bulan kemudian, tanpa seizinnya sebagian tanah itu disemen menjadi lapangan tenis. Baru saja semen itu kering, tanah di sebelahnya dicaplok untuk pembangunan Masjid Raya Pondokindah.
Setelah itu, PT Metropolitan Kencana sebagai pengembang terus menggerogoti tanah Amsar tanpa sisa. Amsar berusaha mengadu ke Sudwikatmono, komisaris Metropolitan. Namun, upaya menemui pengusaha yang kerabat dekat mantan presiden Soeharto ini selalu gagal.
Malang bagi Amsar, empat tahun lalu, pria yang tidak bisa baca tulis ini ditipu Tonny Tahyar dan Ferry Tandiono. Kedua orang ini mengaku akan membeli tanah Amsar, lalu memintanya meneken kertas kosong bersegel.
Belum lagi masalah jual-beli selesai, pertengahan tahun lalu Amsar mendengar kabar, kasus tanahnya disidangkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ferry Tandiono yang menggugat PT Metropolitan itu kini mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Amsar sendiri sebagai pemilik tanah tak pernah dilibatkan. Didampingi Jakarta Watch, Februari lalu Amsar mengadukan nasibnya ke Mabes Polri dan Ketua DPR.
Selain mempersoalkan kasus yang masih diproses di pengadilan, Jakarta Watch juga membantu kasus yang sudah diputuskan Mahkamah Agung. Kali ini lembaga advokasi itu memerkarakan kasus perjanjian sewa beli (leasing) mobil antara PT Medalina dan PT Medal Sekarwangi dengan PT NV Mass, milik Pontjo Sutowo, pada 1982.
Perjanjian senilai Rp 1,6 miliar itu oleh Atang Sobari, Direktur Utama PT Medalina dan PT Medal Sekarwangi, dijamin dengan dua lembar sertifikat tanah. Di tengah jalan, angsuran macet. Akibatnya, pada 1987 utang itu membengkak menjadi Rp 1,8 miliar. Untuk membayarnya, Atang menyerahkan lagi dua sertifikat tanah. Nah, empat sertifikat itu dianggap sebagai pelunasan, lalu dibuatlah perjanjian di bawah tangan pada Juli 1987. Isinya, utang-piutang dianggap selesai.
Setelah Atang meninggal pada 1990, datang gugatan untuk Neneh, istri Atang. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PT NV Mass menuntut pelunasan Rp 3,1 miliar. Gugatan itu dimenangi PT NV Mass, dan dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta. Baru pada 1998, Mahkamah Agung merujuk perjanjian di bawah tangan yang dibuat pada 1987. Bertolak dari situ, utang Neneh yang semula Rp 3,1 miliar dinyatakan tinggal Rp 1,8 miliar.
Ternyata, masalahnya belum juga selesai. Tahun lalu tanah Neneh di Pondokindah disita. Tanah itu kemudian dijual lewat lelang seharga Rp 2,057 miliar. Anehnya, sisa nilai penjualansetelah dipotong utangsekitar Rp 200 juta tak diserahkan ke Neneh. Bahkan, empat sertifikat tanah yang diserahkan sebelumnya tak juga dikembalikan.
Apa kata pihak PT NV Mass? Perusahaan milik Pontjo Sutowo ini bersikeras, utang Ny. Neneh masih Rp 3,1 miliar. Jadi, setelah penjualan rumah itu, "Medalina dan Medal Sekarwangi masih menyisakan utang Rp 500 juta," kata Humphrey R. Djemat, pengacara PT NV Mass. Nah, sisa utang itu nanti akan dilunasi dari penjualan empat sertifikat tanah yang masih disita.
Bagaimana dengan kasus PT Metropolitan Kencana? Herry Sulistiono, Divisi Legal Metropolitan, mengakui soal pembebasan tanah adalah urusan Pemda DKI Jakarta. Adapun gugatan Ferry yang meminjam nama Amsar dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pasalnya, terdapat pemalsuan surat kepemilikan tanah Amsar. Dalam surat bersegel itu, transaksi tercatat bulan Januari 1970. Padahal, pihak kantor pos mengatakan, surat itu baru dikeluarkan pada Juli 1970.
Menanggapi ancaman hukum rimba dari Jakarta Watch, Herry tak punya resep khusus. "Jalan pengadilan yang ditempuh (Amsar) selama ini kan sudah bagus," tuturnya.
Dari kedua contoh kasus yang sedang dibantu Jakarta Watch tadi, Ridwan semakin yakin betapa susah rakyat kecil mencari keadilan. Kendati posisi mereka secara hukum sudah kuat, bisa saja mereka dikalahkan tanpa alasan yang jelas. Masuk akal bila Ridwan akan memakai hukum rimba, jika keadilan masih dipermainkan. "Saya punya banyak orang Betawi yang siap maju kapan saja." Caranya? "Lihat saja nanti," sergah Ridwan, dipacu semangat tinggi.
Agung Rulianto, Tiarma Siboro, Leanika Tandjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo