Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdul Aziz Rasjid
Esais, Jurnalis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Werner Kraus mendedikasikan hidupnya untuk mencermati riwayat maestro seni lukis Indonesia, Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880). Peneliti di Pusat Seni Asia Tenggara di Pasau, Jerman, itu mengunjungi kota-kota kecil di berbagai negara, menelusuri arsip-arsip penuh debu dan menelaah berbagai lukisan aliran Romantik. Ia lantas menganyam segala temuannya dengan saksama, menjadikannya buku berjudul Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di buku bersampul Potret Pengeran Raden Saleh (1841) karya Johann Karl Ulrich Bar ini, Kraus menghayati masa kanak-kanak Raden Saleh dalam konteks sosial historis. Jawa saat itu mengalami transisi kilat dari tatanan lama akhir abad ke-18 menuju dunia kolonial Hindia Belanda awal abad ke-19. Kraus pun menjejaki perjalanan Raden Saleh memasuki dunia kesenian sampai napas penghabisan sang maestro.
Saleh, menurut Werner Kraus, adalah orang modern pertama dari Jawa yang menanggung diskriminasi rasial orang-orang Eropa pada abad ke-19. Karena itu, Kraus menegaskan, "Buku ini bukan semata kisah tentang seorang pribadi yang berhasil dan pada akhirnya gagal, melainkan juga uraian mengenai kegagalan Belanda dalam mengelola hubungan dengan seorang elite Jawa yang menghendaki integrasi."
Dalam asuhan pamannya, Bupati Semarang Suroadimenggolo, Saleh besar di lingkungan kosmopolitan. Keluarga Suroadimenggolo dikenal terdidik dan memiliki sikap mental terbuka pada keberagaman. Suroadimenggolo memiliki gagasan yang menyebar luas di antara orang Jawa dan menjalin interaksi dengan empat kebudayaan inti pada masa itu, baik kebudayaan Arab-Islam di Pantai Utara Jawa, kebudayaan priayi keraton di Jawa Tengah, kebudayaan Tionghoa, maupun kebudayaan orang-orang Eropa.
Berada di lingkungan orang-orang berpandangan luas, terlacak dari surat Raden Saleh yang ditulis di Dresden pada 1849, tentang dua kutub antara tradisi dan kemajuan, modernitas dan identitas. Jawa adalah kampung halaman: "taman firdaus masa kanak di te-ngah kebersahajaan adat istiadat". Sedang Eropa adalah hasrat mereguk pengetahuan: "negara-negara paling beruntung, tempat kesenian, ilmu pe-ngetahuan, dan pendidikan tinggi berkilau bak intan permata".
Dua kutub itu memucuk menjadi konflik batin ketika wibawa keluarga Raden Saleh dihancurkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sang paman sekaligus ayah angkatnya ditangkap, lantas diasingkan, dengan tuduhan berkhianat membelot ke pihak pemberontak Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Kraus memaknai: "hasrat dan kekecewaan terhadap "prestasi" Eropa, telah membekas dalam kehidupan Raden Saleh -sebagaimana terjadi pada kehidupan banyak manusia di bawah kekuasaan pemerintah kolonial". (hal. 8)
Meninggalkan Jawa pada 1829, Saleh memulai babak baru kehidupan di benua Eropa. Ia adalah inlander pertama yang menerima beasiswa dari Kerajaan Belanda untuk mendalami studi menggambar dan melukis cat minyak. Menghabiskan masa hidupnya selama 22 tahun di Eropa-Belanda, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris-Saleh menggunakan bakatnya untuk mengambil alih gambaran tentang Timur yang dominan dari aliran Romantik. Ciptaannya yang terkenal, Penunggang Kuda Arab Diterkam Singa (1842), diakui sebagai karya besar mazhab Romantik akhir. Keikutsertaannya pada Salon de 1847 di Paris menyandingkan lukisannya setara dengan karya seniman-seniman ternama Eropa.
Tapi di sisi lain, selama berkelana di Eropa sampai kembali ke Jawa pada 1852, Saleh bagai hidup di dalam rumah kaca. Pemerintah kolonial Belanda mengawasi segala tindak-tanduknya. Pada 1869, pemberontakan petani pecah di Bekasi, menyeret nama Raden Saleh sebagai pemimpin. Ia dan keluarganya diperiksa dengan dikepung 50 tentara yang berjaga di luar kediamannya di Buitenzorg.
Meski akhirnya terbukti tak bersalah, Saleh merasa terhina. Tuduhan sebagai bagian kelompok pemberontak telah mengangakan kembali trauma pada masa kanak-kanak. Werner Kraus memaknai kepedihan itu begini: "…keberadaannya hingga saat itu bersandar pada sebuah harapan yang tidak terpenuhi, yaitu bertemunya Timur dan Barat. Paling tidak, di tanah jajahan, keseimbangan itu tidak dapat dibayangkan. Karena itu, kian lama ia semakin menarik diri dari kalangan Eropa di Jawa." (hal. 176)
Kraus menyuguhkan cerita Saleh dalam bentuk esai. Ia mengungkapkan perkembangan kepribadian Saleh, menguncinya dengan pendobrakan atas batas-batas kultural. Ia menguraikan tiap latar peristiwa dengan memaknai berbagai arsip dari berbagai sudut pandang disertai analisis rinci.
Saleh memimpikan kesejajaran martabat antara orang pribumi maupun Eropa. Lukisan masterpiece Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857), misalnya, merupakan metafor perlawanan terhadap stigma pribumi yang dipandang rendah diri sebagaimana tampak di lukisan Nicolaas Pienaman, Penyerahan Diri Diponegoro kepada Letnan Jenderal HM de Kock (1835).
Sementara Pienaman menempatkan panglima Belanda setingkat lebih tinggi daripada tawanan Jawa berwajah pasrah, Saleh menempatkan De Kock dan Diponegoro berkepala tegak pada ketinggian yang sama. Lukisan Saleh juga bernada sarkasme, mencibir arogansi kolonial Belanda yang bersikap licik mengkhianati perundingan damai.
Kehidupan Raden Saleh yang diangkat Werner Kraus menampilkan gambaran warga terdidik dari bangsa terjajah yang melalui seni menuntut kesetaraan tanpa diskriminasi. Perjuangan itu dirintis Saleh dengan menjadi sang pemula "dialog antarbudaya" pertukaran seni antara Asia dan dunia Barat. Ironisnya, mimpi Saleh mendambakan kesetaraan Timur dan Barat tak pernah sampai.
Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya
Penulis: Werner Kraus
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan: Cetakan pertama, Oktober 2018
Tebal: xxvii + 414 hlm
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo