ADA saat tampil seorang pahlawan tak masuk akal. Namanya Petchorin. Pangkat tak diketahui, tapi bejatnya luar biasa. Egoistis selangit, genit tak ketolongan, dan cabulnya bukan main. Orang ini sebetulnya seekor tikus. Ia mampu berbuat apa saja, seperti halnya setan. Sesudah terkulai loyo habis tenaga, Petchorin menjadi parasit, dan - sebagaimana biasa - menjadi sinis. Apakah lakonnya tamat sesudah tutup usia? Ternyata tidak. Nama Petchorin diabadikan lewat Sungai Petchora, persis seperti Sungai Onega diambil dari tokoh Eugen Onegin, karya pujangga besar Pushkin. Bagaimana mungkin riwayat bisa terjungkir balik begitu? Oh, mungkin saja. Ada juga riwayat yang lempang, walau terlupakan. Misalnya Sultan Mahmud Badaruddin II dari Palembang. Ia ini menghajar habis Belanda di Sungai Aur 14 September 1811. Ia ini menghajar habis serdadu Inggris pimpinan Mayor Jenderal Robert Rollo Gillespie yang dikirim Raffles sesudah Perjanjian Tuntang 18 September 1811 memindahkan daerah jajahan Makassar, Timor, dan Palembang dari cengkeraman Belanda ke cengkeraman Inggris. Dan ia ini yang kembali melabrak Belanda, karena Konvensi London 13 Agustus 1814 menetapkan Palembang balik menjadi daerah kolonial Belanda. Mana bisa negeri dioper-oper begitu seperti halnya kelereng? Dari buku apa bangsa Eropa itu belajar? tanya Sultan di dalam hati. Karena pertanyaan itu tak berjawab, ia angkat senjata melawan Jenderal Baron de Kock. Sang jenderal bergegas kirim dari Betawi: 12 kapal pengangkut, 19 kapal pendarat, 15 kapal meriam, enam kapal logistik, 200 pucuk meriam medan, dan 3.000 serdadu. Palembang terguncang, Sungai Musi menjadi merah oleh darah, dan Sultan patah secara terhormat, dibuang ke Ternate bulan Maret 1822, tiga tahun sebelum pecah Perang Diponegoro di Pulau Jawa. Apa arti semua ini buat kolonialis Belanda? Negeri di bawah permukaan laut itu berjingkrak-jingkrak, botol anggur bergelimpangan, berkati-kati keju masuk mulut, noni-noni berdansa hingga kesurupan, 101 tembakan meriam diletupkan ke udara, semua perwira penggempur Palembang beroleh persen bintang jasa Militaire Willemsorde, dan sidang istimewa Tweede Kamer dibuka dengan amanat Baginda Raja Willem I, yang menyanjung-nyanjung para punggawa penindas kemerdekaan sebuah bangsa di Hindia Belanda. 157 tahun sesudah itu, 5 Desember 1979, gubernur Sumatera Selatan, H. Sainan Sagiman, selaku ketua Badan Pembina Pahlawan Daerah, keluarkan SK no.988/KPTD/VI/79 tentang pembentukan Panitia Peneliti Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II untuk diajukan sebagai Pahlawan Nasional. Persis tanggal 16 Januari 1980, rampunglah kerja panitia itu. Dikirim ke Jakarta, berikut surat pengantar gubernur 18 Februari 1980 no. Ks.400/365/80. Sudah cukupkah itu? Belum. Usul disambut DPRD Provinsi lewat Keputusan no. 12/Kep/IV/DPRD/1980. Ditunjang oleh wali kota Palembang, Drs. H.A. Dahlan Hy, ketua DPRD-nya, H. Ahmad Kori, dan Pangdam IV Sriwijaya, saat itu, Brigadir Jenderal TNI Try Sutrisno. Kendati Sultan Mahmud Badaruddin II sudah menghadapi dua kekuatan kolonial sekaligus kendati ia sudah mampu mengerahkan kekuatan gerilya yang terdiri dari orang-orang Jambi, Bangka, Belitung, Minang, Aceh, dan Jawa kendati ia sudah menahan bala tentara Inggris di Tanjung Muara Rawas kendati ia sudah nenghancurkan kekuatan Belanda di Sungai Aur kendati ia sudah berkelahi dengan armada dan serdadu pimpinan Jenderal Baron de Kock kendati ia sudah merobek perut perwira Inggris Kapten Meares di Bailangu, sehingga orang yang malang ini diusung lewat Muntok ke Betawi dan mati di situ, dan kendati usulan jadi Pahlawan Nasional sudah ditempuh orang mulai dari gubernur hingga panglima hingga wali kota lengkap dengan DPRD-nya masing-masing dan kendati ikan-ikan sungai akan ikut juga teken usulan andai kata mereka mampu, hasilnya - hingga Hari Pahlawan 1984 ini - belum terlihat. Siapa tahu soal waktu. Siapa tahu soal sikon. Siapa tahu soal prosedur. Siapa tahu soal syarat, sebagaimana termaktub di dalam Keputusan Presiden no.241 tahun 1958 jo. no. 228 tahun 1963 tentang Tata Cara Penetapan Pahlawan Kemerdekaan Nasional, atau peraturan-peraturan berikutnya yang menyangkut perkara serupa. Siapa tahu. Dan sambil menunggu, ada baiknya membaca Syair Perang Palembang-nya Drs. Atja, yang menyebut Sultan Mahmud Badaruddin II bagaikan: "harimau yang bergerak bebas seperti kucing".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini